Peran Inggris dalam Penjajahan Israel di Tanah Palestina

Mandat Inggris menciptakan ketegangan dan kekerasan antara orang Arab Palestina.

EPA-EFE/YAHYA ARHAB
Seorang warga Yaman melewati spanduk bergambar bendera Israel dan AS di dek kapal kargo Galaxy Leader, yang disita oleh Houthi di lepas pantai pelabuhan Al-Salif di Laut Merah di provinsi Hodeidah, Yaman, Selasa (5/12/2023).
Rep: Fuji E Permana Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Deklarasi Balfour dikeluarkan pada tanggal 2 November 1917. Berawal dari Deklarasi Balfour itu yang mengakibatkan bangsa Palestina dijajah oleh Zionis Israel hingga saat ini.

Baca Juga

Deklarasi Balfour mewujudkan cita-cita Zionis untuk mendirikan negara Yahudi di Palestina menjadi kenyataan. Ketika itu, Inggris secara terbuka berjanji untuk mendirikan "rumah nasional bagi orang-orang Yahudi" di tanah Palestina.

Janji tersebut umumnya dipandang sebagai salah satu katalis utama Nakba yakni pembersihan etnis Palestina pada tahun 1948, dan konflik yang terjadi dengan negara Zionis Israel.

Dokumen ini dianggap sebagai salah satu dokumen paling kontroversial dalam sejarah modern dunia Arab, dan telah membingungkan para sejarawan selama beberapa dekade.

Mengenal Deklarasi Balfour

Deklarasi Balfour (Janji Balfour dalam bahasa Arab) adalah janji publik Inggris pada tahun 1917 yang menyatakan tujuannya untuk mendirikan “rumah nasional bagi orang-orang Yahudi” di Palestina.

Pernyataan atau Deklarasi Balfour tersebut disampaikan dalam bentuk surat dari Menteri Luar Negeri Inggris saat itu yakni Arthur James Balfour yang ditujukan kepada Lionel Walter Rothschild, seorang tokoh komunitas Yahudi Inggris.

Deklarasi Balfour dibuat selama Perang Dunia I (1914-1918) dan termasuk dalam ketentuan Mandat Inggris untuk Palestina setelah pembubaran Kesultanan Ottoman.

Apa yang disebut sistem mandat yang dibentuk oleh negara-negara Sekutu adalah bentuk kolonialisme dan pendudukan yang terselubung.

Sistem ini mengalihkan kekuasaan dari wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh negara-negara yang kalah dalam perang. Pihak yang kalah dalam perang yakni Jerman, Austria, Hongaria, Kekaisaran Ottoman, dan Bulgaria, wilayah kekuasaan mereka dialihkan kepada pihak yang menang dalam perang.

Tujuan yang dinyatakan dari sistem mandat ini adalah untuk memungkinkan para pemenang perang dapat mengelola negara-negara baru sampai mereka bisa merdeka.

Namun kasus Palestina adalah kasus yang unik. Berbeda dengan mandat-mandat lain pascaperang, tujuan utama Mandat Inggris adalah untuk menciptakan kondisi bagi pembentukan “rumah nasional Yahudi." Ketika itu jumlah orang Yahudi kurang dari 10 persen dari populasi pada saat itu.

Pada awal mandatnya, Inggris mulai memfasilitasi imigrasi orang Yahudi Eropa ke tanah Palestina. Antara tahun 1922 dan 1935, populasi Yahudi meningkat dari 9 persen menjadi hampir 27 persen dari total populasi.

Meskipun Deklarasi Balfour memuat peringatan bahwa "tidak boleh melakukan apapun yang dapat merugikan hak-hak sipil dan agama komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina.” Namun, kenyataannya mandat Inggris dibuat dengan cara membekali orang-orang Yahudi dengan alat untuk membangun pemerintahan sendiri, dengan mengorbankan orang-orang Arab Palestina.

Mengapa Deklarasi Balfour Kontroversial?

Dokumen Deklarasi Balfour tersebut kontroversial karena beberapa alasan. Pertama, hal ini, menurut mendiang akademisi Palestina-Amerika Edward Said, “(Deklarasi Balfour) dibuat oleh kekuatan Eropa. . . . mengenai wilayah non-Eropa. . . . dengan mengabaikan kehadiran dan keinginan penduduk mayoritas pribumi di wilayah tersebut."

Intinya, Deklarasi Balfour menjanjikan orang-orang Yahudi sebuah tanah di mana lebih dari 90 persen penduduknya merupakan penduduk asli (Palestina).

Kedua, Deklarasi Balfour merupakan salah satu dari tiga janji yang dibuat oleh Inggris pada masa perang yang saling bertentangan.

Ketika Deklarasi Balfour dikeluarkan, Inggris telah menjanjikan kemerdekaan Arab dari Kekaisaran Ottoman melalui korespondensi Hussein-McMahon tahun 1915.

