Horror PKI di Pinggiran Sungai Bengawan Solo

Kekejaman PKI bunuh banyak orang di Solo.

Republika/Andrian Saputra
Keluarga aktivis korban pembantaian PKI menggelar upacara tabur bunga di monumen perisai Pancasila, Pucang Sawit Solo pada Ahad (22/10).
Rep: Andrian Saputra Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekitar tahun 2017, penulis pernah melakukan penelusuran sejarah kekejaman PKI yang melakukan pembantaian warga Kedung Kopi di Kota Solo, Jawa Tengah. Dalam serangkaian peristiwa itu, terdapat kisah tentang pembunuhan sadis yang dilakukan PKI terhadap Ali Imron, seorang kader pemuda Muhammadiyah.

Baca Juga

Dalam tulisan ini, penulis mencoba memunculkan kembali hasil liputan tujuh tahun lalu itu, dengan beberapa revisi penulisan, dengan maksud agar kita tidak melupakan sejarah tentang betapa kejam dan biadabnya PKI sehingga selalu waspada terhadap kekuatan yang berupaya membangkitkan PKI kembali di Tanah Air. 

(Waktu itu) Air Sungai Bengawan Solo yang tampak keruh mengalir tenang ke arah selatan. Di sisi Bengawan Solo, tepatnya di Kedung Kopi, Kelurahan Pucang Sawit, Surakarta, terlihat gersang karena didominasi bebatuan. Bebatuan itu berada antara turap yang sedang dikerjakan oleh Pemerintah Kota Solo dan bibir sungai. Pemerintah Kota Solo memang sedang mengerjakan proyek pembangunan tanggul di sepanjang bantaran Bengawan Solo. 

Sekilas tidak ada yang aneh dari bebatuan di lokasi itu. Namun jika diperhatikan dengan seksama ada sebuah batuan yang terukir lambang Pancasila. Di bagian bawah lambang itu, terlihat pelat berwarna hitam mengkilat. Di pelat itu tertulis: Cagar Budaya, Monumen Perisai Pancasila.

Lokasi itu menjadi cagar budaya yang ditetapkan pada November 2012. Lima tahun setelah penetapan cagar budaya tersebut, Monumen Perisai Pancasila tampak kotor tak terawat. Bagian sisinya penuh dengan lumut, bahkan tulisan Solo dan tanggal peristiwa pembantaian nyaris tidak terbaca. 

Monumen itu dibuat sebagai pengingat peristiwa pembantaian 13 orang di Kedung Kopi pada 22 Oktober 1965 atau lebih dari tiga pekan setelah peristiwa G30S. Di lokasi itu, yang sebelumnya berupa pulau, pada 23 Oktober 1965, sebanyak 13 mayat ditemukan dalam kondisi mengenaskan. Peristiwa penemuan mayat ini dikenal sebagai Peristiwa Kedung Kopi. 

 

Lihat halaman berikutnya >>>

 

Cerita warga sekitar, Kedung Kopi mulanya adalah sebuah pulau kecil di tengah Sungai Bengawan Solo. Pulau itu dikelilingi air sungai atau orang Jawa menyebutnya Kedung. Nama Kedung Kopi sudah ada sejak masa penjajahan Belanda karena lokasi itu dijadikan tempat angkut muat komoditas kopi.

Di tempat tersebut juga terdapat rumah gubuk tempat beristirahat dan sebuah makam yang diyakini warga sekitar merupakan makam orang Belanda.  

Sekitar 1970an, pemerintah melakukan pelurusan aliran sungai. Pulau itu pun terkena dampak, yaitu menyatu dengan daratan kampung sekitar. Seiring waktu, banyak hunian warga berdiri. Namun pada 1990an, pemerintah melakukan penertiban hunian di bantaran Sungai Bengawan Solo.  

Aktivis Sosial Kelurahan Pucang Sawit Budi Utama mengatakan meski lokasi tersebut menjadi cagar budaya dan mempunyai cerita sejarah namun sangat jarang orang berkunjung. Bahkan, dia mengatakan, tak satupun lembaga pendidikan yang mengajak siswa-siswanya datang ke tempat itu, untuk mengingat dan mempelajari sejarah.  

“Saya khawatir, kalau Bengawan Solo banjir, monumen bisa terkikis dan hancur. Ini kan sedang ada proyek pembangunan tanggul, kemungkinan nanti akan dipindah,” kata dia, beberapa waktu lalu.

 

Lihat halaman berikutnya >>>

 

 

Untuk memahami latar belakang pendirian Monumen Perisai Pancasila di Kedung Kopi, Republika berkunjung ke Kelurahan Sewu. Kelurahan ini berbatasan dengan Kelurahan Pucang Sawit dan tak jauh dari Monumen Perisai Pancasila. 

