Pakar: Polemik Salafi dan Nasab Ba'alawi tidak Produktif Bagi NU dan Muhammadiyah

Isu salafi dinilai mengalihkan energi Muhammadiyah dan NU.

Republika/Thoudy Badai
Umat muslim melaksanakan shlat Jumat di Masjid Istiqlal, Jakarta.
Rep: Fuji E Permana Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Sosiologi Agama dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Abd Aziz Faiz menilai polemik salafi dan nasab Ba'alawi di Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) hanya mengalihkan energi Muhammadiyah dan NU.

Padahal ada isu yang lebih penting yang harus menjadi perhatian, yakni kemiskinan, isu 10 juta anak muda pengangguran, pendidikan, dan pemberdayaan umat yang lambat.

Aziz mengatakan secara umum polemik salafi dan Muhammadiyah sudah berlangsung lama. Keduanya dalam banyak hal memiliki persamaan terutama soal kembali ke Alquran dan hadits.

"Namun, Muhammadiyah memiliki istilah ijtihad dan tajdid yang membuat Muhammadiyah sangat berbeda dengan salafi," kata Aziz kepada Republika, Jumat (31/5/2024)

Aziz mengatakan, masalahnya belakangan salafi masuk pelan-pelan melalui masjid-masjid Muhammadiyah dan menguasainya. Dalam konteks-konteks tertentu, salafi mengubah tradisi Muhammadiyah di masjid-masjid milik Muhammadiyah, dari situ polemik salafi dan Muhammadiyah semakin meruncing.

Baca Juga

Polemik Ba'alawi di NU belakangan semakin... Baca di halaman selanjutnya...

Aziz menambahkan polemik Ba'alawi di NU belakangan semakin runyam karena perdebatannya mulai tidak produktif. Perdebatan awal tampak ilmiah melalui kajian dan lain sebagainya, belakangan mulai bernuansa emosional dan provokatif.

"Polemik Muhammadiyah dan salafi, kemudian polemik nasab Ba'alawi di NU tampak tidak produktif, sudah terlalu berkepanjangan," ujar Aziz.

Dia mengatakan, isu-isu internal seperti itu sangat tidak krusial untuk umat. Polemik semacam itu mengalihkan energi NU dan Muhammadiyah dari isu-isu substantif berkaitan dengan kebutuhan umat, seperti soal kemiskinan karena pinjol, investasi di beberapa daerah yang merugikan masyarakat lokal, pendidikan, dan pemberdayaan umat yang tampak melambat.

"Bahkan, Gen-Z yang diisukan menganggur hampir 10 jutaan, isu-isu semacam itu yang seharusnya menjadi perhatian dua organisasi ini," jelas Aziz.

Aziz menegaskan, sudah waktunya energi dua organisasi terbesar ini diarahkan ke kebutuhan umat dari sekadar polemik dan konflik yang tidak produktif. Kemudian sambil membenahi internal organisasi masing-masing.

 
Berita Terpopuler