Mahasiswa Miskin Terakhir yang Boleh Kuliah di Kampus Negeri

Mahasiswa tak dilibatkan dalam pengambilan kebijakan yang berpengaruh bagi mahasiswa.

ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko
Sejumlah mahasiswa berunjuk rasa di Sleman, Yogyakarta, Jumat (3/7/2020). Mereka mendesak pemotongan Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Red: Fitriyan Zamzami

Oleh : Mas Alamil Huda, wartawan Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Menarik mendengar pengakuan staf ahli mendikbudristek, Muhammad Adlin Sila beberapa hari lalu. Ia bilang dalam diskusi di kantor ICMI pada Selasa kemarin, bahwa uang kuliah tunggal (UKT) masih menjadi sumber utama pendapatan perguruan tinggi. Seingat saya, ini kali pertama pihak pemerintah mengakui secara terbuka.

Keterbukaan ini yang diminta mahasiswa dan berbagai elemen lainnya sejak beberapa tahun lalu hingga saat ini. Mengapa biaya kuliah tinggi? Bagaimana kampus berstatus perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN BH) mengelola keuangannya, terutama terkait pendapatan? Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan muara dari mahalnya biaya kuliah yang harus ditanggung oleh mahasiswa atau orang tua.

Sumber pendanaan kampus PTN BH ini yang tidak pernah dibuka terang. Baik oleh pihak kampus maupun pemangku kepentingan lain dengan berbagai alasan. Apa yang dibuka staf ahli mendikbudristek itu memang masih permukaan. Tetapi paling tidak, kita tahu, dalih ‘surga’ menjadikan kampus berbadan hukum mandiri dalam pengelolaan keuangan tak pernah tercapai setelah lebih dari satu dekade aturan PTN BH diterbitkan.

Mengapa PTN BH?

Untuk kali kesekian saya mengatakan bahwa status PTN BH inilah yang menjadi pangkal persoalan mahalnya biaya kuliah. Jangan lupa, kita ramai-ramai bicara biaya mahal masuk perguruan tinggi ini bukan kali pertama. Hampir setiap tahun selalu berulang. Temanya sama. Penyelesaiannya? Nggak ada!

Begini, saya sedikit cerita soal kronologi lahirnya PTN BH. Tahun 2000, sejumlah PTN telah berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Status BHMN ini 'disempurnakan' melalui UU 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). UU BHP ini kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 31 Maret 2010. Tak lama kemudian, pemerintah dan DPR mengesahkan UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, sekaligus menetapkan eks kampus BHMN sebagai PTN BH.

Kampus PTN BH dan mahalnya biaya kuliah. - (Republika)

UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi itulah yang menjadi dasar hukum PTN BH. Turunannya ada dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum. Aturan ini memberikan otonomi penuh pada kampus, dari aspek akademis hingga non-akademis, termasuk dalam pengelolaan keuangan kampus. Otonomi pengelolaan keuangan secara penuh inilah yang diyakini banyak pihak meliberalisasi pendidikan tinggi.

UU 12/2012 membolehkan PTN BH mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi untuk PTN BH. Pendanaan PTN BH dapat bersumber dari APBN dan selain APBN. Tapi kucuran duit dari APBN hanya sebagian kecil dari kebutuhan kampus. Maka kampus diizinkan mencari pendanaan secara mandiri.

Dalam beleid tersebut, dana di luar dari APBN bisa didapat dari masyarakat, biaya pendidikan, pengelolaan dana abadi, usaha PTN BH, kerja sama tridharma perguruan tinggi, pengelolaan kekayaan PTNBH, anggaran pendapatan dan belanja daerah, pinjaman. Dari sekian itu, sebagaimana pengakuan staf ahli mendikbudristek, sumber pendapatan utama kampus PTN BH faktanya tetap dari uang kuliah mahasiswa.

