Lulus Sensor LSF, Poster dan Trailer Film Kiblat Ditarik Usai Dikecam Ulama Hingga Sineas

Leo Pictures merilis poster dan trailer film Kiblat pada 21 Maret lalu.

Dok Leo Pictures
Poster film Kiblat yang telah ditarik oleh Leo Pictures. Poster dan trailer film arahan sutradara Bobby Prasetyo ini dikecam masyarakat, ulama, dan sineas.
Rep: Rahma Sulistya Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Lembaga Sensor Film, Ervan Ismail, mengungkapkan bahwa film Kiblat memang belum masuk dalam proses sensor. Sejauh ini, yang baru dibahas hanya poster dan trailer saja.

Menurut Ervan, poster dan trailer film Kiblat memang sudah diberikan Surat Tanda Lulus Sensor. Poster Kiblat memperlihatkan gambar seorang perempuan memakai mukena dan sedang rukuk tetapi justru dalam posisi kayang, dan wajahnya tampak tidak wajar.

Sementara itu, di latar belakang, tampak seorang pria tanpa kepala memakai jubah berlumuran darah. Lalu, trailer iklan film arahan sutradara Bobby Prasetyo itu isinya berupa potongan-potongan adegan dalam sinema yang dibintangi Yasmin Napper, Arbani Yasiz, dan Ria Ricis itu.

"Kalau kita bicarakan yang satu dan dua (poster dan trailer) kan ini terkait promosi atau iklan film, itu memang biasanya diluncurkan oleh para pembuat film sebelum film itu ditayangkan," ujar Ervan kepada awak media, Senin (25/3/2024).

Ervan menjelaskan bahwa film Kiblat secara keseluruhan belum mendapatkan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS). Hanya saja, pihak LSF pernah memang diminta untuk meninjau terlebih dahulu.

"Filmnya itu sendiri belum masuk ke LSF, jadi belum ada penyensoran, tapi pernah ada produser meminta LSF meninjau," papar Ervan.

Setelah meninjau film Kiblat, lanjut Ervan, pihaknya memberikan sejumlah catatan untuk para pembuat film. Selanjutnya, keputusan ada di tangan pembuat film.

Untuk bisa lulus sensor, menurut Ervan, ada beberapa proses yang harus dilalui. Sesuai prosedur administrasi, dalam tiga hari biasanya sudah ada keputusannya.

"Itu sudah selesai jika memang tidak ada hal yang berlebihan atau melanggar," jelas Ervan.

Baca Juga

 

Mengenai kontroversi yang mucul dari poster dan trailer film Kiblat yang dirilis pada 21 Maret lalu, Ervan menyebut LSF mengikuti perkembangannya. Pihaknya memantau dengan cukup serius perbincangan di masyarakat.

"Jadi di kalangan anggota LSF itu sendiri, mengenai film ini ada protes dan seterusnya, Kami mengikuti (isunya), bahkan sampai pada tahap terakhir itu kalau tidak salah kan posternya sudah ditarik dan diperbaiki oleh produsen film," ujar Ervan.

 

Republika.co.id mencoba menghubungi pihak Leo Pictures untuk mengonfirmasi terkait poster film Kiblat yang sudah ditarik dan diperbaiki tersebut. Hanya saja, belum ada respons dari Leo Pictures sampai berita ini dipublikasikan.

Poster film Kiblat yang telah ditarik oleh Leo Pictures. Poster dan trailer film arahan sutradara Bobby Prasetyo ini dikecam masyarakat, ulama, dan sineas. - (Dok Leo Pictures)

Ketika kecaman terhadap poster film Kiblat mulai marak, salah seorang warganet meminta pendapat Ketua Majelis Ulama Indonesia Bidang Dakwah KH Cholil Nafis melalui media sosial X. Kiai Cholil lalu merespons dengan mengatakan bahwa visual yang ditampilkan dałam poster film tersebut telah melampui batas dan bisa dianggap sebagai penghinaan.

Kiai Cholil mengaku sampai harus mencari-cari arti kata "kiblat". Ia memeriksa kemungkinan "kiblat" memiliki makna yang berbeda dengan yang dimaksud kiblat oleh umat Islam.

