Akar Masalah Tawuran, Sosiolog: Tidak Adanya Panggung, Perhatian, dan Pujian Buat Remaja

Remaja membutuhkan panggung, perhatian, dan pujian.

Dok Humas Polres Indramayu
Remaja pelaku tawuran diamankan polisi (Ilustrasi). Remaja membutuhkan panggung, perhatian, dan pujian.
Rep: Rahma Sulistya Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sosiolog dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, mengungkapkan akar masalah maraknya tawuran ialah ketiadaan panggung bagi anak dan remaja. Berdasarkan beberapa penelitian, konflik yang terjadi antarorang dewasa biasanya karena masalah ekonomi, sementara pada anak dan remaja masalahnya berpusat pada perhatian, pujian, dan panggung.
 
"Selama anak dan remaja itu hadir, maka potensi terjadinya gesekan tawuran di antara kaum muda itu akan sangat tinggi," ucap Devie saat dihubungi Republika.co.id, Senin (19/2/2024).
 
Secara biologis, anak dan remaja pertumbuhan rasionalnya baru mencapai kesempurnaan di usia 24 tahun. Di tengah lambatnya pertumbuhan rasionalnya, pertumbuhan emosi remaja jauh lebih cepat. Inilah yang menyebabkan anak dan remaja dikomandoi oleh emosinya, bukan rasionya, ketika berinteraksi.

Baca Juga

"Ini yang menjawab kenapa anak dan remaja mudah terlibat konflik dengan penyebab-penyebab yang dinilai oleh orang dewasa sebagai penyebab yang sangat receh," ucap Devie.
 
Secara psikologis, menurut Devie, anak dan remaja juga sedang memasuki siklus pencarian jati diri. Ketika tidak memperoleh bimbingan dan panduan, mereka berpotensi mencari jati diri di jalanan.
 
Problemnya adalah anak dan remaja ini membutuhkan panggung dalam mencari jati dirinya. Itu karena mereka butuh pujian dan penghargaan. 

Namun, menurut Devie, panggung, perhatian, dan pujian itu tidak hadir di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Secara sosial, masyarakat hanya memberikan ketiga hal penting itu pada anak-anak dengan kategori prestasi tertentu, misal akademik. Itupun di bidang tertentu seperti Fisika atau Matematika. Anak-anak yang tidak memiliki kemampuan di sana akan terpinggirkan.
 
"Pengalaman saya studi di luar adalah bagaimana setiap anak dinilai unik oleh karenanya ada ekstrakurikuler yang menaungi mereka, sehingga setiap anak punya panggungnya sendiri. Di mana mereka bisa mendapat kesempatan diperhatikan dan dipuji, bahkan ekskul paling sedikit itu ada 100 jenis," papar Devie.

Di luar negeri, menurut Devie, setiap anak memiliki komunitasnya dan diciptakan panggungnya, sehingga mereka bisa mendapat perhatian dan pujian. Tidak adanya panggung ini yang kemudian mengakibatkan anak dan remaja mencari perhatian dan pujian di jalanan. Itulah cara mereka untuk mendapat kan panggung.
 
"Ini yang menjawab mengapa tindakan mereka jauh dari kata kemanusiaan karena misalnya biacara soal kekerasan, semakin sadis mereka maka nama mereka akan semakin tersohor. Karena mereka akan ditakuti, diperbincangkan, apalagi sekarang ada medium media sosial yang memperkuat gema perilaku tadi," kata Devie.
 
Mendapat sorotan, remaja menganggap "panggungnya" mendapat perhatian bahkan pujian di kalangan sesamanya. Akhirnya, remaja menganggap itu sebagai keberhasilan.

"Andaikan mendapat ruang masing-masing, tentu mereka tidak perlu menjadikan jalanan sebagai panggung tempat mendapat perhatian dan pujian," ucap dia.

 
Berita Terpopuler