Masih ingat Karomani yang ditangkap KPK pada 2022 ketika masih menjadi rektor Universitas Lampung (Unila)? Dia kemudian terbukti di persidangan menerima suap dari orang tua mahasiswa yang masuk jalur mandiri, sebuah jalur penerimaan yang menjadi rahasia umum sebagai 'jalur berbiaya mahal'.

KPK kemudian menelurkan beberapa rekomendasi karena mendapati lemahnya tata kelola terkait aspek transparansi dan akuntabilitas dalam penerimaan mahasiswa jalur mandiri pada kampus PTN BH. Mendikbudristek Nadiem Makarim kemudian meneken Permendikbud 48/2022. Apa ada yang berubah dalam penerimaan jalur mandiri? Tidak ada! PTN BH tetap 'diizinkan' menerima mahasiswa baru melalui jalur mandiri maksimal 50 persen dari total mahasiswa yang diterima.

Secara normatif Mendikbud Nadiem bilang untuk memperketat pengawasan jalur mandiri. Juga dikatakan tidak boleh ada variabel lain dalam penerimaan jalur mandiri kecuali hasil dari tes yang diselenggarakan kampus. Jika Seleksi Nasional berdasarkan Tes (SNBT) dan seleksi jalur mandiri sama-sama tes, untuk apa dibedakan? Mengapa uang masuk dan SPP atau UKT atau apapun itu namanya, juga berbeda nominalnya? Fakta bicara, hari ini biaya masuk dan UKT memang mahal, apalagi jalur mandiri.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana kampus berstatus PTN-BH menentukan SPP atau yang sekarang disebut uang kuliah tunggal (UKT) itu? BEM UI saat itu tegas menyatakan tidak adanya akuntabilitas dan transparansi dalam proses penetapan biaya kuliah. Ini persoalan. Mahasiswa tidak dilibatkan dalam pengambilan sebuah kebijakan yang berpengaruh bagi mahasiswa itu sendiri.

Bergeraklah

Ada satu pernyataan yang membuat kita semua luka. Ketika pejabat Kemendikbudristek menyebut kuliah sebagai edukasi tersier. Ini sangat tidak simpati. Nirempati mungkin. Pernyataan itu barangkali benar, tapi menjadikannya jawaban atas protes mahalnya biaya kuliah tentu menyakitkan. Tetapi dari sana kita tahu, penyelenggaraan pendidikan kita memang ada yang salah. Baik secara filosofis maupun pengelolaan.

Narasi publik mengkritisi pernyataan itu kemudian meluas. Apakah itu artinya orang miskin memang tidak boleh kuliah. Dan wajar saja ini berpolemik. Karena bagaimanapun, pendidikan adalah eskalator kesejahteraan yang sampai saat ini masih paling ampuh. Dengan pernyataan bahwa kuliah merupakan edukasi tersier, maka harapan keluarga miskin untuk mentas dari ketidakberdayaan sosial dan ekonomi semakin pupus. Mereka yang sudah lemah itu, seolah sengaja terus dilemahkan.

Nadiem juga dalam rapat dengan Komisi X DPR bilang bahwa kenaikan UKT saat ini hanya berlaku bagi mahasiswa baru. Tetapi, bukan berarti mahasiswa baru tahun depan tidak naik kan? Bukan berarti pula mahasiswa yang tidak baru tak boleh protes atau sekadar peduli terhadap kenaikan biaya kuliah adik-adiknya.

Ini tentang mindset. Jika para pejabat menganggap kenaikan UKT mahasiswa baru bukan urusan mahasiswa lama, harusnya kita semua tersinggung. Artinya, mahasiswa yang saat ini sudah semester empat dan seterusnya bisa jadi berstatus mahasiswa miskin terakhir yang kuliah di kampus negeri. Luka yang sama itu bisa menyatukan, sebagai mahasiswa miskin terakhir yang boleh kuliah di kampus milik negara.

Baca Juga

 
Berita Terpopuler