Hamas atau Zionis Israel yang Teroris Sesungguhnya? Fakta-Fakta Ini Jelaskan Gamblang

Malaysia menolak menyebut Hamas sebagai organisasi teroris

AP/Adel Hana
Ilustrasi Al-Qassam, sayap militer Hamas. Malaysia menolak menyebut Hamas sebagai organisasi teroris
Rep: Rizky Jaramaya Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Dua kali Kedutaan Besar Malaysia di Washington disurati Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, pada 13 Oktober dan kemudian 30 Oktober.

Baca Juga

Amerika meminta Malaysia tak mempertahankan sikapnya dalam konflik Israel-Palestina. "Terutama penolakan kita menganggap Hamas sebagai organisasi teroris," kata PM Anwar Ibrahim dalam sidang parlemen Malaysia, Selasa pekan lalu, seperti dilaporkan Antara dari Kuala Lumpur.

Malaysia menolak keinginan Amerika Serikat itu, yang bersama sejumlah negara Eropa memang menggolongkan Hamas sebagai teroris. Mereka, bahkan menyamakan Hamas dengan ISIS, padahal keduanya berbeda jauh sekali.

Pertama, Hamas adalah gerakan nasional yang beroperasi hanya di wilayah Palestina dan wilayah Arab yang diduduki Israel.

Hamas hanya menginginkan kemerdekaan Palestina, tak pernah mendambakan imperium transnasional yang mengesampingkan keberadaan negara seperti diinginkan ISIS.

Kedua, Hamas tak melukai atau membunuh orang hanya karena berbeda agama. Mereka justru toleran yang berlawanan dengan organisasi teror seperti ISIS yang mengharamkan segala cara di luar Islam yang mereka pahami.

Tak seperti ISIS, Hamas bukan organisasi rahasia dan sebaliknya tumbuh dari akar gerakan amal Muslim pada 1973 sampai menjadi organisasi sosial besar di Palestina.

Tetapi, mereka pecah kongsi dengan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) karena proses damai dalam Perjanjian Oslo 1993 tak membawa hasil baik.

Penggolongan Hamas sebagai teroris adalah cara melegitimasi aksi di luar hukum internasional, seperti bombardemen habis-habisan dan blokade tak manusiawi Israel di Jalur Gaza yang membuat Gaza disebut tak lebih dari "penjara terbuka".

Oleh karena itu, menyebut Hamas teroris adalah subjektif sekali, selain menutup ruang melihat konflik dari perspektif lengkap.

Lagi pula, bukankah Israel dibangun di atas jejak milisi-milisi Yahudi yang merangkul metode-metode teror, seperti Irgun, Lehi, atau bahkan Haganah yang menjadi cikal bakal angkatan bersenjata Israel?

Baca juga: 10 Peluang Pintu Langit Terbuka Lebar, Doa yang Dipanjatkan Insya Allah Dikabulkan

Kalaupun Hamas merangkul metode kekerasan, maka dunia tak boleh mengesampingkan faktor penyebabnya, yakni sikap Israel yang acap menulikan diri dari siapa pun, termasuk konsensus global lewat PBB.

Bayangkan, sudah 28 resolusi Dewan Keamanan PBB yang dilanggar Israel, padahal resolusi-resolusi itu mengikat semua anggota PBB.

Terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB saja tidak patuh, apalagi kepada resolusi Majelis Umum PBB yang tidak mengikat.

Faktanya, Israel tak menggubris resolusi-resolusi yang diadopsi Majelis Umum, termasuk resolusi jeda kemanusiaan di Jalur Gaza, akhir Oktober lalu.

 

Pengeboman Israel di Jalur Gaza telah berlangsung selama hampir satu bulan. Pejabat kesehatan di Gaza pada Senin mengatakan, setidaknya 10.022 warga Palestina, termasuk 4.104 anak-anak telah gugur akibat pengeboman Israel.

Kementerian Kesehatan di Gaza mengatakan, puluhan orang gugur akibat serangan udara Israel di Kota Gaza dan lebih jauh ke selatan di lingkungan Gaza seperti Zawaida dan Deir Al-Balah pada Ahad (5/11/2023) malam.

Televisi Al-Aqsa yang mengutip sumber-sumber medis mengatakan, sedikitnya 75 warga Palestina tewas dan 106 luka-luka dalam serangan itu. Pejabat kesehatan Palestina mengatakan, delapan orang wafat dalam serangan udara semalam di rumah sakit kanker Rantissi di Kota Gaza. 

Para pemimpin badan PBB menuntut gencatan senjata kemanusiaan ketika perang di Gaza telah berlangsung selama hampir sebulan. Seluruh penduduk di Gaza terkepung, dan mereka tidak memiliki akses terhadap kebutuhan penting.

“Kita membutuhkan gencatan senjata kemanusiaan segera.  Sudah 30 hari.  Cukup sudah.  Ini harus dihentikan sekarang," ujar pernyataan bersama para pemimpin badan PBB, dilansir Al Arabiya, Senin (6/11/2023).

Israel telah menolak tekanan internasional yang meningkat untuk melakukan gencatan senjata. Israel akan terus melangsungkan serangan sampai semua sandera dibebaskan. Kelompok perlawanan Palestina menangkap ratusan warga Israel untuk dijadikan sandera selama serangan mengejutkan di Israel selatan pada 7 Oktober 2023.

“Seluruh penduduk terkepung dan diserang, tidak diberi akses terhadap kebutuhan penting untuk bertahan hidup, rumah, tempat penampungan, rumah sakit, dan tempat ibadah mereka dibom.  Ini tidak bisa diterima,” kata para pemimpin PBB dalam pernyataan bersama.

Ke-18 badan PBB yang mendesak gencatan senjata antara lain Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Volker Turk, Kepala Organisasi Kesehatan Dunia Tedros Adhanom Ghebreyesus, dan Kepala Bantuan PBB Martin Griffiths. 

Seorang jurnalis Reuters di Jalur Gaza menggambarkan pengeboman dari udara, darat dan laut pada Ahad (5/11/2023) malam. Ini adalah salah satu pengeboman yang paling intens sejak Israel melancarkan serangannya.

Baca juga: Baca Doa Ini Agar Allah SWT Satukan Kita dengan Orang Saleh dan Penghuni Surga

Berdasarkan data Euro-Med Human RIghts Monitor, Serangan Israel juga telah menyebabkan 1,4 juta orang mengungsi secara internal. Pengeboman yang terus berlanjut itu telah menyebabkan 32 jurnalis gugur. Tenaga medis juga tidak luput dari serangan Israel. Sebanyak 111 tenaga medis meninggal dunia, dan 136 terluka.

Pengeboman Israel telah menghancurkan sejumlah fasilitas publik. Data Euro-MEd menunjukkan, 44.300 bangunan hancur total dan 13.6100 rusak sebagian. Selain itu, 47 masjid dan 3 gereja hancur. Serangan yang terus membabi buta ini juga menghancurkan 147 sekolah, 513 fasilitas industri, 19 rumah sakit, 39 ambulans, dan 49 klinik. Selain itu, 87 kantor milik media juga ikut hancur. 

Tiga Front Perlawanan Palestina - (Republika)
Tiga Front Perlawanan Palestina - (Republika)

 
Berita Terpopuler