Ternyata Tentara Muslim Bantu Prancis Taklukkan Jerman pada Perang Dunia II

Prajurit tersebut diambil dari umat Muslim di wilayah jajahan Prancis.

Deutsche Welle
Makam serdadu Muslim di Notre Dame de Lorette dengan batu nisan menghadap Kiblat. Di atasnya tertulis kalimat
Rep: Umar Mukhtar Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tragedi kemanusiaan yang melibatkan umat Muslim pernah terjadi selama Perang Dunia II. Kala itu Prancis memutuskan merekrut ribuan warga Aljazair untuk melawan Nazisme dan fasisme selama Perang Dunia II.

Sebagian besar direkrut secara paksa dan yang lainnya menjadi sukarelawan. Mereka yang menjadi sukarelawan saat itu percaya tentang narasi kesetaraan dalam kematian akan membawa mereka kesetaraan dalam hidup. Namun, sejatinya ini tidak terjadi karena ribuan orang mati sia-sia.

Dilansir di Arabic Post, ketika Jerman mengalahkan Prancis, Hitler melakukan tur ke Paris dan negara itu dibagi menjadi beberapa bagian yang berafiliasi dengan Jerman dan bagian lain yang setia padanya di wilayah Vichy. Kemudian diperintah oleh pemerintah dengan nama itu.

Saat itulah, kepemimpinan Prancis Merdeka memutuskan membentuk tentara baru dalam rangka pembebasan Prancis yang bekerja sama dengan Sekutu. Panglima Tertinggi, Jenderal Henri Giraud, pergi menemui para pemimpin Inggris dan Amerika, Winston Churchill dan Franklin Roosevelt di Anfa, Casablanca, Maroko. Kepergian Henri adalah untuk meminta bantuan persenjataan.

Presiden Amerika bahkan mengucapkan kata-kata yang menghina perwakilan Prancis Merdeka, dengan berkata, "Tidak ada yang berarti ketika dia menjadi seorang pemimpin, dan dia tidak akan menjadi apa-apa setelah dia menjadi seorang pemimpin."

Inggris dan Amerika memandang sebelah mata keruntuhan Prancis, menyusul penghinaan Jerman yang menghancurkan tentara Prancis dalam sekejap. Ini sekaligus menghancurkan citra mempesona yang telah diwujudkan oleh Kaisar Napoleon Bonaparte selama berabad-abad.

Jenderal Giraud tidak punya pilihan selain memulai rencana baru untuk menghidupkan kembali tentara Prancis, dengan kedok baru tentunya. Karena itu, dia meminta baju baru, senjata baru, dan amunisi baru. Hanya saja dia akan tetap menggunakan helm tempur "helm Adrian", sebagai simbol Prancis terakhir.

Sedangkan untuk prajurit yang akan mengenakan seragam baru ternyata diperuntukan bagi mereka yang bukan warga Prancis. Prajurit tersebut diambil dari umat Muslim di wilayah jajahan Prancis, yang meliputi Aljazair, Maroko, dan Tunisia.

Baca Juga

Selama 1939 hingga 1947, Prancis merekrut...

Selama 1939 hingga 1947, Prancis merekrut 325 ribu tentara. Adapun perincian dari total jumlah ini ialah 134 ribu tentara Aljazair, 73 ribu tentara Maroko, 26 ribu tentara Tunisia, dan 92 ribu dari Afrika berkulit hitam. Jumlah ini adalah lebih dari tiga perempat kekuatan yang dikerahkan untuk membela kehidupan Prancis dan mati karenanya.

Tentara ini menyandang nama Tentara Afrika dan berada di bawah komando Jenderal Alphonse Joan. Misi pertamanya adalah pembebasan Perancis. Pertempuran pertama dilakukan pada 1944 di wilayah Italia, khususnya di Sisilia dan selatan Napoli, dengan tujuan menembus wilayah Prancis, dengan menyerbu Roma melalui jalur darat.

Namun, seorang jenderal Jerman bernama Albert Keyserling, yang julukannya adalah "Paman Albert", mengadang serangan tersebut dengan membentuk garis pertahanan yang disebut "Gustav". Pertempuran ini berlangsung dari Januari hingga Mei 1944, bertepatan dengan salah satu pertempuran paling sengit dalam Perang Dunia II.

Di pihak Prancis dan Sekutu, ada sekitar 400 ribu tentara dari Amerika, Inggris, Prancis, dan koloninya. Namun, yang perlu menjadi catatan yakni dari 112 ribu tentara Prancis, terdapat 67 ribu tentara dari Aljazair, Maroko, Tunisia, dan Senegal. Mereka masuk dalam batalion yang dilatih dalam pertempuran gunung. Tujuan mereka memerangi tentara Jerman pimpinan Keyserling, yang berjumlah hampir 100 ribu tentara.

Sedangkan Tentara Jerman yang menduduki wilayah pegunungan tertinggi dan sebagian besar puncak di sekitarnya, berada di balik tembok besi yang dibangun Nazi dengan kerja paksa 20 ribu warga desa di Italia. Di sana terdiri dari benteng alami dan buatan, diperkuat dengan kabel dan ladang ranjau yang luas. Benteng pertahanan Gustav, seolah menjadi tembok China yang sulit ditembus.

Selama berbulan-bulan, para tentara menjalani hari-hari yang mengerikan. Banyak tentara yang berjatuhan seperti lalat. Kereta-kereta terbakar di tanah berlumpur yang dipenuhi rawa-rawa. Mereka juga menderita kelaparan karena persediaan yang tertunda setiap kali hujan dan salju turun.

