Muslim Amerika Kecam Biden yang Dukung Israel, Minta Perang Diakhiri

Kelompok HAM mengatakan Israel menerapkan sistem apartheid terhadap warga Palestina.

John J. Kim/Chicago Tribune via AP
Pendukung Palestina melakukan aksi long march mengecam penyerangan Israel di wilayah Palestina di Chicago, AS, Kamis,(12/10/2023)WIB.
Rep: Zahrotul Oktaviani Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON DC -- Para pembela hak-hak Arab, Muslim dan Palestina di Amerika Serikat mengecam dukungan tanpa syarat Washington terhadap perang Israel di Gaza. Mereka mengecam dehumanisasi warga Palestina yang dilakukan oleh media dan politikus.

Pada kegiatan konferensi pers Jumat (13/10/2023), perwakilan dari beberapa kelompok advokasi juga menyuarakan kekhawatiran tentang kemungkinan terjadinya insiden kebencian terhadap orang Arab dan Muslim Amerika.

Direktur eksekutif Dewan Hubungan Islam Amerika (CAIR) Nihad Awad mengecam Presiden Joe Biden. Ia menuduhnya gagal mengakui kemanusiaan orang Palestina.

"Anda tidak membantu. Anda sebenarnya memberikan lampu hijau kepada Israel untuk melakukan genosida, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan," ujar dia, seolah-olah berbicara kepada Biden, dikutip di Aljazirah, Sabtu (14/10/2023)

Ia juga menyebut jika Biden mengecewakan mereka sebagai warga negara Amerika, mengecewakan mereka sebagai warga Palestina. Bahkan, Biden juga disebut mengecewakan komunitas dunia.

Biden, yang menyebut dirinya seorang Zionis, secara konsisten menyuarakan dukungannya terhadap Israel. Dalam pidatonya minggu ini, ia bahkan berjanji memastikan Israel memiliki kebutuhan militer untuk mempertahankan diri, serta hampir tidak menyebutkan warga sipil Palestina yang dibombardir di Gaza.

“Kami menyerukan kepada Anda, Tuan Presiden, untuk mengakhiri kekerasan ini. Anda memiliki kemampuan dan kekuatan untuk mencegah terjadinya kejahatan massal dan genosida,” kata Awad.

Baca Juga

Selanjutnya...

Sebuah perang meletus pada 7 Oktober, ketika kelompok Palestina Hamas melancarkan serangan yang sangat terkoordinasi terhadap Israel dari Jalur Gaza yang terkepung. Aksi ini mengakibatkan tewasnya ratusan orang dan menawan puluhan orang.

Israel menanggapi hal ini dengan kampanye pengeboman, yang telah menewaskan hampir 1.900 warga Palestina, termasuk lebih dari 500 anak-anak di Gaza. Pemerintah Israel juga mengumumkan blokade total terhadap Gaza, mencegah bahan bakar dan pasokan pokok lainnya memasuki wilayah tersebut.

Di sisi lain, Human Rights Watch (HRW) menuduh Israel menggunakan fosfor putih sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional. Aturan ini telah melarang penggunaan amunisi yang sangat mudah terbakar di daerah berpenduduk seperti Gaza, sebuah wilayah sempit yang dihuni oleh 2,3 juta orang.

Pada Jumat pagi, Israel memerintahkan lebih dari 1,1 juta warga Palestina di sana, yang mana hampir setengah dari populasi wilayah tersebut, untuk mengungsi ke selatan dalam waktu 24 jam. Pernyataan tersebut memicu kemarahan lebih lanjut dari kelompok hak asasi manusia.

Pada konferensi pers di Washington, Awad yang merupakan warga Amerika keturunan Palestina, menekankan perlunya mengatasi konteks sejarah konflik tersebut. Kelompok hak asasi manusia terkemuka, seperti Amnesty International dan Human Rights Watch, mengatakan Israel menerapkan sistem apartheid terhadap warga Palestina.

“Sejarah tidak dimulai pada 7 Oktober,” ucap Awad mengacu pada serangan Hamas. Dia menyebut Gaza sebagai penjara terbuka terbesar di dunia, sebuah kritik yang sering muncul di kalangan aktivis hak asasi manusia yang mengecam upaya Israel membatasi pergerakan ke dan dari wilayah tersebut dan menahan penduduknya. Tidak hanya itu, Awad menyebut bahwa warga Palestina telah dikenakan segala jenis kekerasan, diskriminasi, hingga pembersihan etnis selama beberapa dekade.

Ia menggarisbawahi pembunuhan dua warga AS oleh Israel tahun lalu, jurnalis Aljazirah Shireen Abu Akleh dan pria lanjut usia Palestina-Amerika Omar Assad. Ia bahkan mengatakan bahwa nyawa mereka tidak penting bagi pemerintah AS.

Selanjutnya...

"Kami, sebagai Muslim, warga Palestina dan Amerika, kami percaya setiap kehidupan manusia berharga dan suci serta harus dilindungi,” ucap dia.

Direktur urusan pemerintahan nasional dan advokasi di Komite Anti-Diskriminasi Amerika-Arab (ADC) Chris Habiby mengatakan AS harus segera menyerukan deeskalasi untuk menghentikan kekerasan. "Sebaliknya, para pemimpin terpilih kita justru mengabadikan kebohongan Israel, menyerukan perang agama dan secara terbuka menganjurkan penghancuran tempat terpadat kedua di planet bumi ini," ucap Habiby.

Beberapa politikus AS menyerukan kekerasan yang tidak terkendali terhadap Gaza. Senator Partai Republik Lindsey Graham mengatakan kepada Fox News awal pekan ini, jika pihaknya sedang berada dalam perang agama di sini.

"Saya bersama Israel. Lakukan apa pun yang harus Anda lakukan untuk membela diri. Ratakan tempatnya," ujar Graham.

Habiby mengatakan retorika seperti itu telah menimbulkan “budaya ketakutan” di komunitas Arab-Amerika. Dia pun mencontohkan insiden penyerangan terhadap demonstran solidaritas Palestina di seluruh negeri.

"Di Kota New York, mereka mengibarkan bendera organisasi teroris Yahudi,” kata dia, mengacu pada Liga Pertahanan Yahudi. Ini merupakan kelompok ultranasionalis, yang dicurigai melakukan serangan kekerasan terhadap orang Arab dan warga Amerika Palestina.

Tidak hanya itu, Habiby menyebut saat ini dibutuhkan para pemimpin terpilih yang dapat berdiri dan mengingat kemanusiaan masyarakat, kemanusiaan rakyat Palestina. Saat ini bukan urusan sepihak yang diperlukan, tetapi berbuat lebih baik.

Direktur advokasi Muslim Amerika untuk Palestina, Ayah Ziyadeh, juga menuduh politisi AS menjelek-jelekkan warga Palestina untuk memberikan perlindungan kepada Israel, agar melakukan “kejahatan yang mengerikan”.

“Akar penyebab kekerasan ini jelas. Hal ini disebabkan oleh pendudukan militer Israel dan apartheid serta keterlibatan AS selama beberapa dekade,” ujar dia.

 
Berita Terpopuler