UKT Batal Naik, Pengamat: Hanya Menunda dan akan Jadi Masalah Pak Prabowo

Pemerintah diminta mencabut Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024.

Republika/Havid Al Vizki
Aksi unjuk rasa dari Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) di depan kampus Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Yogyakarta, Kamis (19/1/2023).
Rep: Eva Rianti Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polemik biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) direndam oleh pemerintah Joko Widodo dengan membatalkan kenaikannya. Pengamat menilai kebijakan itu hanya bentuk penundaan dan akan dilimpahkan masalahnya kepada kepala negara berikutnya, Prabowo Subianto.  

Baca Juga

"Itu cuma menunda saja. Ya biar jadi masalahnya Pak Prabowo," kata Pengamat Pendidikan Indra Charismiadji saat dihubungi Republika, Jumat (31/5/2024). 
 
Indra menuturkan, pembatalan UKT hanya dipakai sebagai narasi untuk mengakomodasi suara publik. Menurutnya justru bentuk penundaan yang sebenarnya bertujuan untuk meredam berbagai isu berpolemik yang bermunculan saat ini. Di antaranya isu Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang banyak mendapat hujatan dari netizen di media sosial. 
 
"Soalnya ada urusan Tapera. Kalau UKT naik tambah Tapera lagi, bisa demo habis-habisan rakyat, biar yang satunya (UKT) reda dulu, Tapera naik," tutur dia. 
 
Menurut pendapat Indra, semestinya Pemerintah mencabut Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024 yang merupakan beleid yang mengatur tingginya UKT tersebut. Sebab, aturan itu dianggap tidak masuk akal.  "Apa yang terjadi sekarang sudah enggak masuk akal karena itu sudah di atas dari rata-rata pendapatan orang di Indonesia," tuturnya. 
 
 
 

Dia menjelaskan, dengan konsep pengalokasian 20 persen dari anggaran rumah tangga untuk pendidikan yang mana PDB (produk domestik bruto) Rp75 juta, artinya maksimum UKT-nya seharusnya Rp7,5 juta/ orang.
 
Ini merupakan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023. Sementara sekarang biaya UKT bisa mencapai Rp10 juta, Rp15 juta, bahkan iuran pengembangan institusi (IPI) bisa mencapai Rp70 juta.  "Jadi itu sudah tidak masuk akal. Di luar kemampuan masyarakat, itu berdasarkan data. Kecuali data BPS salah," tuturnya. 
 
Dia melanjutkan, berkaca dari kondisi itu, rakyat pada akhirnya berharap kepada pemerintahan Prabowo untuk serius menyelesaikan masalah biaya pendidikan yang mencekik. Di antaranya dengan melakukan evaluasi status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) yang dibebankan untuk mendulang cuan. 
 
"Kita menaruh harapan ke Pak Prabowo sebagai presiden yang baru akan punya political will mencerdaskan bangsa ini. Sistem pendidikan harus diperbaiki, termasuk meluruskan lagi, jangan lembaga pendidikan buat nyari duit," terangnya. 
 
Sebelumnya diketahui, Pemerintah memutuskan untuk membatalkan kebijakan kenaikan besaran uang kuliah tunggal (UKT), yang diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nomor 2 Tahun 2024.
 
Menurut Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim, keputusan tersebut diambil setelah pemerintah berdialog dengan para rektor universitas dan mendengar aspirasi dari berbagai pemangku kepentingan terkait isu yang belakangan menjadi sorotan publik ini.
 
"Kemendikbudristek telah mengambil keputusan untuk membatalkan kenaikan UKT pada tahun ini dan kami akan merevaluasi semua permintaan peningkatan UKT dari PTN (perguruan tinggi negeri),” kata Nadiem usai menemui Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin.
 
Dia menjelaskan untuk tahun ini, tidak ada mahasiswa yang akan terdampak kebijakan kenaikan UKT, sementara pemerintah akan mengevaluasi satu per satu permintaan dari perguruan tinggi untuk peningkatan UKT tahun depan.
 
"Jadi ini benar-benar suatu hal, aspirasi yang kami dengarkan (dari) masyarakat dan juga kami ingin memastikan bahwa kalau pun ada kenaikan UKT harus dengan asas keadilan dan kewajaran. Itu yang akan kita laksanakan,” tutur Nadiem. 

 
Berita Terpopuler