"Saya tidak tahu isi filmnya maka belum bisa komentar. Tapi gambarnya serem ko judulnya kiblat ya. Saya buka-buka arti kiblat hanya ka’bah, arah menghadapnya orang-orang sholat," ujar Kiai Cholil dalam unggahan di media sosialnya yang dikirim ke Republika.co.id, Senin (25/3/2024).

Menurut Kiai Cholil, film Kiblat tidak pantas untuk dijadikan konsumsi hiburan karena bisa menjadi kesalahpahaman di masyarakat. Ia dengan tegas meminta agar film Kiblat tidak ditayangkan karena bisa saja menjadi kampanye hitam terhadap ajaran agama Islam.

"Kalau ini benar, sungguh film ini tidak pantas diedar dan termasuk kampanye hitam terhadap ajaran agama, maka film ini harus diturunkan dan tidak boleh tayang," ujarnya.

Dalam unggahan di media sosialnya, ustadz Hilmi Firadusi menilai film Kiblat sama sekali tidak mendidik. Film tersebut menurutnya mirip dengan film Makmum dan Khazab yang juga mengambil unsur-unsur religi atau simbol-simbol Islam untuk film horor.

"Ini sama sekali tidak mendidik, bahkan membuat sebagai orang jadi takut untuk sholat," ujar ustadz Hilmi, dikutip Republika.co.id pada Senin (25/3/2024).

Ustadz Hilmi berharap, dengan dilarangnya penayangan film Kiblat maka akan menghentikan niatan memproduksi film-film serupa yang mengangkat latar religi, namun dijadikan film horor.

"Mulai saat ini, mohon hentikan membuat film dengan menghororisasikan simbol-simbol Islam. Kita sudah banyak termakan oleh stigma bahwa malam Jumat itu horor, kain kafan itu seram, padahal itu hal-hal mulia dalam Islam," jelasnya.

"Jadi jangan sampai sekarang sholat pun jadi ikut-ikutan seram karena dijadikan tema film horor. Umat Islam pun harus berhenti menonton film-film seperti ini. Insya Allah jika tidak ada pasarnya film-film semacam ini tidak akan dibuat lagi," ujar ustadz Hilmi.

Sementara itu, sutradara Gina S Noer termasuk salah satu yang resah mengenai film horor yang menurutnya semakin mengeksploitasi agama. Dalam unggahan Instagram Story di akunnya, Gina membandingkan film horor Indonesia dengan film horor Korea Exhuma yang mengemas keyakinan karakternya justru untuk melawan setan yang kuat.

Gina menyoroti film horor Indonesia justru memasukkan unsur keyakinan tertentu, khususnya Islam sebagai agama mayoritas, hanya sebagai semacam plot devices murahan untuk jumpscare karakternya.

"Kelemahan iman bukan lagi eksplorasi kritik terhadap keislaman yang dangkal, tapi cara dangkal biar cepat seram," tulis Gina beberapa waktu lalu.

Menyebut dirinya mungkin bukan seseorang yang "agamis", Gina mengaku sangat gelisah sebagai penonton, filmmaker, dan seseorang yang percaya bahwa Islam adalah agama baik dan lemah lembut. Ditambah lagi dengan kondisi literasi masyarakat Indonesia, menurut Gina, tanggung jawab filmmaker bukan hanya untuk mengembalikan investasi, tetapi juga dampak kepada budaya masyarakat.

Sebagai penonton film horor, Gina menilai jarang sekali film horor Indonesia itu mengeksplorasi karakternya. Bahkan, proses suci mengafankan jenazah justru terus menerus dieksploitasi menjadi pocong.

Di media sosial, Gina mencermati banyak orang yang justru mengaku menjadi takut sholat karena takut diganggu setan. Lalu, dzikir menjadi sumber kengerian pada Allah SWT.

 

"Ya salah orangnya dong, kok beriman tergantung film. Please cek your privilege nggak sih? (Tolong cek kelebihan yang Anda miliki, red.) Nggak semua orang dapat pemahaman dan pengajaran agama Islam yang baik di lembaga pendidikannya dan bahkan keluarganya. Ya masa kita yang bikin film yang berkesenian, nggak mindful (peka) sama hal ini,” ucap Gina.

 
Berita Terpopuler