Pengamat: Kebijakan Istithaah Sementara dan Permanen Harus Disertai Solusi

Penetapan istithaah jamaah haji harus diperkuat oleh Fatwa MUI.

Ketua Rabithah Haji Indonesia, Ade Marfuddin.
Rep: Fuji Eka Permana Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rakernas Evaluasi Penyelenggaran Haji 1444 H/ 2023 M merekomendasikan penyempurnaan redaksi berita acara penetapan istithaah kesehatan jamaah haji. Jamaah yang tidak istithaah akan dibagi dalam dua kategori, tidak istithaah sementara dan tidak istithaah tetap atau permanen. 

Baca Juga

Pengamat Haji dan Umroh Indonesia, Ade Marfuddin menanggapi hasil rekomendasi Rakernas Evaluasi Penyelenggaran Haji 2023. Menurutnya, penetapan istithaah jamaah haji harus diperkuat oleh Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan solusi agar masyarakat bisa lebih memahami.

Ade mengatakan, orang yang dinyatakan tidak istithaah sementara misalnya dia lumpuh. Sehingga merasa dirinya akan minim dalam beribadah dan tidak akan maksimal saat berangkat haji. Maka dia membatalkan untuk berangkat haji karena secara medis orang tersebut tidak layak berangkat karena lumpuh kakinya dua-duanya. Tapi ternyata dalam beberapa bulan kemudian dia sehat dan kakinya sudah sembuh, maka dia istithaah.

Ia menjelaskan, mengenai istithaah permanen atau tetap, mungkin maksudnya bagi orang yang sudah divonis cuci darah rutin karena ginjalnya sudah rusak. "Ini harus berdasarkan diagnosis dokter, jadi istithaah permanen ataupun sementara harus berdasarkan diagnosis dokter kemudian dikuatkan oleh Fatwa MUI," kata Ade saat dihubungi beberapa waktu lalu.

Jika dokter tiba-tiba mengatakan kepada calon jamaah haji tidak sehat permanen atau tidak istithaah permanen, tentu orang tersebut akan protes. Maka, orang yang tidak istithaah permanen dari sisi medis sehingga tidak layak untuk berangkat berhaji itu harus diperkuat oleh Fatwa MUI. Jadi dinyatakan bahwa secara medis dan hukum tidak layak berangkat untuk haji.

"Keputusan itu harus diterima dan tapi harus ada solusinya, apa solusinya? Yaitu badal haji," ujar Ade.

Karena calon jamaah haji sudah menitipkan uang di Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), maka uangnya di BPKH ditawarkan, apakah mau dibadalkan oleh petugas haji atau oleh lembaga terkait di Kementerian Agama.

Menurutnya, penjelasan terkait solusi bagi yang tidak istithaah permanen itu harus jelas. Jangan sampai calon jamaah haji sudah menabung dalam waktu yang lama sambil menunggu antrean. Sementara di akhir penantian tidak ada solusi tapi malah divonis tidak istithaah permanen.

"Maka bisa juga solusinya (bagi yang tidak istithaah permanen) dibatalkan oleh keluarga, solusinya kalau diwariskan ke anaknya bisa atau tidak, apakah ada di peraturannya untuk diwariskan ke anaknya atau keluarganya, kalau itu tidak bertentangan dengan aturan dan undang-undang maka bisa saja, sehingga anaknya bisa membadalkan orang tuanya," jelas Ade.

 

Lihat halaman berikutnya >>>

 

Ade menambahkan, yang termasuk kategori tidak istithaah permanen juga harus ada catatan. Sudah ditetapkan tidak istithaah permanen jika yang bersangkutan tiba-tiba sembuh lagi bagaimana? Sebab tidak tahu dua tahun kemudian misalkan calon jamaah haji tersebut sembuh lagi.

Maka solusinya orang yang tidak istithaah permanen dalam tempo dua tahun dinyatakan tidak istithaah, karena tidak ada perbaikan kesehatan. Tapi jika sudah ditetapkan tidak istithaah permanen dan dalam waktu kurang dari dua tahun sudah sehat kembali, maka dia tetap bisa berangkat haji.

"Jadi yang tidak istithaah sementara maupun permanen harus ada rujukan dokter dan dikasih waktu, apakah durasinya satu tahun atau dua tahun," ujar Ade.

Ade menambahkan, jangan hanya menyoroti istithaah kesehatannya, tapi kemampuan jamaah untuk melaksanakan ibadah haji terabaikan. Sebaiknya komprehensif, orang yang sehat bisa berangkat haji, tapi paham ilmu manasik haji. Orang yang berangkat haji dalam kondisi pendampingan juga harus dipahamkan ilmu manasiknya. 

