Perang Berlanjut, Manakah Solusi Damai Paling Waras Palestina-Israel?

Ke manakan masa depan negara Palestina merdeka?

AP Photo/Hatem Ali
Warga Palestinian evakuasi bocah terkena bom pasukan Israel. (lustrasu)
Red: Muhammad Subarkah

Oleh Affan Ramli, Pengajar Pedagogi Kritis dan Alumni International Islamic University Malaysia (IIUM)

Kemarin, Palestina-Israel gagal memperpanjang gencatan senjata. Perang brutal dan genosida di Gaza dilanjutkan. Bocoran dari Financial Time mengabarkan Israel merencanakan perang selama satu tahun ke depan atau lebih. Sampai Hamas benar-benar bisa dihancurkan. 

Dunia masih gagal memberikan Palestina solusi damai jangka Panjang. Saat ini, masyarakat internasional bergelut dengan perdebatan dua wacana, antara solusi dua negara dan solusi satu negara. Manakah dari dua solusi itu yang paling waras?

Pemerintah Cina dan Rusia sejak awal percaya, satu-satunya solusi damai adalah Palestina harus merdeka. Bertetangga dengan Israel. Pikiran seperti ini biasanya disebut solusi dua negara. Negara Israel dan negara Palestina hidup damai berdampingan.

Banyak negara Eropa belakangan menyuarakan tuntutan yang sama. Spanyol, Belgia, dan Norwegia diantara negara Eropa paling getol menyuarakan solusi dua negara. Palestina tidak boleh lagi hidup di bawah Israel dengan wilayah otonomi atau pemerintahan sendiri.

Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, menekankan solusi dua negara jadi satu-satunya jalan yang dapat menjamin perdamaian Israel-Palestina dalam jangka panjang. Sebagai pendukung fanatik Israel, pikiran Joe Biden seperti itu dinilai suatu kemajuan penting.

Soalnya, sekutu utama Amerika Serikat di Eropa masih  menentang solusi dua negara. Sebut saja beberapa negara pembela Israel garis keras, seperti Inggris, Francis, Jerman, dan Itali hingga kini masih menolak Palestina merdeka. Jika Palestina jadi negara baru, proyek perluasan pemukiman Israel otomatis terhenti.

Penentang solusi dua negara bukan hanya datang dari negara-negara Eropa sekutu dekat AS. Iran juga menolak solusi seperti itu. Bagi Iran, solusinya harus satu negara, bukan dua negara.

Bedanya, solusi satu negara versi Iran artinya hanya ada negara Palestina. Israel dibubarkan. Bagi Eropa, solusi satu negara bermakna hanya ada negara Israel, seperti saat ini. Palestina cukup jadi wilayah otonomi dalam negara Israel.  

 

 

Satu Negara

Solusi satu negara usulan Barat menggunakan beberapa pilihan skema (Pnina Sharvit Baruch,  2021). Pertama, skema negara kesatuan Israel Raya. Dengan satu pemerintahan di seluruh wilayah mencakup seluruh Palestina saat ini, dengan kewarganegaraan dan hak yang sama bagi semua penduduk, tanpa memandang etnis atau agama mereka. 

Dalam skema ini, Israel bukan lagi negara Yahudi seperti cita-cita zionisme sejak awal. Berubah menjadi negara-bangsa bersama dengan identitas nasionalisme baru, gabungan beragam etnik dan agama di dalamnya.

Pilihan kedua, Israel mencaplok Tepi Barat tetapi tidak mencaplok Jalur Gaza. Dalam skema ini, Israel tetap menjadi negara Yahudi dan demokratis dengan jumlah minoritas Arab yang lebih besar. Tepi Barat akan diberikan status wilayah otonom bagi warga Palestina di sana.

Pilihan ketiga, pembentukan negara federal Israel Raya dengan tatanegara umumnya negara federasi. Pilihan keempat, membangun konfederasi Israel-Palestina, dimana secara de jure membentuk satu negara, tetapi secara de facto Israel dan Palestina menjadi dua negara merdeka. Keduanya berbagi kekuasaan di beberapa wilayah. 

