Baleg Bantah Revisi UU Penyiaran Berangus Kebebasan Pers

Baleg menegaskan belum ada sikap fraksi terkait draf revisi UU Penyiaran.

Dok DPR
Ketua Baleg DPR, Supratman Andi Agtas.
Rep: Nawir Arsyad Akbar Red: Agus raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran masih dalam tahap penyusunan draf. Sehingga seluruh masukan masih akan diterima oleh pihaknya.

Baca Juga

Ia pun menanggapi sejumlah pasal dalam revisi UU Penyiaran yang dinilai akan memberangus kebebasan pers. Salah satunya Pasal 56 Ayat 2c, yang mengatur pelarangan media untuk menayangkan konten atau siaran eksklusif jurnalisme investigasi.

"Siapa yang bilang (akan menghilangkan kebebasan pers)? ini kan belum dibahas di Baleg, belum ada sikap menyangkut soal itu. Oleh karena itu, Insya Allah dalam waktu dekat, Insya Allah dalam waktu dekat kami selesaikan semua tunggakan RUU yang ada di Baleg, sehingga kami mengakhiri ini tanpa utang," ujar Supratman di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta, dikutip Jumat (17/5/2024).

Di samping itu, ia menjelaskan bahwa banyak konten yang terdapat dalam revisi UU Penyiaran. Satu yang disebutkannya adalah kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.

"Di UU Penyiaran termasuk kelembagaan KPI juga ada (dalam revisi UU Penyiaran), tetapi kita batasi jangan sampai bertentangan UU Ciptaker, yang sudah dibahas UU Ciptaker yang sudah diputuskan, jangan lagi direvisi," ujar Supratman.

"Termasuk menyangkut soal migrasi digitalisasi, kan nggak mungkin lagi kita bahas. Karena itu yang kurang dari UU Ciptaker kita sempurnakan di UU Penyiaran," sambung politikus Partai Gerindra itu.

Anggota Komisi I DPR Dave Akbarshah Fikarno memastikan, pihaknya akan menampung aspirasi semua pihak dalam pembahasan revisi Penyiaran. Termasuk pandangan dari insan pers.

Dalam draf revisi UU Penyiaran, berisi 14 Bab dengan jumlah total 149 pasal. Salah satu yang menjadi sorotan adalah Pasal 56 Ayat 2c, yang mengatur pelarangan media untuk menayangkan konten atau siaran eksklusif jurnalisme investigasi.

"Tidak ada sedikitpun dari pemerintahan Jokowi ataupun pemerintahan nantinya presiden Prabowo dan DPR akan memberangus hak-hak masyarakat dan kebebasan berpendapat, apalagi informasi kepada masyarakat," ujar Dave.

Komisi I berpandangan bahwa informasi yang diberikan ke masyarakat harus tepat, akuntabel, dan transparan. Ia juga sependapat jika pers adalah salah satu pihak yang menjadi media pengawasan untuk pemerintah.

"Media harus mengawal setiap kebijakan pemerintah agar tepat sasaran dan tidak ada penyelewengan sedikitpun yang menjadi hak milik rakyat dan juga bangsa secara keseluruhan," ujar politikus Partai Golkar itu.

 
Berita Terpopuler