Belajar dari Cokro Aminoto di Rusuh SARA 1920 di Surabaya Jangan Bermain Api dengan Penistaan Agama!

Penistaan agama itu soal serius sepanjang masa di indonesia.

network /Muhammad Subarkah
.
Rep: Muhammad Subarkah Red: Partner

Surabaya tahun 1920.

Persoalan penistaan ajaran agama di Indonesia semenak dahulu itu sangat serius. Soal ini yang termasuk dalam isu sangat sensutif, SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan), telah terbukti memicu kerusuhan. Kasus Arya Dwikarma misalnya harus segera diselesaikan. Tanpa itu baru itu akan meledak menjadi persoalan besar.

Di zaman kolonial pemerintah Hindia Belanda kala itu pun bertindak sangat tegas, bahkan keras ketika muncul soal ini.

Persoalan ini misalnya terjado pada tahun 1920-an tatkala meletus isu SARA di Surabaya. Waktu itu kalangan umat Islam membuat aksi besar-besaran memprotesnya. Kalau dipadankan mirip aksi 212 yang terjadi beberapa tahun silam.

Rusuh di Suraabayaa itu terjadi pada bulan Februari 1920. Keributan sudah berubah menjadi aksi kekerasa yakni berupa pembakaran tempat ibadah.

Golongan etnis tertentu jadi sasaran amuk massa. Untunglah saat itu 'Pak Tjokro' (HOS Tjokro Aminoto) sebagai pemimpin Islam turun tangan.

Tjokro pun berusaha keras untuk menentramkan suasana. Aparat keamanan pemerintah kolonial saat itu pun bertindak sangat tegas dengan menangkap banyak orang dan memasukannya ke bui.


Tak hanya pemerintah kolonial Hindia Belanda, rezim yang sekuler pun di zaman Orde Baru. Presiden Soeharto tak pernah mau mentoleransi soal isu SARA.

Pak Harto memang semenjak awal kekuasaannya dia selalu bertindak tegas bila muncul soal SARA. Pak Harto menjalankan aturan dengan melaksanakan Peraturan Presiden (Pepres) N0 1 tahun 1965 yang dibuat oleh Presiden Soekarno.

Isi aturan hukum ini adalah tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama.

Tak hanua ituPerpres tersebut kemudian menetapkan untuk menambahkan pasal penodaan agama di dalam bab yang mengatur tentang ketertiban umum, Pasal 156 a KUHP. Tujuannya diantaranya adalah untuk menjaga tertib sosial di masyarakat.

Tapi pertanyaannya kemudian: Apakah sinisme terhadap agama –di antaranya Islam-- menjadi berhenti? Jawabannya ternyata tidak! Sinisme (bahkan bisa disebut phobia) terus berlanjut.

Sebagai ujian pertama ‘keampuhan’ aturan hukum ini terjadi pada bulan Agustus 1968 atau di masa awal Orde Baru. Majalah sastra termuka yang diasuh HB Jassin --Majalah Sastra, Th. VI. No. 8, Edisi Agustus 1968 – mempublikasikan cermin kontroversial ‘Langit Makin Mendung’ karya sesorang yang menyebut dirinya sebagai Ki Panji Kusmin yang mengolok nabi Muhammad SAW dan Jibril turun di kawasan Pasar Senin.

Saat itu kontroversi pun meledak hebat. Umat Islam saat itu merasa tersinggung dengan cerpen tersebut yang dianggap menghina Islam.

Ki Panji Kusmin dihukum. Dan HB Jassin selaku penanggung jawab Majalah Sastra dihukum percobaan selama dua tahun

Maka, tak usah main-main soal SARA....! Kalangan umat beragama -- terutama Islam harus banyak bersabar...

 
Berita Terpopuler