Intinya, solusi satu negara versi Barat mengacu pada pilihan pembentukan negara kesatuan, atau federasi atau konfederasi Israel-Palestina, yang mencakup seluruh wilayah Israel saat ini, Tepi Barat termasuk Yerusalem Timur, Jalur Gaza dan bahkan Dataran Tinggi Golan yang aslinya milik negara Suriah.

Berbeda lagi konsep solusi satu negara yang diusulkan Iran. Bagi negeri para mullah itu, satu-satunya negara yang sah di wilayah itu adalah Palestina.

Israel merupakan proyek kolonial Inggris yang ingin mengumpulkan orang-orang Yahudi seluruh dunia ke satu wilayah. Sialnya, wilayah yang dipilih adalah kampung-kampung orang Palestina.

Iran mengusulkan referendum yang melibatkan seluruh warga Palestina dari umat Islam, Kristen, dan Yahudi. Rakyat umum memilih bentuk negara dan pemerintahan mereka secara demokratis melalui referendum itu.

Warga negara Israel yang akan dibubarkan  diberi pilihan, sebagian mereka bisa menetap di negara Palestina atau kembali ke negara-negara asalnya sebelum bermigrasi ke wilayah Palestina saat ini yang diduduki.

Bagi Iran, jika Eropa merasa bersalah telah membantai etnik Yahudi sebelumnya, maka mereka tidak boleh memberi kompensasi pada kesalahan sejarah itu dengan memindahkan Yahudi ke Palestina.

Jerman lah yang harus menyediakan lahan atau pulau kepada bangsa Yahudi korban pembantaian Nazi. Jika bukan Jerman, harus di Negara Eropa lainnya. Bukan ke negara Timur Tengah atau bagian lain dunia.

Sebagai orang-orang Eropa yang bermigrasi ke Palestina, status warga negara Israel saat ini pasca pembubarannya nanti bisa jadi pengungsi, pekerja migran, atau penduduk dengan dua kemungkinan status. Bisa pemukim tetap (permanent resident) atau warga negara (citizenship).

 

Dua Negara

Tampaknya, mayoritas negara-negara dunia tidak mendukung gagasan solusi satu negara. Baik versi Barat maupun versi Iran.

Hingga Oktober 2023, 138 dari 193 negara anggota Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) telah mengakui Negara Palestina merdeka. Bermakna, sebagian besar negara dunia mendukung solusi dua negara.

Meskipun kebanyakan anggota PBB mendukung Palestina merdeka, tetapi PBB tidak dapat menggunakan kekuatan paksaan kepada Israel untuk menerima solusi dua negara.

Di lapangan, PBB tunduk pada kepentingan negara Israel yang ngotot dengan solusi satu negara. Di mana Pelestina selamanya berstatus wilayah otonomi dengan pemerintahan sendiri, bukan negara merdeka.

Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia mendukung solusi dua negara. Bermakna, Indonesia melihat Israel dapat menjadi negara sahabat jika penjajahannya atas Palestina dapat diakhiri. 

Pertanyaannya, jika Palestina menjadi negara merdeka yang mencakup Jalur Gaza dan Tepi Barat saja, bagaimana nasib 5,9 juta pengungsi Palestina yang terusir ke negara tetangga karena pendirian negara Israel?

Biro Pusat Statistik Palestina (PCBS) mengatakan para pengungsi Palestina yang terusir dari kampung halamannya saat ini tinggal di 58 kamp di berbagai negara tetangga. Mencakup kamp-kamp pengungsian di Yordania, Lebanon, Suriah dan negara-negara lain.

Bisakah mereka kembali ke kampung-kampung halamannya setelah Palestina menjadi negara merdeka?

Tentu saja tidak. Jalur Gaza dan Tepi Barat tidak punya lahan yang cukup untuk menerima 5,9 juta pengungsi itu kembali ke sana. Lagian, kampung-kampung asal mereka bukan di Gaza dan Tepi Barat, tetapi di tanah yang sudah dicaplok puluhan tahun untuk perluasan pemukiman Israel. 

Bermakna, Indonesia dan negara-negara pendukung solusi dua negara mempercayai 5,9 juta pengungsi Palestina di luar negeri harus lah selama-lamanya menjadi pengungsi. Tidak ada tempat kembali.

Lebih waras mana, cara berpikir solusi satu negara versi Iran atau solusi dua negara yang didukung mayoritas negara Muslim?

 
Berita Terpopuler