Friday, 17 Syawwal 1445 / 26 April 2024

Friday, 17 Syawwal 1445 / 26 April 2024

Mahyudin: Pancasila tidak Bisa Diutak-atik Lagi

Kamis 26 Oct 2017 20:10 WIB

Red: Gita Amanda

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Mahyudin.

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Mahyudin.

Foto: MPR RI

REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Setelah membuka Sosialisasi Empat Pilar di STIKOM Uyelindo Kupang, Rabu (25/10) sore, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Mahyudin, kembali membuka Sosialisasi Empat Pilar di Aula Universitas Muhammadiyah Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Sosialisasi yang diikuti lebih dari 400 peserta yang sebagian besar pemuda Muhammadiyah dan dosen Universitas Muhammadiyah Kupang ini diselenggarakan oleh Pimpinan Pemuda Muhammadiyah Kupang bekerja sama dengan Sekretaris Jenderal (Setjen) MPR RI.

Selain Mahyudin, dalam acara ini juga tampil dua anggota MPR RI sebagai narasumber. Mereka adalah Zulfadli, anggota MPR dari Fraksi Golkar dapil Kalimantan Barat, dan Abraham Liyanto, anggota kelompok DPD RI asal NTT. Dalam kesempatan itu juga hadir dan memberi sambutan Rektor Universitas Muhammadiyah Kupang Hadi Sandi Haryanto, pejabat yang mewakili Gubernur NTT, serta pimpinan Muhammadiyah Kupang, dan lainnya.

Wakil Ketua MPR RI Mahyudin dalam pemaparannya menyatakan, dulu saat zaman Orde Baru Sosialisasi Empat Pilar ini bernama P-4 (Penataran Penghayatan dan Pedoman Pancasila). Dulu, jelas Mahyudin, untuk masuk universitas syaratnya harus lulus P-4 pola 100 jam, yang kalau dihitung memakan waktu dua minggu. Habis penataran dievaluasi, dan  kalau tidak lulus harus mengulang lagi. Namun, di era reformasi terjadi perubahan, BP-7 dibubarkan, dan tak ada lagi P-4.

Menurut Mahyudin, karena setelah turunnya pemerintahan Orde Baru, terjadi  semacam trauma. Muncul anggapan Pancasila dijadikan alat kekuasaan, dan sangat terasa setelah terjadinya peristiwa pemberontakan G30SPKI, dimana banyak jenderal  menjadi korban, sehingga 1 Oktober dijadikan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Sejak itu pula, kata Mahyudin, Pancasila harus ditanamkan ke dalam jiwa setiap bangsa dalam bentuk doktrin. “Waktu itu, orang bisa ditangkap karena dianggap tidak Pancasilais, dan inilah yang menyebabkan terjadinya trauma,” katanya.

Mahyudin lalu menceritakan kembali sejarah lahirnya Pancasila. Dimulai dari pidato Presiden Soekarno pada 1 Juni 1945  di depan sidang BPUPKI yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Lahirnya Pancasila. Untuk menyusun dan penyempurnakan konsep Pancasila 1 Juni itu, BPUPKI lalu membentuk Panitia Sembilan, yang kemudian melahirkan Piagam Jakarta. Selanjut Pancasila hasil rumusan Panitia Sembilan yang diketuai Bung Karno dengan anggota 27 orang itu dibahas dalam sidang PPKI.

Pembahasan Pancasila, baik di BPUPKI maupun di PPKI, jelas Mahyudin, ikut terlibat tokoh Muhammadiyah. Tokoh Muhammadiyah di BPUPKI adalah Prof. Abdul Kahar Muzakir, sedangkan di PPKI terdapat nama Ki Bagus Hadikoesoemo. Terjadi perdebatan panjang dan sangat alot, terutama ketika membahas mengenai sila pertama Pancasila hasil Piagam Jakarta. Tapi, dengan sikap sedia berkorban maka tujuh kata Piagam Jakarta dihilangkan, hingga berbunyi, "Ketuhanan Yang Maha Esa".

Jadi, menurut Mahyudin, Pancasila seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 itu tidak bisa diutak-atik lagi. Apalagi ketika terjadi amandemen UUD 1945 pada 1999 hingga 2002, telah disepakati tidak akan mengubah  Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dan NKRI sebagai bentuk negara. Oleh karena itu, tegas Mahyudin, dengan Pancasila kita jangan mau diadu-domba. “Kalau kita mau diadu-domba maka  tak tertutup kemungkinan kita akan dijajah kembali,” ujar Mahyudin.

  • Komentar 0

Dapatkan Update Berita Republika

BERITA TERKAIT

BERITA LAINNYA

 
 
 
Terpopuler