Beberapa dari mereka tidak dapat menemukan apa pun untuk menghangatkan diri. Mereka buang air kecil di tangan mereka, berharap panasnya dapat membantu mereka menggerakkan jari-jari mereka. Berani melakukan misi penyusupan berarti mati, sampai-sampai tentara Amerika terpaksa bermain kartu untuk menentukan siapa yang kalah yang akan menjalankan misi mengambil air, melakukan operasi pengintaian, atau menyelidiki musuh Jerman.

Lalu bagaimana dengan nasib tentara dari kalangan Muslim di Afrika utara? Tentara Maroko kebanyakan tersebar di beberapa divisi, termasuk Divisi Infanteri Tunisia ke-4, divisi nasional Maroko, dan Batalyon Infanteri Aljazair ke-3. Slogan yang ditulis dalam bahasa Arab, yakni "Kemenangan atau Kematian".

Misi sulit...

Mereka semua menjalankan misi yang sulit dan mencapai kemenangan militer yang nyata. Namun kemenangan yang mereka raih harus dibayar mahal. Beberapa anggota mereka melakukan pembunuhan demi kehormatan di wilayah Chuchuria. Divisi Infanteri Tunisia ke-4 meraih kemenangan saat menerobos gunung untuk menduduki situs Pegunungan Belvodère.

Itu merupakan terobosan pertama setelah kegagalan dua tentara Amerika yang dipimpin oleh Jenderal Clark dalam serangan langsung untuk mematahkan barisan Gustav. Namun, di balik itu ternyata ada peran yang signifkan dari seorang tentara Tunisia bernama Abdul Al-Hadi yang membangkitkan semangat tentara lain yang dipimpin oleh seorang kolonel Prancis.

Abdul Al Hadi mengulang dua kalimat, dan kalimat ini adalah syahadat "Laa Ilaaha Illallah wa Asyhadu Anna Muhammad Rasulullah". Setelah itu banyak tentara yang bangkit semangatnya untuk mematahkan perlawanan Jerman. Terjadilah pertempuran sengit yang berakhir dengan penguasaan tempat tersebut. Batalyon Tunisia hampir musnah seluruhnya dan kehilangan 60 persen anggotanya, dengan 207 orang tewas, 1.090 orang luka-luka, dan 75 orang hilang.

"Batalion Tunisia mencapai prestasi militer yang cemerlang dengan mengorbankan banyak nyawa," kata De Gaulle.

Adapun batalion ketiga Aljazair yang dipimpin oleh Jenderal Joseph Montsapart meraih beberapa kemenangan. Kemenangan ini dirangkum oleh penulis militer Yves Montagne dengan menyatakan sebagaimana berikut ini:

"Ini adalah putra-putra Numidia kuno dan pewaris sah Tentara Romawi Augustinian Ketiga. Mereka merebut posisi Mona Casale dan Aqua Fundata dan bertahan dalam Pertempuran Belvodère yang mengerikan sebelum menerobos Garis Gustavus dan bergerak melalui darat menuju Roma."

Pujian untuk tim Maroko...

Tim Maroko yang ikut serta dalam pertempuran sengit tersebut tak henti-hentinya mendapat pujian, terutama batalion kedua yang terdiri dari barisan bagal. Jenderal Jerman Keyserling bahkan memuji tentara Muslim Maroko.

"Orang-orang Maroko bertempur dengan sengit, dan memanfaatkan setiap posisi yang berhasil dengan memobilisasi kekuatan secara besar-besaran sebelum mengerahkan mereka ke daerah-daerah yang lemah," kata Jenderal Jerman Keyserling.

Selama berbulan-bulan, Amerika dan Inggris mengejek divisi militer Afrika Utara, yang menggunakan hewan keledai untuk mengangkut senjata dan tentara, sesuai dengan medan perang yang dilewati. Tetapi tentara Amerika sendiri malah tumbang karena upaya Amerika yang dipimpin oleh Jenderal Clark untuk melancarkan serangan langsung ke garis pertahanan dengan tank gagal total.

Dengan menggunakan Angkatan Udara Kerajaan Inggris, Prancis menerobos masuk dengan hewan-hewan tersebut. Melintasi pegunungan dan lembah. Keberhasilan inilah yang mendorong Amerika dan Inggris untuk mengakuinya dengan menyatakan: "Tentara Angkatan Udara Mule mencapai apa yang tidak dapat dicapai oleh Angkatan Udara Kerajaan dan apa yang tidak dapat dicapai oleh tank Jenderal Mark Clark."

Tentara dari negara-negara Muslim di Afrika utara memberikan kontribusi besar dalam meruntuhkan benteng pertahanan Gustav Jerman. Mereka meninggalkan pemakaman Islam di kota Finfaro, yang masih berdiri hingga saat ini. Pemakaman ini terletak di antara Cassino dan Napoli. Berisi jenazah sekitar 5.000 orang dari Aljazair, Tunisia, dan Maroko.

Catatan Prancis mengonfirmasi jumlah Muslim di Afrika Utara dan wilayah lain di Afrika yang tewas dalam pertempuran yang dilakukan Prancis selama satu abad penuh, termasuk Perang Dunia I, meningkat menjadi 100 ribu orang.

Adapun ribuan orang hilang, yang kemungkinan besar dibakar sampai mati dengan gas dan penyembur api, atau ditangkap di pusat penahanan Nazi. Tidak ada jejak yang ditemukan. Seolah mereka tidak pernah ada atau tidak ada apa-apanya dalam perang itu.

 
Berita Terpopuler