Inggris juga berjanji kepada Prancis, dalam perjanjian terpisah yang dikenal sebagai perjanjian Sykes-Picot tahun 1916. Dalam perjanjian itu dijelaskan bahwa sebagian besar wilayah Palestina akan berada di bawah administrasi internasional, sedangkan wilayah lainnya akan dibagi antara dua kekuatan kolonial setelah perang.

Namun Deklarasi Balfour berarti bahwa Palestina akan berada di bawah pendudukan Inggris. Sehingga orang-orang Arab Palestina yang tinggal di sana tidak akan memperoleh kemerdekaan.

Ketiga, Deklarasi Balfour memperkenalkan sebuah gagasan yang belum pernah ada sebelumnya dalam hukum internasional, yaitu “rumah nasional.”

Penggunaan istilah “rumah nasional” yang tidak jelas bagi orang-orang Yahudi, dan bukan “negara” membuat maknanya terbuka untuk ditafsirkan.

Tapi pada draf dokumen sebelumnya menggunakan frasa “rekonstitusi Palestina sebagai Negara Yahudi” namun kemudian diubah.

Dalam pertemuan dengan pemimpin Zionis Chaim Weizmann pada tahun 1922, Arthur James Balfour dan Perdana Menteri Inggris saat itu David Lloyd George dilaporkan mengatakan bahwa Deklarasi Balfour “selalu berarti sebuah negara Yahudi pada akhirnya.”

Bagaimana Tanggapan Orang Palestina dan Arab Terhadap Deklarasi Balfour?

Pada tahun 1919, Presiden Amerika Serikat (AS) saat itu Woodrow Wilson menunjuk sebuah komisi untuk mengkaji opini publik mengenai sistem mandat di Suriah dan Palestina.

Investigasi tersebut dikenal sebagai komisi King-Crane. Ditemukan bahwa mayoritas warga Palestina menyatakan penolakan yang kuat terhadap Zionisme, sehingga ketua komisi menyarankan modifikasi tujuan mandat tersebut.

Almarhum Awni Abd al-Hadi seorang tokoh politik dan nasionalis Palestina, mengutuk Deklarasi Balfour dalam memoarnya. 

Awni Abd al-Hadi mengatakan bahwa Deklarasi Balfour dibuat oleh orang asing Inggris yang tidak memiliki klaim atas Palestina, (Deklarasi Balfour dibuat oleh orang asing Inggris) kepada orang Yahudi asing yang tidak memiliki hak atas Palestina.

Pada tahun 1920, Kongres Palestina Ketiga di Haifa mengecam rencana pemerintah Inggris untuk mendukung proyek Zionis. Kongres Palestina Ketiga juga menolak Deklarasi Balfour karena dianggap sebagai pelanggaran hukum internasional dan hak-hak penduduk asli.

Namun, sumber penting lainnya untuk mengetahui opini Palestina mengenai Deklarasi Balfour yaitu pers, ditutup oleh Ottoman pada awal perang pada tahun 1914 dan baru mulai muncul kembali pada tahun 1919, namun di bawah pengawasan dan sensor militer Inggris.

Pada bulan November 1919, ketika surat kabar al-Istiqlal al-Arabi (kemerdekaan Arab), yang berbasis di Damaskus dibuka kembali, sebuah artikel menyatakan sebagai tanggapan atas pidato publik oleh Herbert Samuel seorang menteri kabinet Yahudi di London pada peringatan kedua tahun kemerdekaan. Deklarasi Balfour: “Negara kita adalah Arab, Palestina adalah Arab, dan Palestina harus tetap menjadi Arab.”

Bahkan sebelum Deklarasi Balfour dan mandat Inggris, surat kabar pan-Arab memperingatkan motif gerakan Zionis dan potensi dampaknya dalam mengusir warga Palestina dari tanah mereka. Dilansir dari laman Aljazeera, Ahad (25/2/2024)

Khalil Sakakini seorang penulis dan guru asal Yerusalem menggambarkan Palestina segera setelah perang sebagai berikut. “Sebuah bangsa yang telah lama tertidur lelap hanya akan terbangun jika diguncang oleh berbagai peristiwa, dan hanya bangkit sedikit demi sedikit. Begitulah keadaan Palestina yang selama berabad-abad berada dalam tidur paling nyenyak, hingga diguncang perang besar, dikejutkan oleh gerakan Zionis, dan dilanggar oleh kebijakan ilegal (Inggris), dan ia terbangun, sedikit demi sedikit. sedikit demi sedikit.”

Meningkatnya imigrasi Yahudi di bawah mandat Inggris tersebut menciptakan ketegangan dan kekerasan antara orang Arab Palestina dan orang Yahudi Eropa. Salah satu tanggapan populer pertama terhadap tindakan Inggris adalah kerusuhan Nebi Musa pada tahun 1920 yang menyebabkan terbunuhnya empat orang Arab Palestina dan lima imigran Yahudi.

 

Kerusuhan Nebi Musa 1920 atau kerusuhan Yerusalem 1920 adalah kerusuhan Arab terhadap Yahudi di Yerusalem. Peristiwa ini terjadi karena meningkatnya ketegangan antara orang Arab dan Yahudi karena imigrasi Zionis. 

 
Berita Terpopuler