Di Kelurahan Sewu inilah kisah pembantaian Kedung Kopi bermula. Tidak hanya itu, ada dua cerita pembantaian lain yang terkait, yakni pembantaian Bundaran Gladak dan pembantaian Purwoloyo.  

Tokoh masyarakat Kelurahan Sewu, sekaligus saksi sejarah, Sudewo (64 tahun), mengatakan, Kelurahan Sewu merupakan basis aktivis-aktivis yang menentang PKI. Banyak anak muda di wilayah tersebut menjadi kader Muhammadiyah dan melakukan penentangan terhadap PKI. Pada 22 Oktober 1965, warga mendapat kabar tentang kedatangan Resimen Komando Angkatan Darat (RPKAD) ke Solo.  

Sudewo menjelaskan aktivis, yang di antaranya merupakan kader-kader Muhammadiyah, pergi ke pusat kota untuk menanti RPKAD. Di Gladak Solo, para aktivis bertemu dengan pasukan Batalyon K, atau ada juga yang menyebut Batalion 444. Sudewo mengatakan, Batalyon K atau 444 pro terhadap PKI.  

Dia menceritakan Batalyon K berupaya menghalau aktivitas aktivis berkerumun di Gladak. Tidak hanya dengan tindakan persuasi, para aktivis ini juga dihujani tembakan sehingga mereka lari kocar kacir. Pada peristiwa itu, sembilan orang aktivis mati diberondong peluru. 

“Setelah dari kota itu, ada yang berhasil lari. Ayah saya pulang kembali ke Sewu tapi sudah ada Pemuda Rakyat yang mencegat di pertigaan,” kata Sudewo mengisahkan pengalaman ayahnya.  

Di Sewu, Pemuda Rakyat yang merupakan sayap pemuda PKI menghadang dan menangkap warga Sewu yang lolos dari berondongan tembakan. Kala itu, menurut Sudewo, ayahnya berhasil lolos dari cegatan Pemuda Rakyat. Namun, ada beberapa aktivis dari Kampung Sewu yang tak kembali setelah itu.  

Mereka adalah Munawir, Sumiwo, Ali Imron (aktivis Muhammadiyah), Joko Sasono, Permadi, Saranto, dan Sutiman Dempo. Bersamaan dengan itu, sejumlah orang juga hilang. Mereka yakni Letnan 2 Suyanto, satu orang warga Pucang Sawit (tak diketahui namanya), dan enam orang lainnya dari beberapa kelurahan di Solo.  

Pada 23 Oktober 1965, tepat pukul 03.00 WIB, warga digegerkan dengan penemuan mayat di Kedung Kopi. Dia menuturkan 13 mayat yang ditemukan saat itu adalah orang-orang yang menghilang setelah peristiwa Gladak. Kala itu, Kedung Kopi juga sudah penuh dengan pasukan RPKAD.  

“Jenazah yang ditemukan di Kedung Kopi itu hancur tengkoraknya. Setelah itu, keluarga-keluarganya dipanggil RPKAD, ditanyai kenal tidak,” kata dia. 

 

Lihat halaman berikutnya >>>

 

 

Mereka yang jasadnya ditemukan di Kedung Kopi, Sadewo menyebutkan, di antaranya warga Sewu yakni Munawir, Sumiwo, Joko Sasono, Permadi, Saranto, Letnan 2 Suyanto, satu orang warga Pucang Sawit (tak diketahui namanya), dan enam orang lainnya dari Kelurahan di Solo.  

Banyak warga meyakini, orang-orang itu dibunuh dengan cara dipukul kepalanya menggunakan balok kayu.

Di Pucang Sawit terdapat sebuah batu besar yang diletakan di depan Masjid Sowijayan. Batu itu diambil dari Kedung Kopi setelah pembantaian sadis terjadi. Konon, batu itu yang digunakan untuk membunuh 13 orang di Kedung Kopi. Batu itu sengaja ditempatkan di Masjid Sowijayan, sebagai pengingat warga tentang peristiwa tersebut.  

Lalu, bagaimana RPKAD sampai di Kedung Kopi ketika ada penemuan mayat? Jawabannya: Sutiman Dempo. Menurut Sudewo, dari sejumlah orang yang hilang, hanya Sutiman Dempo yang berhasil lolos. Kepada warga, Sutiman juga yang membeberkan lokasi pembataian itu hingga ditemukan RPKAD.  

Bukan hanya Sudewo, hampir setiap warga Sewu yang ditemui Republika, mengetahui dan menceritakan kronologi yang sama tentang lolosnya Sutiman Dempo. Menurut Sudewo, kegiatan aktivis yang menentang PKI ini digiring ke Pulau Kedung Kopi dengan tangan terikat dan ditutup matanya.   

