Ahad 26 Feb 2017 09:20 WIB

Pertemuan di Taman Hening

Ilustrasi KDRT
Foto:

Ia jadi ingat puisi yang ditulisnya untuk Kas. Puisi yang tak pernah sampai. Waktu itu ia melipat kertasnya bagai pesawat mainan dan menerbangkannya. Kertas puisi itu jatuh tak jauh dari rumah mereka. Sih baru ingin memungutnya, namun angin menerbangkan lagi bersama butiran pasir. Pasir-pasir menimbun kertas itu setengah hati dan tiba-tiba Sih tak peduli.

"Aku akan membacakannya untukmu," suara lelaki itu lagi.

Dan sekonyong-konyong Sih ingat bunyi puisi yang ditulisnya untuk Kas: Meranggas darahku meranggas. Dan bumi kering, langit pias. Laut kita mati. Tandus berkarib sunyi. Semesta gering mengantarku kembali padamu. Menyelusup pada sejuk alir darah, denyut nadi. Pada curahan keringatmu. Tapi laut kita sudah mati. Sudah mati....

"Bagaimana puisiku, Sih? Sukakah engkau? Apakah suatu hari nanti aku akan jadi pengarang sepertimu? Bagaimana menurutmu?" Lelaki itu tertawa, menampakkan gusinya yang merah segar.

Mengapa ia seperti Kas? Kas juga dulu ingin belajar menulis puisi dan cerita.... Sih merasa ada air hangat di matanya. Lalu air yang dingin menetes-netes membasahinya. Semakin deras.

"Hujan," suara lelaki itu. "Aku akan melindungimu dari hujan," ia membuka jaketnya, membentangkannya ke tubuh Sih. Sih mencium aroma tubuh yang sama dari lelaki dan jaket itu. Seperti aroma yang telah menyatu dalam dirinya bertahun-tahun.

"Aku akan melindungimu dari segala, juga dari suamimu," ujar lelaki itu lagi. "Aku akan membawamu pergi, Sih."

"Haruskah aku pergi?" gumam Sih. Pergi berarti ia meninggalkan Kas selamanya. Pergi artinya memberi kesempatan pada penari itu untuk memiliki suami dan rumahnya. Untuk memiliki ranjang mereka.

"Demi kau, demi kita," bisik lelaki itu. "Kau tak boleh bertahan dengan lelaki pemberang yang bisanya hanya memukulimu!" Kali ini suara lembut itu mengeras.

"Aku ingin dilindungi. Aku ingin selalu dicintai..., aku ingin...." "Aku akan mencintaimu selamanya, seperti aku mencintai surga,"(*) lelaki itu merengkuhnya. Mereka berjalan menuju pondok kayu di tengah taman hening, pondok yang dibangun lelaki itu dengan tangannya sendiri, untuk Sih.

Dingin.

Dalam dekapan dan gelora diri, Sih mengenali aroma itu. Ah, ia tak sanggup lagi untuk mengekalkan dusta. Airmatanya merembes pada bantal di atas dipan. Sungguh, ia telah menciptakan sejuta lelaki di taman hening itu. Sejuta lelaki yang semuanya entah mengapa adalah Kas tapi tak sepenuhnya Kas.

Lelaki-lelaki itu mengatakan mencintainya seperti surga. Kas tak pernah berkata seperti itu. Sih ber-istighfar. Perlahan dihapusnya sisa-sisa airmata yang ada. Dengan gemetar jari-jari kurusnya mulai bergerak di atas mesin tik. Kas tak akan pulang lagi malam ini. Dan Sih, akan pergi ke tempat itu lagi. Ke taman hening.

 

 

(*)Terinspirasi dari ucapan Abdurahman Faiz suatu ketika di tahun 1999. Ucapan itu kemudian ditulisnya sebagai puisi yang salah satu barisnya berbunyi: "Aku mencintai bunda seperti aku mencintai surga."

Helvy Tiana Rosa

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement