OJK tak Perpanjang Program Restrukturisasi Covid-19, Ini Alasannya

Jumlah debitur kredit restrukturisasi Covid-19 turun tinggal 977 ribu.

ANTARA/Dhemas Reviyanto
Petugas merapikan susunan produk UMKM yang ditawarkan di Paviliun Sumatera Utara Gedung SMESCO, Jakarta, Jumat (26/2/2021). Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan restrukturisasi kredit ke sektor UMKM mencapai 6,15 juta debitur dengan nilai Rp388,33 triliun.
Rep: Rahayu Subekti Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan industri perbankan telah siap menghadapi berakhirnya kebijakan stimulus restrukturisasi kredit perbankan untuk dampak Covid-19 pada 31 Maret 2024. Berakhirnya kebijakan tersebut konsisten dengan pencabutan status pandemi Covid-19 oleh pemerintah pada Juni 2023, serta mempertimbangkan perekonomian Indonesia yang telah pulih dari dampak pandemi, termasuk kondisi sektor riil.

Baca Juga

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menjelaskan sejumlah alasan kebijakan restrukturisasi tersebut tidak diperpanjang. “Industri perbankan itu sudah kita lakukan analisis dan melakukan banyak survei, diskusi, dan sebagainya. Kami menyimpulkan sebenarnya industri perbankan siap menghadapi kebijakan stimulus tersebut pada 31 Maret,” kata Dian dalam konferensi pers RDK Bulanan OJK Maret 2024 secara daring, Selasa (2/4/2024).

Dian memastikan, OJK telah mempertimbangkan seluruh aspek secara mendalam dengan melihat kesiapan industri perbankan serta menjaga kepatuhan standar internasional. Dian menyebut, Indonesia merupakan satu-satunya negara yang belum menghapus fasilitas khusus dalam mengatasi pandemi Covid-19.

Dian memastikan restrukturisasi kredit yang diterbitkan tersebut sudah banyak dimanfaatkan UMKM. “Mengingat stimulus tersebut bagian dari kebijakan penting menopang kinerja debitur perbankan dan pertumbuhan ekonomi secara umum untuk melewati periode pandemi cukup kritis,” jelas Dian.

Dia menambahkan, berdasarkan hasil evaluasi laporan uji ketahanan perbankan menjelang berakhirnya stimulus, potensi kenaikan risiko kredit yang tergolong NPL dan ketahan perbankan diproyeksikan masih terjaga dengan sangat baik. Jadi, lanjut Dian, OJK menilai kondisi perbankan Indonesia saat ini punya daya tahan kuat atau resilien menghadapi dinamika pertumbuhan ekonomi.

“Ini didukung dengan tingkat permodalan yang kuat, likuiditas memadai, dan faktor risiko yang baik,” ucap Dian.

Sejalan dengan pemulihan ekonomi, Dian mengungkapkan tren kredit restrukturisasi terus mengalami penurunan. Hal itu baik dari sisi outstanding dan jumlah debitur yang diiringi oleh peningkatan CKPN bahkan melebihi periode sebelum pandemi.

“Tentu kondisi ini merupakan cerminan kesehatan perbankan yang dinilai telah kembali kondisi normal secara terkendali menghadkhir periode stimulus tersebut,” jelas Dian.

Outstanding kredit telah....

 

Pada Februari 2024, outstanding kredit restrukturisasi Covid-19 telah menurun signifikan menjadi Rp 242,80 triliun yang diberikan kepada 977 ribu debitur. Dian mengatakan data pada puncak Covid-19, jumlah kredit restrukturisasi mencapai sekitar Rp 900 triliun.

“Jumlah debitur juga sudah menurun tinggal 977 ribu padahal puncak Covid-19 ada sekitar delapan juta terdampak Covid-19,” tutur Dian.

Di sisi lain seiring kondisi pandemi yang mereda dan status pencabutan pandemi, Dian mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia di seluruh sektor juga kembali pulih dengan pertumbuhan 5,04 persen pada 2023. Selanjutnya untuk memastikan normalisasi kebijakan tersebut, Dian menegaskan, bank tetap dapat melanjutkan restrukturisasi Covid-19 yang sudah berjalan.

"LIni akan diserahkan kepada kebijakan masing-masing. Kami tidak akan mengeluarkan aturan khusus,” ujar Dian.

Permintaan restruk kredit baru dapat mengacu kepada kebijakan normal POJK Nomor 40 Tahun 2019 tentang kualitas aset. Setelah dihapusnya program fasilitas restruk Covid-19 ini, Dian mengharapkan integritas laporan keuangan perbankan bisa semakin baik dan dapat sepenuhnya mengacu pada praktik terbaik.

“Hal ini seiring dengan hal tersebut juga OJK melakukan pengawasan untuk memastikan di setiap kesiapan bank secara individu,” ungkap Dian.

OJK menilai kondisi perbankan Indonesia saat ini memiliki daya tahan yang kuat dalam menghadapi dinamika perekonomian dengan didukung oleh tingkat permodalan yang kuat, likuiditas yang memadai, dan manajemen risiko yang baik. Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menyampaikan hal tersebut juga didukung oleh pemulihan ekonomi yang terus berlanjut dengan tingkat inflasi yang terkendali dan tumbuhnya investasi.

Sejalan dengan hal tersebut sejak diterbitkannya Keppres Nomor 17 Tahun 2023 pada Juni 2023 yang menyatakan status pandemi Covid-19 di Indonesia dinyatakan telah berakhir, aktivitas ekonomi masyarakat terus meningkat. “Berbagai indikator pada Januari 2024 menunjukkan perbankan Indonesia dalam kondisi yang baik,” kata Mahendra.

Mahendra menyatakan, hal tersebut tercermin dari rasio kecukupan modal (CAR) pada level 27,54 persen, kondisi likuiditas yang ditunjukkan oleh Liquidity Coverage Ratio (LCR) sebesar 231,14 persen dan Alat Likuid/Non Core Deposit (AL/NCD) sebesar 123,42 persen serta tingkat rentabilitas yang memadai.

“Hal ini diharapkan dapat menjadi bantalan mitigasi risiko yang solid di tengah kondisi perekonomian global yang masih tidak menentu. Sementara itu, kualitas kredit tetap terjaga di bawah threshold lima persen yaitu NPL Gross sebesar 2,35 persen dan NPL Nett sebesar 0,79 persen,” tutur Mahendra.

 
Berita Terpopuler