Tim Medis Berjibaku dan Menolak Pergi dari Gaza

Banyak tim medis di Gaza yang tidak mau menyerah pada permintaan evakuasi Israel.

AP Photo/Hatem Ali
A Palestinian child wounded in Israeli bombardment waits for treatment in a hospital in Rafah refugee camp, southern Gaza Strip, Thursday, Oct. 12, 2023.
Rep: Amri Amrullah Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Salah seorang dokter yang bertugas di Gaza, Dr Nisreen al-Shorafa hanya bisa tidur 10 jam dalam tujuh hari terakhir ini. Dokter bedah berusia 30 tahun ini mengelola ruang gawat darurat di Rumah Sakit Al Awda di Tal al-Zaatar, antara Beit Lahia dan Beit Hanoun.

Dokter al- Shorafa merupakan satu dari banyak tim medis di Gaza yang tidak mau menyerah pada permintaan evakuasi Israel. Meski ada ancaman Israel bahwa rumah sakit akan dibom, para dokter di Al Awda terus menyelamatkan nyawa.

Ia mengabdikan dan mendedikasikan dirinya untuk membantu orang-orang yang selamat dari pengeboman Israel yang tak henti-hentinya. Ia juga telah mendorong dirinya sendiri melampaui apa yang ia pikir bisa ia lakukan.

Baca Juga



Pada hari Sabtu (14/10/2023), rumah sakitnya mulai menerima telepon peringatan dari militer Israel. Pesannya sangat jelas dan tidak menyenangkan: Rumah sakit harus dievakuasi karena akan dibom.

"Saya berani bertaruh bahwa mereka [tentara Israel] bangga dengan diri mereka sendiri, mengancam akan mengebom rumah sakit," kata perawat setempat, Asala al-Batsh.

"Mereka bersikeras bahwa semua orang dan semuanya harus pindah. Semua personel rumah sakit, semua pasien, termasuk mereka yang berada di ICU, dan mayat-mayat di kamar mayat."

Setelah mencoba menjelaskan kepada tentara Israel melalui telepon tentang ketidakmanusiawian dan ketidakmungkinan untuk memindahkan semua orang keluar dari rumah sakit dan ke arah selatan, tim tersebut menyerah.

"Kami memutuskan untuk tidak pergi," kata al-Shorafa dikutip dari Aljazirah, Ahad (15/10/2023).

"Dewan direksi rumah sakit tidak memiliki cara untuk mengetahui apakah kami akan dibom atau tidak. Tapi mereka yakin bahwa kami melakukan hal yang benar.

"Kami benar-benar tepat untuk mengindahkan panggilan tugas; sebagai dokter, sebagai perawat, kita semua harus bersatu pada saat seperti ini."

Selain perawatan korban selamat, kamar mayat rumah sakit di Gaza juga kewalahan menangani jumlah korban yang gugur akibat serangan udara Israel. Kondisi ini membuat tim medis menggunakan truk es krim yang memiliki pendingin untuk menyimpan mayat para korban gugur akibat serangan Israel.

Rumah sakit jadi tempat berkumpul dan berlindung...

Selain tim medis yang bekerja sepanjang waktu untuk merawat semua orang yang terluka, rumah sakit ini juga membuka pintunya bagi mereka yang melarikan diri dari kehancuran. Banyak warga Gaza yang mencari tempat aman untuk berlindung dari serangan bom Israel.

Banyak orang takut untuk mengikuti permintaan Israel agar mereka pergi ke selatan karena konvoi evakuasi telah dihantam, dan semua orang di rumah sakit - dokter, pasien, petugas medis - takut jika mereka mencoba untuk pergi, mereka akan terbunuh di jalan. Jadi mereka berkumpul bersama, kurang tidur dan hampir kehabisan makanan dan air.

Rumah sakit mengatakan bahwa mereka telah menerima bantuan dari orang-orang yang tinggal di sekitarnya yang membawa makanan dan perlengkapan dasar untuk para pasien dan orang-orang yang mencari perlindungan.

"Bekerja di rumah sakit, kami hampir tidak punya waktu untuk makan di hari biasa, jadi ini bukan prioritas kami saat ini," kata perawat lain, menjelaskan bahwa bantuan apa pun digunakan untuk pasien.

Semua rumah sakit di Jalur Gaza beberapa kali melebihi kapasitas, sampai-sampai pasien tergeletak di koridor. Mayat-mayat harus disimpan di lemari pendingin atau truk es krim dan berbaris di trotoar sebelum dimakamkan karena kamar mayat begitu penuh.

Kementerian Kesehatan Palestina telah beberapa kali mendesak komunitas internasional untuk turun tangan, namun tidak ada tanggapan atau bantuan yang datang.

"Kami melakukan sebanyak mungkin yang kami bisa, tetapi ada kekurangan besar, terutama di ruang gawat darurat, yang merupakan lini pertama kami dalam merespons orang-orang yang datang. Kami terkadang berada di garis antara hidup dan mati," kata al-Shorafa.

"Kami bekerja sangat keras," katanya, suaranya pecah. "Kami melakukan semua yang kami bisa, tapi terkadang seorang pasien akan meninggal... rasanya begitu banyak orang meninggal setiap hari sejak awal perang ini.

"Ini sangat sulit, kami merasa sama sekali tidak berdaya," katanya sambil meneteskan air mata yang mengalir pelan di wajahnya yang terlihat yang sangat kelelahan.

 
Berita Terpopuler