Lima Alasan Pemerintah Ajukan Revisi UU ITE

Menkominfo mengapresiasi Komisi I DPR yang menyelesaikan pembahasan revisi UU ITE.

Republika/Ronggo Astungkoro
Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi.
Rep: Nawir Arsyad Akbar Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada Komisi I DPR yang telah menyelesaikan pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Selangkah lagi, revisi tersebut akan disahkan menjadi undang-undang.

Baca Juga

Jelasnya, pemerintah melihat adanya lima masalah utama yang membuat mereka mengusulkan revisi terbatas terhadap UU ITE. Pertama adalah penerapan sejumlah pasal UU ITE yang multitafsir dan karet.

"Penerapan norma-norma pidana dalam UU ITE berbeda-beda di berbagai tempat. Oleh karena itu, banyak pihak yang menganggap norma UU ITE multitafsir, karet, memberangus kemerdekaan pers, hingga mengancam kebebasan berpendapat," ujar Budi dalam rapat pengambilan keputusan tingkat I revisi UU ITE, Rabu (21/11/2023).

Kedua, UU ITE yang ada saat ini belum dapat memberikan perlindungan optimal bagi pengguna internet di Indonesia. Khususnya kepada anak-anak yang menggunakan produk atau layanan digital.

Ketiga, UU ITE yang ada saat ini belum mengoptimalkan peran pemerintah dalam membangun ekosistem digital yang adil, akuntabel, dan inovatif. Padahal potensi ekonomi digital Indonesia sangatlah besar, bahkan sudah berkontribusi di tingkat Asia.

"Melihat besarnya potensi ekonomi digital Indonesia saat ini dan di masa akan datang, pemerintah perlu memperkuat regulasi dalam memberikan perlindungan bagi pengguna layanan digital Indonesia dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)," ujar Budi.

Keempat, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melihat bahwa  layanan sertifikasi elektronik juga merupakan salah satu aspek yang perlu diperkuat. Di mana penyelenggara sertifikasi elektronik telah memberikan sertifikasi selain tanda tangan elektronik, seperti segel elektronik, otentifikasi situs web, hingga identitas digital.

"Indonesia membutuhkan landasan hukum yang lebih komprehensif dalam membangun kebijakan identitas digital dan sertifikasi elektronik lainnya," ujar Budi.

 

 

Terakhir, UU ITE yang ada saat ini masih memerlukan penguatan kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kominfo. Khususnya dalam melakukan penyidikan tindak pidana siber, di mana para pelaku kerap menggunakan rekening bank untuk menyimpan hasil kejahatan yang mereka.

"RUU perubahan kedua UU ITE merupakan kebijakan besar Indonesia untuk menghadirkan ruang digital Indonesia agar tetap bersih, sehat, beretika, produktif, dan berkeadilan, sama seperti halnya di ruang fisik," ujar Budi.

"Pemerintah memiliki tanggung jawab dalam memenuhi hak yang dimiliki pengguna internet Indonesia. Pemerintah bertanggung jawab untuk menjamin kemerdekaan menyatakan pikiran dan kebebasan perbaikan melalui platformkomunikasi digital," sambungnya.

Ketua Komisi I Meutya Hafid menjelaskan, revisi UU ITE akan disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR terdekat. Revisi tersebut juga akan menjadi payung hukum bagi pengguna internet dalam perlindungan transaksi elektronik.

"Dengan masukan dari beberapa RDPU yang kita lakukan, kita juga menyempurnakan agar ekosistem digital, khususnya untuk transaksi ekonomi itu juga diperbaiki. Sehingga sebagaimana Ketua Panja sampaikan, cukup banyak dan cukup komprehensif tambahan-tambahan lainnya untuk melindungi transaksi digital di dalam RUU ITE ini," ujar Meutya.

Pelanggaran UU ITE - (republika/mgrol100)

 
Berita Terpopuler