Apa Itu Metode Hisab Wujudul Hilal yang Digunakan Muhammadiyah?

hisab wujudul hilal adalah kriteria penentuan awal Hijriyah menggunakan dua prinsip.

ANTARA/Olha Mulalinda
Tim pelaksana penglihatan hilal BMKG mengamati Hilal di Kota Sorong, Papua Barat, Ahad (1/5/2022). Muhammadiyah tetapkan 1 Ramadhan pada 11 Maret 2024.
Rep: Imas Damayanti Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PP Muhammdiyah telah menetapkan 1 Ramadhan 1445 Hijriyah jatuh pada Senin, 11 Maret 2024. Keputusan ini dikeluarkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dengan metode hisab wujudul hilal.

Baca Juga

Lantas, apa itu metode hisab wujudul hilal? Secara sederhana, metode hisab wujudul hilal adalah kriteria penentuan awal bulan Hijriyah dengan menggunakan dua prinsip. Yakni ijtimak telah terjadi sebelum matahari terbenam (ijtimak qoblal qurub), dan bulan terbenam setelah matahari terbenam. Maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan Hijriyah tanpa melihat berapapun sudut ketinggian bulan saat matahari terbenam.

Dilansir di laman Muhammadiyah, Sabtu (20/1/2024), dengan hisab, umat Islam dapat menghitung posisi-posisi geometris benda-benda langit guna menentukan penjadwalan waktu di muka bumi. Dengan ini dapat membuat perhitungan awal bulan qomariyah dan penanggalan. Dalam perjalanannya, PP Muhammadiyah telah berperan aktif dan kreatif dalam mengembangkan ilmu hisab di Indonesia dan dapat dikatakan sebagai pelopor penggunaan hisab untuk penentuan bulan qomariyah yang terkait dengan ibadah.

Dalam penentuan awal bulan qomariyah, Muhammadiyah tidak mendasarkan pada metode hisab urfi, karena perhitungannya didasarkan pada peredaran bulan dan bumi rata-rata dalam mengelilingi Matahari, sehingga menghitung umur bulan secara tetap, yakni pematokan hari dalam bulan-bulan hijriyah sebanyak 30 hari untuk bulan ganjil (bulan ke-1, 3, 5, 7, 9, 11) dan 29 hari untuk bulan genap (bulan ke-2, 4, 6, 8, 10, 12) secara terus menerus dalam satu tahun, kecuali bulan Dzulhijjah pada tahun kabisat berjumlah 30 hari.

Muhammadiyah mengacu pada gerak faktual Bulan di langit sehingga bermula dan berakhirnya bulan kamariah berdasarkan pada kedudukan atau perjalanan Bulan benda langit tersebut. Inilah yang dinamakan dengan hisab hakiki.

Penggunaan hisab hakiki oleh Muhammadiyah ini disebabkan oleh perhitungan yang dilakukan terhadap peredaran bulan dan matahari menurut hisab ini harus sebenar-benarnya dan setepat-tepatnya berdasarkan kondisi bulan dan matahari pada saat itu.

Lebih jauh, Muhammadiyah menggunakan hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal, yakni Matahari terbenam lebih dahulu daripada Bulan walaupun hanya berjarak satu menit atau kurang.

Ide ini berasal dari pakar falak Muhammadiyah Wardan Diponingrat yang tidak hanya dipahami berdasarkan pada Alquran Surat Yasin ayat 39-40, melainkan juga menggunakan perangkat lain seperti hadis dan konsep fikih lainnya serta dibantu ilmu astronomi.

Syarat hisab hakiki kriteria wujudul hilal....

 

 

 

 

Syarat hisab hakiki kriteria wujudul hilal

Dalam buku Pedoman Hisab Muhammadiyah dijelaskan bahwa dengan hisab hakiki kriteria wujudul hilal, bulan qomariyah baru dimulai apabila pada hari ke-29 berjalan saat matahari terbenam terpenuhi tiga syarat berikut secara kumulatif. Dijelaskan pula bahwa dengan hisab hakiki kriteria wujudul hilal, bulan qomariyah baru dimulai apabila pada hari ke-29 berjalan saat matahari terbenam terpenuhi tiga syarat berikut secara kumulatif.

Yaitu (1) telah terjadi ijtimak, (2) ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam, dan (3) pada saat matahari terbenam Bulan (piringan atasnya) masih di atas ufuk. Apabila salah satu dari kriteria tersebut tidak dipenuhi, maka bulan berjalan digenapkan tiga puluh hari dan bulan baru dimulai lusa.