Menurut cerita Sutiman kepada Sudewo, mereka digiring oleh PKI. Sebelumnya, mereka diajak berjalan keliling mengitari sekitar Sewu dan Pucang Sawit. Ketika itu, ikatan kepala Sutiman Dempo tak begitu kuat sehingga ada celah yang memungkinkan dia melihat sekelilingnya. Sesampainya di Kedung Kopi, Sutiman lolos dari pengawasan anggota PKI dan memanfaatkan kesempatan itu.  

“Pak Dempo masuk ke lumpur, terus bisa kabur sampai Sewu lagi. Sampai dia cerita sama warga. Katanya ditangkap terus ada yang dibunuh di pulau. Kemudian lapor, RPKAD datang minta ditunjukan tempatnya,” kata Sudewo.  

 

Lihat halaman berikutnya >>>

 

Menurut Joko Wiyono (61 tahun), warga Pucang Sawit yang rumahnya tak jauh dari Monumen Perisai Pancasila, pada hari pembantaian itu, anggota PKI menggedor-gedor tiap rumah warga di Pucang Sawit. Kedatangan mereka untuk mencari Sutiman Dempo yang lolos.  

“Bapak saya buka pintu malam itu. Dia (anggota PKI) tanya bapak, lihat orang lari ke sini? Katanya Sutiman itu maling. Paginya, saya enggak boleh keluar rumah, ya penemuan mayat itu,” kata dia.  

Bahkan setelah peristiwa pembunuhan sadis itu, Joko mengatakan, warga dihantui ketakutan. Sejak itu pula tiap kepala keluarga wajib berjaga malam mulai pukul 6 malam hingga pagi.  

Penembakan aktivis di Gladak dan pembantaian di Kedung Kopi berlanjut ke Purwoloyo. Korbannya yakni Ali Imron yang dikenal sebagai pemuda yang aktif dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Dia merupakan mayoret di grup drumband Muhammadiyah dan kerap mengikuti rapat-rapat yang digelar pengurus ranting Muhammadiyah.  

Adik kandungnya, Asmaun, menceritakan tentang kematian kakaknya itu di tangan PKI. Jasad Ali Imron ditemukan sehari setelah penemuan mayat di kedung kopi yakni pada 24 Oktober 1965.  

Ia menceritakan, Ali bersama temannya dicegat Pemuda Rakyat setelah dari Gladak pada 22 Oktober 1965. Kemudian, dia digiring hingga kawasan Batuar. Menurut keterangan yang diperolehnya dari warga sekitar, Asmaun menceritakan, kakaknya itu ditantang berkelahi dengan PKI.  

Saat itu, Ali Imron meladeni tantangan itu. Dengan tangan kosong, Ali Imron beradu gulat dengan lawan yang menggunakan senjata tajam. Ali Imron kalah dalam pertarungan itu sedangkan temannya Soedarto selamat dan dilepas anggota PKI. Konon, gara-gara Soedarto memiliki ilmu kebal.  

Setelah pertarungan itu, Ali Imron dibunuh. Jasadnya diseret hingga rel kereta di Purwoloyo. Saat jasad kakaknya diantar pulang, Asmaun menyaksikan jasad kakaknya penuh luka sayatan, terutama di bagian lengan dan leher. “Mungkin tangannya digunakan menangkis waktu itu, terus tengkorang belakangnya juga hancur, bagian batunya masih ada yang menempel,” katanya.  

Mulai penembakan di Gladak, pembantaian Kedung Kopi, hingga penyiksaan berujung maut yang dialami Ali Imron, jumlah korban sebanyak 23 orang. Dari peristiwa ini, warga Kelurahan Sewu mengenal Karno Gejig. Karno Gejig menjadi salah satu orang paling dicari usai penemuan mayat di pulau Kedung Kopi.  

Menurut Sudewo, Karno Gejig adalah algojo PKI yang ditugaskan membantai 13 orang di pulau Kebon Kopi. “Karno Gejig itu yang jadi eksekutornya. Dia terus ditangkap, setelah beberapa bulan dibawa ke Balai Kota diikat di sana, kata Sadewo.   

Dia pun menceritakan ketika dibawa oleh tentara ke Balai Kota Solo, seluruh pakaian yang dikenakan Karno Gejig dilucuti, kecuali celana dalam. Warga menonton langsung saat algojo milik PKI itu ditelanjangi.  

 

Tidak hanya itu, Karno Gejig menjadi bulan-bulanan warga Solo. “Warga waktu itu nonton ramai di Balai Kota, nyoraki,” kata dia.

 
Berita Terpopuler