Nadiem Yakin Merdeka Belajar tak Bisa Dihentikan Meski Ganti Pemerintahan

Menurut Nadiem, akan banyak protes yang hadir jika Merdeka Belajar dihentikan.

Dok Kemendikbudristek RI
Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim.
Rep: Ronggo Astungkoro Red: Erik Purnama Putra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim, meyakini Merdeka Belajar akan terus berlanjut ke pemerintahan selanjutnya. Saat ini, Indonesia sedang bersiap transisi masa pemerintahan ke pemerintahan periode 2024-2029.

"Karena gerakan Merdeka Belajar itu sudah bukan menjadi kebijakan sekarang, tapi sudah jadi gerakan di lapangan," kata Nadiem dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (6/3/2024).

Nadiem menyatakan, Merdeka Belajar sudah dimiliki oleh sekolah, guru, hingga siswa. Menurut dia, akan banyak protes yang hadir jika Merdeka Belajar dihentikan. Sebab itu, kata dia, tidak akan mungkin mereka memperbolehkan program itu dihentikan.

Baca: Merujuk Konflik di Laut Cina Selatan, ISDS Gelar Lomba Penulisan

"Benar enggak, adik-adik? Nggak mungkin, kan? Kalau itu mau ditutup, pasti protes, kan? Iya, makanya. Atau nggak adik-adiknya nanti yang protes, nggak dapat kesempatan yang sama," kata Nadiem sembari bertanya ke mahasiswa yang hadir di ruang rapat.

Bahkan, kata dia, akan sangat sulit meniadakan program tersebut. Siapa pun menteri penggantinya kelak, siapa pun presidennya, sangat sulit Merdeka Belajar dihentikan.

"Mau menterinya siapa pun, mau presidennya siapapun, akan sulit untuk ditarik balik kalau sudah dirasakan manfaatnya. Jadi saya punya keyakinan bahwa program-program utama kami akan dilanjutkan," tutur pendiri Gojek tersebut.

Pencegahan kekerasan...

Pemerintah telah mengeluarkan aturan untuk pencehahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan. Meski begitu, Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim mengakui, masih banyak yang perlu dikuatkan sehingga pencegahan dan penanganan kekerasan bisa menjadi budaya dalam sebuah ekosistem pendidikan.

"Berbagai masalah kekerasan di satuan pendidikan tidak bisa kita hadapi sendiri. Perjalanan panjang untuk mewujudkan lingkungan pendidikan yang merdeka dari kekerasan memerlukan kepedulian yang tinggi dan gotong royong dari semua pihak," ujar Nadiem lewat keterangannya di Jakarta, Rabu.

Sejak 2020, sambung dia, Kemendikbudristek berkomitmen menghapus segala bentuk kekerasan di dunia pendidikan, khususnya perundungan, intoleransi, dan kekerasan seksual. Semua hal itu dilakukan agar dapat menciptakan lingkungan belajar yang berkebinekaan, inklusif, dan aman bagi seluruh warga pendidikan.

Pemerintah beserta lembaga negara terkait telah menjalin kolaborasi untuk menyukseskan aturan itu. Adapun kolaborasi tersebut terangkum ke dalam Nota Kesepahaman dan Perjanjian Kerja Sama tentang Implementasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan pada Satuan Pendidikan (PPKSP) pada 2023.

Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek, Suharti menerangkan, salah satu mandat dari peraturan ini adalah satuan pendidikan harus membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). Sedangkan pemerintah daerah harus membentuk satuan tugas (satgas).

"Untuk memantau jumlah TPPK dan Satgas yang sudah dibentuk, kami memiliki portal PPKSP yang digunakan oleh TPPK maupun Satgas melaporkan anggotanya dan dapat dicek secara berkala," ucap Suharti.

Hingga hari ini, sebanyak 361.153 TPPK telah dibentuk di satuan pendidikan dari total keseluruhan 432.399 jumlah satuan pendidikan, dengan capaian untuk jenjang SD, SMP, SMA/SMK, dan SLB mencapai 94 persen dan jenjang PAUD serta Kesetaraan sebesar 72 persen dengan target pada Agustus 2024 mencapai 100 persen.

Kemudian, sebanyak 18 satgas telah terbentuk di tingkat provinsi dari 38 provinsi, dan 296 satgas di tingkat kabupaten/kota dari 514 kab/kota di Indonesia. "Pembentukan TPPK dan Satgas menjadi langkah awal yang sangat baik dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan pendidikan," jelas Suharti.

 
Berita Terpopuler