Filsafat Islam di Indonesia, Bisakah Lebih Gaul Lagi?

Filsafat Islam tak boleh terasing dari dunia moderen

network /Muhammad Subarkah
.
Rep: Muhammad Subarkah Red: Partner

Ibnu Rushd dan para filsuf Islam sedang melakukan perdebatan. (ilustrasi).

Oleh: Affan Ramli, Pengajar Pedagogi Kritis dan Tinggal di Banda Aceh

Sejak Simposium Internasional Filsafat Indonesia diselenggarakan pada tahun 2014, sebuah pertanyaan telah muncul menyita perhatian akademisi dan praktisi komunitas-komunitas filsafat di tanah air, apakah ada filsafat Indonesia? Jangan-jangan, cuma ada filsafat Barat dan filsafat Islam di Indonesia?

Bagi yang berpandangan filsafat Indonesia itu ada, mereka telah mengusulkan agar tanggal 19 September ditetapkan sebagai Hari Filsafat Indonesia oleh Kementerian Pendidikan, kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek).

Tapi apakah filsafat Indonesia itu ada? Pertanyaan yang sama juga sepatutnya diajukan pada filsafat Islam. Mengingat penamaan filsafat Islam tidak terlalu jelas maknanya. Apakah kata ‘Islam’ pada filsafat Islam adalah nama agama atau nama lokasi geografis?

Kalau penamaan bisa lebih konsisten, kata Islam di sana mestinya merujuk ke nama wilayah, lokasi negara-negara dalam dunia Islam. Karena kita mensejajarkannya dengan nama-nama filsafat lain merujuk ke wilayah tertentu. Seperti filsafat Barat, filsafat Cina, filsafat India, filsafat Yunani, filsafat Jerman, filsafat Francis, dan seterusnya dengan melekatkan nama wilayah di belakang nama filsafat.

Dalam makna itu, filsafat Islam adalah filsafat yang tumbuh berkembang di negara-negara kawasan Islam. Tentu, biasanya merujuk ke beberapa negara di Timur Tengah. Diantara negara yang berkontribusi signifikan pada perkembangan diskursus filsafat di kawasan itu adalah Iran, Irak, dan Mesir.

Sama seperti filsafat Barat, filsafat Islam itu tidak tunggal. Biasanya dibagi ke dalam tiga aliran. Ialah peripatetik (masya-i), illuminasi (isyraqi), dan gnostik (irfani). Sebagian komentator menambahkan satu lagi, teologi (kalami).

Tetapi, penambahan terakhir ini tidak terlalu cocok dengan watak dasar filsafat yang bertumpu sepenuhnya pada bukti-bukti rasional. Bukan teks suci. Sementara teologi, bertumpu pada kedua bukti argumentasi. Bukti dari teks suci dan bukti rasional sekaligus.

Pada era modern, seorang filsuf Iran yang dikenal luas dengan Mulla Sadra mensintesiskan semua aliran filsafat Islam itu ke dalam gerbong besar Teosofi Transendental (Hikmah Muta’liyah). Dari sisi banyaknya temuan keilmuan dan besarnya pengaruh, Sadra dinilai mendominasi wacana filsafat Islam selama 400 tahun.


Pasca Sadra, para filsuf di dunia Islam nyaris tak membuat penemuan-penemuan baru dan tidak mengalami perkembangan berarti. Ratusan tahun bergumul dalam perdebatan antara eksistensialisme versus esensialisme. Menghabiskan waktu terlalu lama untuk memenangkan wacana, manakah yang lebih fundamental antara eksistensi (wujud) dan esensi (mahiyah) di jagad raya ini.

Para filsuf Islam terbelah dua. Sebagian menjadi pendukung teori ashalatul wujud (eksistensi lebih fundamental) dan sebagian lagi membela ashalatul mahiyah (esensi lebih fundamental). Padahal tidak ada problem sosial, politik, dan ekonomi umat yang dapat dipecahkan dari perdebatan seperti itu, di tingkat gagasan dan apalagi di tingkat tindakan.

Akhirnya, perdebatan itu diselesaikan oleh filsuf kontemporer Islam dalam 20 tahun terakhir. Bernama Golam Reza Fayyazi. Ia bukan hanya menuntataskan perdebatan dengan membuktikan eksistensi dan esensi sama fundamentalnya, tapi juga menyesalkan terlalu lama waktu yang dihabiskan untuk perdebatan itu.

Sementara, filsafat di Barat sudah bergerak kencang dan berkesinambungan dari rasionalisme dan emperisme ke kritisisme, atomisme logis, positivisme logis, fenomenologi, dan posmodernisme.

Teori filsafat Islam macet dan terisolir. Apakah itu sebabnya, filsafat Islam di Indonesia tidak terlalu kelihatan dalam perdebatan wacana publik mutakhir seputar Hak Asasi Manusia (HAM), demokrasi, feminisme, dan lingkungan?