Tidak semua metode hisab hakiki mensyaratkan keberadaan Bulan di atas ufuk saat matahari terbenam pada hari konjungsi. Dalam hisab hakiki kriteria ijtimak sebelum gurub (al-ijtima’ qabla al-gurub), misalnya, apabila ijtimak terjadi sebelum matahari tenggelam, maka malam itu dan esok harinya adalah bulan baru, dan apabila ijtimak terjadi sesudah matahari terbenam, maka malam itu dan esok harinya adalah hari penggenap bulan berjalan, dan bulan baru dimulai lusa.

Kriteria ini tidak mempertimbangkan apakah pada saat matahari terbenam bulan berada di atas ufuk atau di bawah ufuk. Pahadal, ufuk menjadi garis penentu apakah Bulan baru sudah wujud atau belum. Apabila pada saat terbenamnya matahari, Bulan telah mendahului matahari dalam gerak mereka dari barat ke timur, artinya saat matahari terbenam Bulan berada di atas ufuk, maka itu menandai dimulainya bulan kamariah baru.

Akan tetapi apabila Bulan belum dapat mendahului matahari saat gurub, dengan kata lain Bulan berada di bawah ufuk saat matahari tenggelam, maka bulan kamariah baru belum mulai; malam itu dan keesokan harinya masih merupakan hari dari bulan qomariyah berjalan.

Bagi Muhammadiyah, menjadikan keberadaan bulan di atas ufuk saat matahari terbenam sebagai kriteria mulainya bulan qomariyah baru juga merupakan abstraksi dari perintah-perintah rukyat dan penggenapan bulan tiga puluh hari bila hilal tidak terlihat. Hilal tidak mungkin terlihat apabila di bawah ufuk.

Hilal yang dapat dilihat pasti berada di atas ufuk. Apabila Bulan pada hari ke-29 berada di bawah ufuk sehingga tidak terlihat, lalu bulan bersangkutan digenapkan 30 hari, maka pada sore hari ke-30 itu saat matahari terbenam untuk kawasan normal Bulan sudah pasti berada di atas ufuk.

Mengapa Muhammadiyah tidak gunakan metode hisab hakiki imkanur rukyat?

Jika menolak kriteria ijtimak sebelum gurub (al-ijtima’ qabla al-gurub), mengapa Muhammadiyah tidak mengadopsi hisab hakiki kriteria imkanur rukyat yang di dalamnya juga mensyaratkan Bulan berada di atas ufuk saat matahari tenggelam pada hari konjungsi?

Jawaban yang mungkin dapat....

 

 

Jawaban yang mungkin dapat ditelaah karena para ahli hingga saat ini belum sepakat dalam menentukan berapa derajat ketinggian bulan di atas ufuk untuk dapat dilihat. Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang kemudian diadopsi Kementerian Agama (Kemenag) misalnya menyebut jika tinggi bulan ketika terbenam matahari di seluruh Indonesia di atas dua derajat, maka besok akan menjadi awal bulan baru.

Hal ini berbeda dengan lembaga fatwa lain yang meski sama-sama menggunakan kriteria imkanur rukyat namun parameter tinggi bulan berbeda satu sama lain. Karenanya, hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal diambil Muhammadiyah karena lebih memberikan kepastian dibandingkan dengan hisab hakiki kriteria imkanur rukyat.

Bagi Muhammadiyah, jika posisi bulan sudah berada di atas ufuk (pada saat terbenam matahari di seluruh Indonesia), seberapa pun tingginya (meskipun hanya 0.1 derajat), maka esoknya adalah hari pertama bulan baru.

Apakah metode hisab wujudul hilal akurat?

Tidak sedikit ulama yang mengatakan proses penghitungan posisi bulan dan matahari menggunakan hisab tidaklah akurat. Karena dianggap spekulatif belaka, ada semacam probabilitas kesalahan yang cukup besar di dalamnya.

Salah satu ulama yang menolak hisab sebagai metode penentuan awal bulan kamariah ini ialah Ibnu Taimiyah. Dalam kitab Majmu’ Fatawa, tokoh reformasi Islam pada abad pertengahan ini dengan tegas mengatakan bahwa puasa tidak bisa dimulai kecuali dengan melakukan rukyat terlebih dahulu.

 

Di masa sekarang, ilmu hisab mencapai tingkat akurasi yang tinggi. Ketinggian bulan, misalnya, dapat diketahui sampai pada ukuran detiknya. Lama rata-rata peredaran Bulan mengelilingi Matahari adalah 29 hari 12 jam 44 menit 2,5 detik. Tidak heran bila Yusuf Qaradhawi dalam kitab Kayfa Nata’amal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah mengatakan bahwa hisab bersifat qath’i. Justru penggunaan rukyat seringkali tidak akurat karena terhalang oleh cuaca alam, alat optik, dan kemampuan manusia itu sendiri.

 
Berita Terpopuler