Rabu 25 Jan 2017 07:00 WIB

Cerita Bohong di Siang Bolong

Bohong/ilustrasi
Foto:

Matahari terasa panas, menyengat kulit juga membakar ubun-ubun. Keringat Mak Sri menetes dari dahi menggelincir ke pelipis dan terjatuh ke leher. Mak Sri menjadikan selendangnya sebagai penutup kepala yang ia perlebar untuk melindungi kedua anaknya dari terik mentari.

Tergopoh-gopoh Mak Sri berjalan. Sesampai di perempatan jalan, dia menarik napas panjang. Napas Mak Sri serasa kembang kempis, naik turun. Terik mentari membuat tenggorakannya kering kerontang. Dia menyeka kening anaknya dengan selendang. Sementara, tatapan kedua bocah kecil itu menerawang jauh ke arah jalan raya.

Tak kunjung ada angkutan umum yang melintas di jalan. Mak Sri jadi gelisah. Menunggu di bawah terik matahari apalagi ia membawa kedua anaknya yang masih kecil di tepi jalan, memang tak ubahnya seperti siksaan. Bukan apa-apa, agar kedua anaknya itu tak berlarian.

Saat mematung, menunggu angkutan lewat, Slamet tiba-tiba mengagetkan emaknya, "Memang, ada kejadian apa di kampung Polandak, Mak?"

Gelagapan, Mak Sri membalikkan muka. Lalu, dia pandangi Slamet.

"Nanti kamu tahu sendiri! Makanya, jika disuruh emakmu itu jangan suka membantah. Tadi aja, kamu disuruh mak membeli obat nyamuk dan gula pasir tak mau. Jika kamu sudah besar, besok mau jadi apa? Apa mau terkubur sebatas leher di makam emakmu seperti yang akan kamu lihat nanti?"

Slamet diam. Mak Sri kembali menanti angkutan yang melintas dari arah terminal. Dan, ketika samar-samar tampak angkutan umum, hati Mak Sri sedikit lega. Dia lambaikan tangan, menghentikan angkutan umum yang hendak melintas. Tapi, angkutan umum itu terus melaju, karena penuh. Di pintu angkutan, beberapa penumpang bahkan sudah bergelayutan.

Kembali, Mak Sri melihat angkutan. Hatinya lega. Tapi lagi-lagi, saat angkutan itu sudah dekat dengan tempat Mak Sri berdiri, dia tak dapat berkutik setelah tahu angkutan itu sudah penuh sesak oleh penumpang. Mak Sri kembali menatap ke tanah mengutuk keramaian penumpang yang di siang itu tidak seperti biasanya.

Lama berdiri di jalan, kesabaran Mak Sri mulai hilang. Untung, di saat kesabaran Mak Sri mau hilang, terlihat sebuah angkutan umum yang melaju. Persis di depan Mak Sri angkutan itu berhenti. Mak Sri dan kedua anaknya bergegas naik.

Sesampai di pemakaman umum Polandak, Mak Sri terpana melihat kerumunan orang. Mak Sri berjalan memasuki tanah pemakaman, menggandeng tangan kedua anaknya dan membayangkan kejadian aneh di televisi tentang orang mati yang kuburnya tiba-tiba dipenuhi air, padahal saat itu tak lagi turun hujan. Juga kejadian ganjil lain seperti jenazah yang dapat memanjang tiba-tiba ketika dimasukkan ke liang kubur.

Kini, Mak Sri sudah ada di pemakaman. Dalam benaknya, sebentar lagi ia akan menyaksikan sendiri kejadian aneh seperti yang biasa dia tonton di tivi. Mak Sri hanya berharap satu hal, semoga kedua anaknya sadar, tidak lagi nakal dan tak lagi membantah jika disuruh untuk membeli sesuatu.

Mak Sri terus melangkah di bawah terik mentari, dengan menggandeng Slamet dan Bejo. Tapi belum sempat kakinya melangkah jauh memasuki makam, Mak Sri berpapasan dengan Mak Turi, "Mak di sini ternyata tidak ada kejadian aneh apa pun! Entah siapa yang mengarang cerita bohong ini. Kurang ajar!"

Kaki Mak Sri lemas. Lututnya serasa gemetar, dan terik mentari membuat kepalanya tiba-tiba menjadi pening. Ia tak menyangka, jika kabar yang dia dengar dari Mak Turi itu ternyata cerita bohong di siang bolong.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement