Umat Kristen Senasib Sepenanggungan dengan Muslim di Gaza

Umat Kristen membuktikan semangat solidaritas dengan muslim Gaza.

EPA-EFE/MOHAMMED SABER
Orang-orang berdiri di dekat reruntuhan Gereja Ortodoks Yunani Saint Porphyrius setelah serangan udara semalam di Gaza, (20/10/ 2023).
Rep: Amri Amrullah  Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA --- Salah satu momen yang membuka mata publik dunia, saat gempuran Israel di Gaza adalah sebuah ledakan yang sangat mematikan dari artileri Israel di Rumah Sakit Baptis al-Ahli pada 17 Oktober 2023. Bom Israel yang menghancurkan fasilitas medis milik umat Kristen ini menewaskan hampir 500 orang, menurut otoritas kesehatan Palestina. 

Dua hari kemudian, Israel mengebom Gereja Santo Porphyrius, gereja tertua di Jalur Gaza, menewaskan sedikitnya 18 orang. Patriarkat Ortodoks Yerusalem menggambarkan serangan terhadap gereja tersebut sebagai "kejahatan perang".

Komunitas Kristen terguncang, tetapi sebagian besar warga Kristen Gaza, memilih tidak meninggalkan kota yang terkepung, karena mereka memiliki kekayaan warisan Kristen yang terjaga sejak dua ribu tahun yang lalu, bahkan hingga di bawah kekuasaan Islam.

Serangan mematikan terhadap rumah sakit Kristen dan gereja tersebut telah mengubah pandangan dunia, khususnya negara yang mayoritas berpenduduk Kristen ke dalam pergumulan fakta yang cukup mengejutkan di Gaza. Warga Gaza selama ini tidak 100 persen muslim, dan mereka hidup berdampingan.

Berapa banyak umat Kristen yang tinggal di Gaza?
Jumlah umat Kristen di Gaza telah berkurang dalam beberapa tahun terakhir. Saat ini hanya ada sekitar 1.000 orang yang tersisa. Angka itu menurun drastis dari 3.000 orang yang terdaftar pada tahun 2007. Penurunan terutama ketika perang Israel-Hamas semakin intensif di wilayah Gaza. 

Menurut Kamel Ayyad, juru bicara Gereja Santo Porphyrius, mayoritas penduduknya berasal dari Gaza sendiri. Sisanya merupakan pengungsi setelah Nakba terjadi. Bahkan, setelah peristiwa itu, umat Kristen tak bisa hidup sejahtera dan ama.

"Karena blokade Israel membuat wilayah ini sering dilanda kemiskinan, sangat sulit bagi orang-orang untuk tinggal di sini. Banyak orang Kristen pergi ke Tepi Barat, ke Amerika, Kanada atau dunia Arab, mencari pendidikan dan kesehatan yang lebih baik," kata Ayyad.

Bagaimana hubungan antara umat Kristen dan Muslim di Gaza?

Baca Juga

 

Hidup di bawah pengepungan Israel, umat Kristen di Gaza membuktikan semangat solidaritas dengan muslim Gaza. Keduanya bersatu dalam perjuangan untuk bertahan hidup dan impian bersama akan kebebasan dan kemerdekaan.

"Kita semua adalah orang Palestina. Kami tinggal di kota yang sama, dengan penderitaan yang sama. Kita semua berada di bawah pengepungan dan kita semua sama," kata Ayyad. 

Secara umum, komunitas Kristen selalu memainkan peran penting dalam kehidupan Palestina, menghasilkan tokoh-tokoh seperti Issa El-Issa, pendiri surat kabar yang sangat berpengaruh di Jaffa. Falastin, pendorong utama nasionalisme Arab Palestina selama masa Mandat Inggris, dan Edward Said, yang membeberkan rasa puas diri Barat terhadap Timur dalam bukunya yang sangat penting, Orientalism.

Di Gaza, warga Kristen memang berasal dari komunitas kecil, namun mereka memainkan peran yang sama besarnya, dalam menyuarakan kemerdekaan dan kemandirian Palestina. "Mereka cenderung sangat terdidik, dengan kehadiran yang kuat di dunia bisnis dan sektor sukarela," kata Salfiti.

Baca juga : Pasukan Israel Tembus Jantung Kota Gaza

YMCA, misalnya, yang menawarkan kegiatan olahraga, seni, pendidikan dan kesejahteraan bagi warga Palestina di Gaza dari semua agama, dikelola oleh orang Kristen. Rumah Sakit Arab Al-Ahli, yang hancur akibat serangan udara Israel bulan lalu, yang menewaskan ratusan orang, dimiliki dan dioperasikan oleh umat Kristen.

Terputus dari dunia di bawah blokade yang dipimpin Israel, komunitas ini terkadang merasa rentan. Pada tahun 2007, mereka diguncang oleh pembunuhan Rami Ayyad, manajer Toko Buku Guru, sebuah toko yang dikelola oleh umat Kristen Baptis di kawasan tersebut yang juga dibom oleh Israel beberapa bulan sebelumnya. 

Israel tidak mengaku bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut, namun dunia justru mengutuk Hamas sebagai pelakunya. Umat Kristen tidak percaya begitu saja, dengan mengatakan bahwa mereka "tidak akan membiarkan siapa pun menyabotase" hubungan Muslim-Kristen.

Sama seperti umat Islam yang tidak diizinkan untuk mengunjungi Masjid Al-Aqsa di Yerusalem, umat Kristen juga tidak dapat mengunjungi tempat-tempat suci seperti Gereja Kelahiran Yesus di Betlehem, yang dihormati sebagai tempat kelahiran Yesus. Kedua komunitas ini terputus dari anggota keluarga mereka di Tepi Barat. 

Bagaimana situasi saat ini bagi umat Kristen di Gaza?

Pastor paroki Gabriel Romanelli telah tinggal di Betlehem sejak perang dimulai dan tetap berhubungan dengan jemaatnya, ia menyerukan agar pengeboman dihentikan dan koridor kemanusiaan harus dibuka.

"Tolong, beritahukan kepada mereka bahwa paroki ini ... dipenuhi oleh orang-orang biasa dan tetangga Muslim. Mereka adalah warga sipil yang tidak membahayakan siapa pun," katanya.

Di bawah pengeboman Israel baru-baru ini, umat Kristen dan Muslim sama-sama mencari perlindungan di Gereja Santo Porphyrius. Setelah pemboman Gereja Santo Porphyrius, mereka semua pindah ke Gereja Keluarga Kudus yang terletak 400 meter dari sana. "Sekitar 560 orang kini berlindung di sana," kata Nisreen Anton, manajer proyek umum gereja tersebut.

Seperti kebanyakan warga Palestina di Gaza, Anton bertekad untuk tetap tinggal. Meringkuk di dalam gereja bersama tiga putrinya, yang berusia delapan, sembilan dan 12 tahun. Ia mengatakan bahwa situasinya semakin memburuk setiap hari.

"Orang-orang Kristen menderita seperti warga Gaza lainnya," katanya. "Ini adalah tanah kami dan kami tidak akan pergi. Dapatkah Anda bayangkan jika seseorang menelepon Anda dan memaksa Anda dan keluarga Anda untuk pergi ke tempat lain?" "Kami akan tetap tinggal."

Baca juga : Ini Hubungan Nestle dengan Israel yang Membuatnya Diboikot

 
Berita Terpopuler