Pertanyaan ini tidak berarti para ahli filsafat Islam tidak ikut membicarakan dan membahas isu-isu terkini wacana publik tersebut. Tentu saja, ada banyak bahasan di jurnal-jurnal ilmiah yang diisi oleh ahli-ahli filsafat Islam di Indonesia seputar HAM, demokrasi, feminisme, dan lingkungan. Namun, itu tidak menjangkau opini publik Indonesia. Dalam arti, tidak diakses publik dan tidak mempengaruhi opini publik.

Kalaulah ahli-ahli filsafat Islam ingin terlibat dalam perdebatan isu-isu terkini kemanusiaan, kesetaraan dan lingkungan di ruang publik, masih belum jelas kerangka teori filsafat Islam mana yang akan digunakan. Tidak sejelas keterangan-keterangan yang diberikan oleh para ahli filsafat Barat di Indonesia dalam memperdebatkan tema-tema seperti itu.


Rocky Gerung sebagai contoh, ia mondar mandir menggunakan banyak pilihan model penalaran filsafat Barat, dari kerangka penalaran teori kritis ilmu sosial hingga ke teori filsafat hukum yang dikembangkan para filsuf Eropa.

Sementara di kampus-kampus Islam Indonesia, belajar filsafat terasing dan tertahan di dunia masa lalu. Menghabiskan waktu menguliti naskah-naskah filsafat klasik seperti Asfar Al’Arbah Mulla Sadra, Tahafut Alfalasifah Al-Ghazali, atau Tahafut at-Tahafut Ibnu Rusyd, dan naskah-nakah sejenis itu.

Jadi, ada sejenis kelambanan pertumbuhan teori filsafat Islam, terutama yang sampai ke Indonesia. Masih terlalu dominannya diskursus bertema ketuhanan. Saat yang sama terjadi pergerakan yang cepat dalam filsafat Barat memperbincangkan dunia manusia. Barat sudah lama bergerak ke isu epistemologis, analisis bahasa, hermeneutik, hingga ke dekontruksi teks.

Filsafat Barat membedah dunia manusia. Dengan tema-tema membumi seperti sistem tanda, relasi kuasa, teori makna, hak asasi, keadilan, kesetaraan, dan penyelamatan lingkungan. Filsafat Islam di Indonesia masih menggeluti tema-tema melangit seperti wujudiah, zat dan sifat, wahyu atau rasio. Paling maju, membahas moderasi beragama atau dialektika modernisme dan agama.


Filsafat Islam di Indonesia, berebut dan bersaing memberi penjelasan tentang tema-tema serupa dengan bidang keilmuan lainnya dari tasawuf dan teologi. Padahal ini memberi risiko penjelasan-penjelasan filsafat dinyatakan sesat oleh otoritas teologi, ketika berbeda dari arus-utama. Nasib yang sama dialami banyak praktisi taswauf saat ini.

Gejala ini, sepertinya telah menghambat ahli-ahli filsafat Islam di Indonesia dalam bergaul mewarnai percakapan isu-isu terkini kemanusiaan dan lingkungan di ruang publik yang berdampak pada pembentukan opini masyarakat Indonesia. Singkatnya, opini publik kita tentang kebijakan-kebijakan menyangkut kehidupan bersama tidak diasuh sama sekali oleh narasi filsafat Islam.

Beberapa nama ahli filsafat Islam di Indonesia yang menarik perhatian publik, seperti Fahruddin Faiz, Haidar Bagir, Mulyadi Kartanegara, Muhsin Labib untuk menyebut beberapa saja, mereka tidaklah menonjol dalam wacana publik seputar demokrasi, HAM, feminisme dan lingkungan. Tentu, mereka ikut membicarakannya. Tapi tidak menjadi rujukan publik luas di Indonesia yang lebih akrab dengan pikiran Rocky Gerung, Franz Magnis-Suseno, dan Budi Hardiman yang datang dari literatur filsafat Barat.


Sebagian orang menilai, mungkin karena percakapan isu-isu publik seputar kemanusiaan, kesetaraan, dan lingkungan itu sendiri datangnya dari arah peradaban Barat. Sehingga narasi filsafat Islam tidak menyiapkan kerangka teoritik yang cukup memadai untuk terlibat dalam perdebatan itu.

Atau karena ahli filsafat Islam di Indonesia masih berfokus pada isu moderasi beragama? Menyelesaikan pertarungan di internal komunitas Islam yang dianggap belum selesai-selesai. Menghadang kelompok-kelompok Islam ekstrimis dan intoleran.

Apapun alasannya, kini waktunya filsafat Islam di Indonesia membangun tradisi baru. Menyiapkan dan mematangkan teori-teori tentang dunia manusia dan mewarnai lebih kuat wacana publik tentang kehidupan bersama. Dengan begitu, tradisi filsafat Islam di Indonesia bisa lebih gaul lagi. Lebih fasih dan lantang membicarakan isu-isu politik, ekonomi, dan kebudayaan terkini.

 
Berita Terpopuler