Seorang Ibu di Gaza Lahirkan Kembar Empat di Tengah Genosida Israel

PBB memperkirakan 1,9 juta dari 2,3 juta populasi Gaza mengungsi.

EPA-EFE/HAITHAM IMAD
Seorang ibu Palestina (tengah) memeluk kerabatnya (kanan) di Rumah Sakit Nasser di Khan Yunis, Jalur Gaza selatan, 27 Desember 2023, setelah menerima kabar tentang putranya.
Rep: Lintar Satria Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Iman al-Masry kelelahan setelah melahirkan anak keempat di rumah sakit di Gaza selatan. Bermil-mil dari rumahnya di utara yang hancur karena perang.

Beberapa hari setelah perang Israel-Hamas pecah, perempuan muda itu harus meninggalkan rumah bersama keluarganya di Beit Hanun dengan berjalan kaki. Ia membawa tiga orang anak.

Mereka berjalan kaki sejauh lima kilometer ke kamp pengungsian Jabalia untuk mencari transportasi menuju Deir al-Balah di selatan. Saat itu, Iman hamil enam bulan dan katanya perjalanannya terlalu jauh.

"Itu berdampak pada kehamilan saya," kata perempuan berusia 28 tahun itu seperti dikutip dari Al Arabiya, Kamis (28/12/2023).

Pada 18 Desember lalu, ia melahirkan dua putri Tia dan Lynn serta dua putra Yasser dan Mohammed dengan operasi sesar. Namun, ia diminta segera pulang bersama tiga anaknya yang baru lahir karena Mohammed masih terlalu rentan untuk meninggalkan rumah sakit.

Baca Juga

Sebab, rumah sakit perlu ruang untuk...

Sebab, rumah sakit perlu ruang untuk merawat korban luka akibat perang. Kini, Tia, Lynn, dan Yasser tinggal di ruang kelas sekolah yang diubah menjadi tempat penampungan pengungsi di Deir al-Balah bersama 50 anggota keluarga besar mereka.

"Berat Mohammad hanya satu kilogram, dia tidak bisa bertahan," kata Iman mengenai anak yang ia tinggalkan di rumah sakit kamp pengungsian Nuseirat.

Berbaring di matras busa di ruang kelas yang diubah menjadi tempat penampungan bagi keluarga besarnya, Iman mengenang perjalannya yang berbahaya. "Ketika saya meninggalkan rumah, saya hanya membawa beberapa pakaian musim panas anak-anak, saya pikir perang hanya berlangsung satu atau dua pekan dan setelah itu kami bisa pulang," katanya.

Lebih dari 11 pekan kemudian, harapannya untuk kembali pupus. PBB memperkirakan 1,9 juta dari 2,3 juta populasi Gaza terpaksa mengungsi selama perang.

Konflik pecah setelah Hamas menggelar serangan mendadak ke Israel. Israel membalasnya dengan serangan tanpa pandang bulu ke Gaza yang diikuti invasi pada 27 Oktober lalu. Kementerian Kesehatan Palestina mengatakan serangan Israel sudah menewaskan sekitar 21.110 orang Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak.

Seperti ibu-ibu lainnya, Iman berharap dapat mengikuti tradisi dan merayakan kelahiran anaknya dengan membasuh mereka dengan air mawar. Tapi, katanya, selama 10 hari mereka bahkan tidak bisa memandikan mereka.

Karena sulitnya mendapatkan air bersih...

Karena sulitnya mendapatkan air bersih di wilayah yang hancur oleh perang dan mengalami kelangkaan kebutuhan pokok termasuk, susu, obat-obatan dan pasokan higienis seperti popok.

"Normalnya saya akan mengganti popok bayi setiap dua jam sekali, tapi situasi sangat sulit dan saya harus berhemat," katanya.

Ia menambahkan para bayi yang baru lahir hanya mendapatkan popok naru setiap pagi dan sore. Suaminya Ammar al-Masry mengatakan ia sangat sedih tidak bisa menafkahi keluarganya.

"Saya merasa tak berdaya. Saya mengkhawatirkan anak-anak saya. Saya tidak tahu bagaimana melindungi mereka," kata Ammar yang dikelilingi enam anaknya.

Ia menambahkan ia menghabiskan sebagian besar waktunya di luar rumah untuk mencari makanan. “Tia (yang mengidap penyakit kuning) harus disusui dan istri saya perlu makanan bergizi yang mengandung protein. Anak-anak membutuhkan susu dan popok. Tapi saya tidak bisa mendapatkan semua itu,” katanya.

 
Berita Terpopuler