Suara Kompak Pekerja Tolak Tapera dan Penjelasan Kemenkeu Soal Arah Investasi Dananya

Pekerja menilai hampir 10 persen dari gaji mereka untuk berbagai potongan wajib.

Republika/Prayogi
Petugas melayani peserta tabungan perumahan rakyat (Tapera) di Kantor Pelayanan Badan Pengelola (BP) Tapera, Jakarta, Selasa (4/6/2024). Semenjak BP Tapera beroperasi hingga 2024, BP Tapera telah mengembalikan Tabungan Perumahan Rakyat kepada 956.799 orang PNS pensiun atau ahli warisnya senilai Rp4,2 Triliun.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bayu Adji P, Eva Rianti

Baca Juga

Pemerintah berencana memotong upah pekerja untuk program tabungan perumahan rakyat (Tapera). Namun, rencana itu tak mendapat restu dari para pekerja lantaran tidak banyak memberikan manfaat bagi mereka.

Salah seorang pegawai swasta, Harell (24 tahun), mengaku tidak setuju apabila upahnya dipotong untuk program pemerintah tersebut. Pasalnya, upahnya sebagai pekerja relatif pas-pasan. Belum lagi, selama ini sudah banyak potongan dari upah yang diterimanya setiap bulan.

"Udah ada PPh (pajak penghasilan), potongan BPJS, tambah lagi Tapera. Sudah hampir 10 persen potongan doang," kata dia, Rabu (5/6/2024).

Ia menilai, program itu juga tidak akan memberikan banyak manfaat baginya. Sebab, uang yang dipotong untuk Tapera itu tak akan cukup untuk membangun rumah di masa pensiunnya mendatang.

"Saya juga sudah hitung, dalam 50 tahun itu cuma beberapa juta. Nggak bakal cukup buat bikin rumah," ujar dia.

Salah seorang pekerja lainnya, Tyo (29), juga menolak upahnya dipotong untuk program Tapera. Pasalnya, tidak jelas pihak yang akan menerima manfaat dari program itu. Sementara kaum pekerja masih akan sulit untuk memiliki rumah.

"Jadi enggak relevan. Yang dipotong siapa, programnya buat siapa," kata dia.

Ia juga khawatir program itu tidak tepat sasaran. Apalagi, banyak kasus korupsi dari program-program serupa yang sudah-sudah.

Seorang pekerja lainnya, Andio (31), juga tidak setuju dengan adanya potongan dari upahnya untuk program Tapera. Pasalnya, buruh bukanlah orang yang bisa dikatakan mampu untuk membeli hunian. Namun, para buruh juga belum tentu mendapatkan manfaat dari program tersebut.

"Orang dengan pendapatan UMR/UMP belom bisa dikategorikan mampu untuk memiliki rumah," kata lelaki yang bekerja di sektor percetakan itu.

Menurut Andio, program rumah subsidi yanh ada saat ini sudah bagus. Namun, dalam praktiknya rumah subsidi banyak dimanfaatkan oleh masyarakat yang memiliki penghasilan tinggi dengan dalih investasi.

"Harusnya program itu yang dibenahi" ujar dia.

 

Sejarah Ikhtiar Rumah Murah - (Republika)

 

Koordinator Dewan Buruh Nasional Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos menilai, tidak ada urgensi mengenai persoalan Tapera yang dihimpun melalui potongan uang pekerja atau buruh. Menurut dia, upaya untuk memberikan akses masyarakat terhadap hunian adalah dengan meningkatkan pendapatan rakyat melalui peningkatan upah layak secara nasional. 

"Sekarang, dengan upah rendah, rakyat dipaksa dipotong upahnya tanpa melalui kehendak kaum buruh dan rakyat," kata Nining saat dikonfirmasi Republika

Ia menambahkan, secara konstitusi, negara memiliki kewajiban untuk menyediakan rumah layak dan bisa dijangkau untuk rakyat. Hal itu merupakan mandat konstitusi. Namun, kewajiban negara itu tidak seharusnya dilakukan dengan memotong upah buruh. 

"Dengan (potongan) Tapera, negara hadir hanya sekadar pengepul anggaran," kata dia.

Selain itu, menurut dia, tidak ada kepastian buruh bisa mendapatkan rumah dengan adanya potongan Tapera. Apalagi, saat ini situasi ekonomi sedang sulit.

Karena itu, Nining mendesak pemerintah membatalkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tapera. Kebijakan itu dinilai hanya menambah beban bagi buruh. 

Dengan adanya potongan Tapera, buruh akan makin terjepit. Pasalnya, upah para buruh hari ini hanya bisa mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari.

"Kami desak pemerintah memastikan pendapatan layak dan kesejahteraan perumahan layak. Dengan itu, mereka bisa menabung untuk membeli rumah sendiri," kata dia.

Menurut Nining, apabila pemerintah memiliki masalah terkait pendapat negara, harus adalah solusi untuk mengatasinya. Ia mencontohkan, pemerintah bisa melakukan pengetatan anggaran atau menyita harta koruptor. 

"Itu lebih bermanfaat. Kalau tetap dipaksa (Tapera), kami akan terus menyerukan semua pihak bersatu untuk mendesak pemerintah. Tidak boleh berdiam diri," kata dia.

Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Astera Primanto Bhakti menjelaskan tentang arah aliran dana tabungan perumahan rakyat (Tapera). Dana tersebut nantinya akan dipupuk melalui skema investasi. 

“Karena BP Tapera merupakan operator investasi pemerintah, jadi yang di-vote dia jelas, deposito, SBN (surat berharga negara), sukuk, dan lain-lain. Tapi juga boleh investasi di bentuk investasi lain yang aman,” kata Astera dalam konferensi pers di Kantor BP Tapera di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (5/6/2024). 

Astera menuturkan, dengan pemupukan dana tabungan Tapera tersebut, nantinya diharapkan menghasilkan imbal hasil atau return. Skema investasi itu dimasukkan dalam rencana kerja tahunan BP Tapera.

“Jadi sebetulnya BP Tapera bisa mendapatkan return yang tentunya kalau baik ini bisa mem-finance lebih banyak perubahan masyarakat,” tuturnya.

Diketahui, kebijakan iuran Tapera yang mengikutsertakan karyawan swasta diklaim dapat menjadi solusi kesenjangan kebutuhan atau backlog kepemilikan rumah di Tanah Air. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada 2023 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah backlog mencapai hingga 9,9 juta unit.

“Ada 9,9 juta backlog, sementara kemampuan kita untuk bisa men-support dari dana FLPP (fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan) ini setahunnya di angka 220 ribu. Jadi ini tentunya masih menjadi perhatian kami di pemerintahan,” ujar dia.

 

 

 
Berita Terpopuler