Gletser di Puncak Jaya Papua Terus Mencair, Ketebalannya Kini Tinggal Dua Meter

Gletser di Papua merupakan tutupan salju abadi satu-satunya di wilayah Indonesia.

Dok Twitter/Donaldi Permana
Luas es Puncak Jaya berkurang ~75?ri 2002-2018. Gletser terakhir di Pasifik (Puncak Jaya, Papua) terancam punah terkena dampak pemanasan global.
Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menemukan ketebalan tutupan es di Puncak Jaya, Papua terus berkurang. Berdasarkan pemantauan terakhir pada Desember 2023, ketebalannya diperkirakan menyusut sekitar empat meter.

"Hal ini kemungkinan terkait kondisi El Nino pada 2022-2023," kata Koordinator Bidang Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Klimatologi Pusat Litbang BMKG Donaldi Permana dalam seminar virtual terkait iklim berkelanjutan menyambut Hari Meteorologi Dunia ke-74 di Denpasar, Bali, Kamis (18/4/2024).

Donaldi menjelaskan, BMKG melakukan pemantauan tutupan es atau gletser di Puncak Jaya pada 2009-2023. Dari 2016 hingga 2022, rata-rata pengurangan luas es mencapai sekitar 0,07 kilometer persegi per tahun dengan estimasi total luas es pada April 2022 mencapai 0,23 kilometer persegi.

Pada pemantauan 2022, BMKG memperkirakan ketebalan es yang tersisa pada Desember 2022 mencapai enam meter. Namun, satu tahun kemudian, yakni pada Desember 2023, data terakhir menunjukkan ketebalan es makin menipis dengan pengurangan hingga empat meter atau menyisakan hingga ketebalan dua meter.

Donaldi menyebutkan, perubahan iklim akibat pemanasan global berperan besar membuat tutupan salju abadi satu-satunya di wilayah Indonesia itu sedikit demi sedikit terus menipis sejak revolusi industri pada 1850. Berdasarkan pemaparannya, pada 1850 cakupan luas es abadi di Puncak Jaya Papua itu mencapai sekitar 19 kilometer persegi, kemudian makin merosot hingga pada Mei 2022 diperkirakan mencapai 0,34 kilometer persegi.

Baca Juga

Selain gletser di Puncak Jaya yang menipis, Donaldi menyebutkan beberapa pegunungan di wilayah tropis juga mengalami pencairan es. Sebut saja Gunung Kilimanjaro di Tanzania, Quelccaya di Peru, dan Naimona’nyi di dataran tinggi Himalaya, Tibet.

Donaldi memaparkan perubahan iklim secara global pada periode 2023 merupakan tahun terpanas dengan suhu rata-rata global selama 10 tahun, yakni 2014-2023, mencapai 1,20 plus minus 0,12 derajat Celsius. Ia pun menekankan pentingnya mengurangi emisi karbon dioksida mencakup mitigasi dan adaptasinya.

"Karbon dioksida kalau tidak segera dilakukan mitigasi atau pengurangan maka dia akan berada di atmosfer cukup lama, yakni dalam 100 tahun ke depan itu konsentrasi masih ada 33 persen," katanya.

Menurut Donaldi, sejumlah mitigasi dan adaptasi perlu dilakukan. Contohnya dengan penanaman pohon, mengurangi dan mendaur ulang plastik, transisi energi hijau, hemat listrik, hemat bahan bakar minyak (BBM), hingga mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.

 
Berita Terpopuler