Hari Buku Nasional: Masyarakat Diserukan Akses Buku Legal, Lawan Pembajakan

Negara diminta hadir untuk melawan pembajakan buku.

Republika/Prayogi
Pengunjung melihat koleksi buku pada ajang Islamic Book Fair (IBF) 2023 di Istora Senayan, Jakarta, Ahad (24/9/2023). Masyarakat diserukan tidak membeli buku bajakan.
Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di Hari Buku Nasional yang diperingati tiap 17 Mei, Perpustakaan Nasional mengungkapkan bahwa pelanggaran hak cipta menjadi persoalan klasik di dunia perbukuan. Masyarakat pun diserukan untuk melawan pembajakan dan pelanggaran hak cipta dengan membeli atau mengakses buku-buku legal.

"Perpusnas mengajak supaya masyarakat membeli, menggunakan, dan mengakses buku-buku yang legal, karena kalau masyarakat mengakses buku tidak legal, akibat dari pembajakan itu akan merugikan kreativitas dari para penulis buku," kata Pelaksana Tugas Kepala Perpustakaan Nasional (Perpusnas) E Aminudin Azis saat ditemui di Gedung Perpusnas, Jakarta, Jumat (17/5/2024).

Menurut Aminudin, selain merugikan penulis, membeli buku-buku bajakan juga bisa merugikan penerbit dan masyarakat sebagai pembaca. Sebab, yang diserang sesungguhnya adalah pemikiran masyarakat.

Baca Juga

"Artinya, mereka berpikir, ya, sudahlah, kita manfaatkan walaupun tidak legal. Ini kan pemikiran yang negatif begitu," ucapnya.

Untuk itu, Aminudin mengimbau masyarakat untuk mengakses buku-buku yang hak ciptanya sudah jelas. Hindari tindakan membajak buku.

Sementara itu, penulis yang juga penggerak Taman Bacaan Masyarakat, Maman Suherman, juga menyoroti pentingnya melindungi para penulis dari ancaman pembajakan. Ia menyebut, apresiasi pada profesi penulis di Indonesia juga masih rendah.

"Memang apresiasi terhadap penulis masih rendah, di satu titik lebih rendah lagi kalau kita lihat penulis itu karyanya tidak dilindungi dan tidak dikawal baik-baik, sehingga buku saya contohnya, yang (harganya) Rp 90 ribu, orang bisa beli di toko daring dengan harga Rp 3.000-Rp 4.000, itu buku bajakan," katanya.

Maman mengemukakan bahwa selama ini penulis selalu dikejar dengan pajak, tetapi tidak dilindungi dari pembajak. Alhasil, hal tersebut yang membuat anak-anak muda atau calon-calon penulis berpikir dua kali untuk bisa menggantungkan hidupnya di dunia kepenulisan.

"Padahal, dia (penulis) justru yang membuat ekosistem perbukuan itu terwujud, kerja sama dengan penerbit, orang mengatakan buku jendela dunia dengan segala glorifikasinya, tetapi orang-orang yang berada di lingkungan itu terlindungi enggak? Jangankan begitu, cek profesi yang boleh ditulis di KTP, ada enggak penulis? Yang ada malah paranormal," ujar Maman.

Lebih lanjut, Maman menyarankan agar negara hadir melawan pelanggaran hak cipta dimulai dengan memberikan subsidi, pemotongan pajak, dan upaya-upaya lain untuk menyejahterakan penulis agar gerakan literasi di Indonesia tetap hidup. Maman juga mengapresiasi pencanangan gerakan literasi desa, dan pemberian 10 juta buku untuk 10ribu desa lewat taman bacaan masyarakat maupun perpustakaan daerah.

"Saya berterima kasih, itu kan berarti karya-karya penulis muncul kan. Mudah-mudahan itu mendorong orang lain juga untuk makin lahap mengonsumsi buku," tuturnya.

 
Berita Terpopuler