"Jadi walaupun sehat secara fisik atau tidak sehat secara fisik harus perlu didampingi dengan pengetahuan manasik haji, itu syarat untuk kualitas jamaah ke depan, sekarang orientasinya diubah memberangkatkan orang sehat tapi punya ilmu manasik yang baik, jangan memberangkatkan orang yang sehat tapi juga bodoh itu juga bermasalah," kata Ade.

Rakernas Haji Rekomendasikan Ada Istithaah Kesehatan Sementara dan Permanen 

Sebelumnya, Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh (Dirjen PHU), Hilman Latief menyampaikan, saat ini sudah ada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 15 Tahun 2016 tentang Istithaah Kesehatan Jamaah Haji. Regulasi ini akan menjadi dasar dalam penerapan syarat istithaah. 

"Nantinya, jemaah melakukan pemeriksaan kesehatan terlebih dahulu sebelum melakukan pelunasan. Pemeriksaan itu mencakup penilaian kesehatan mental dan kemampuan kognitif, ditambah penilaian kemampuan melakukan ADL (Activity Daily Living) secara mandiri," kata Hilman, Sabtu (9/9/2023) 

 

Lihat halaman berikutnya >>>

 

Hilman mengatakan, pemeriksaan kesehatan juga akan mempertimbangkan data riwayat kesehatan jamaah yang bersumber dari rekam medis dengan mengoptimalkan penggunaan Aplikasi Satu Sehat.

Dijelaskan Hilman, Rakernas juga merekomendasikan penyempurnaan redaksi berita acara penetapan istithaah kesehatan jamaah haji. Jamaah yang tidak istithaah akan dibagi dalam dua kategori, tidak istithaah sementara dan tidak istithaah tetap atau permanen. 

Jamaah dengan kategori tidak istithaah sementara misalnya, mereka yang setelah proses pemeriksaan diketahui sedang hamil pada usia kehamilan yang tidak mengizinkannya untuk beribadah haji. Ini berarti keberangkatannya ditunda pada musim haji berikutnya. 

"Sementara jamaah dengan sakit kronis, misal cancer stadium tertentu, ditetapkan tidak istithaah permanen,” ujar Hilman.

Setelah rekomendasi Rakernas ini dikonsultasikan ditetapkan sebagai sebuah kebijakan, Kemenag akan melakukan sosialisasi secara luas agar dipahami oleh jamaah haji.

Saat Rakernas Evaluasi Penyelenggaraan Haji dibuka, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Tb Ace Hasan Syadzily menilai usulan soal istithaah ditetapkan lebih dulu sebelum pelunasan biaya haji itu sangat tepat. 

 "Gus Men melontarkan usulan melakukan screening (kesehatan) terlebih dahulu sebelum pelunasan (Bipih). Ini sangat baik dan akan dipertimbangkan oleh kami dalam proses penyelenggaraan haji 2024," kata Ace di Bandung, Rabu (6/9/2023).

Sejalan dengan itu, Komisi VIII berkomitmen untuk membahas evaluasi penyelenggaraan haji lebih cepat dibanding tahun sebelumnya. Ace juga ingin pembahasan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dipercepat.

"Kami menargetkan pembahasan BPIH 1445 Hijriyah bisa diselesaikan antara Oktober atau November 2023. Sehingga ada waktu luang cukup bagi proses penyelenggaraan ibadah haji 2024," ujar Ace. 

Ace berharap rakernas evaluasi haji ini bisa mencari dan menemukan hal-hal yang dirasakan jamaah perlu diperbaiki. Hal itu penting untuk perbaikan kualitas pelayanan di tahun mendatang. 

"Komisi VIII juga punya catatan dan itu bagi kami perlu terus diperbaiki. Terima kasih atas kerja keras Kementerian Agama. Semoga layanan haji akan lebih baik di tahun mendatang," ujar Ace.

 

Rakernas Evaluasi Penyelenggaran Haji 1444 H/ 2023 M diselenggarakan di Bandung pada 6 - 9 September 2023. Rakernas ini dihadiri oleh jajaran Ditjen PHU, Kanwil Kemenag Provinsi, Kemenkes, dan juga instansi terkait lainnya yang terlibat dalam penyelenggaraan ibadah haji. Hadir juga sejumlah narasumber dari Kementerian Agama, Komisi VIII DPR, Pusat Kesehatan Haji, Badan Pengelola Keuangan Haji, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

 
Berita Terpopuler