Gabung OECD atau BRICS? Ini Untung Ruginya untuk Indonesia

OECD dan BRICS memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Biro Pers Sekretariat Presiden
Presiden Jokowi saat memberikan keterangannya usai menghadiri KTT BRICS di Johannesburg, Afrika Selatan, Kamis (24/8/2023).
Rep: Novita Intan Red: Ahmad Fikri Noor

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center of Reform on Economics (Core) Indonesia menilai wacana Indonesia bergabung dengan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) maupun organisasi BRICS memiliki keuntungan strategis di sektor ekonomi secara regional dan global.

Baca Juga

Ekonom Core Indonesia Yusuf Rendy menilai, OECD dan BRICS memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. “Karena sekali lagi seperti yang disampaikan di atas kedua kelompok negara ini punya posisi strategis masing-masing baik itu secara regional maupun dalam kancah perekonomian global,” ujarnya ketika dihubungi Republika, Jumat (15/9/2023).

Menurut Rendy, bergabungnya Indonesia dalam OECD bisa dimanfaatkan nantinya ketika Indonesia ingin mengakses pasar Eropa sebagai negara tujuan ekspor maupun negara diversifikasi tujuan ekspor. Hal ini karena beberapa anggota OECD adalah negara Eropa yang sifatnya maju.

“Saya pikir ketika Indonesia bisa bergabung dengan OECD membuka peluang kemudian mengakses pasar-pasar tersebut,” ucapnya.

Soal waktu, menurutnya, diperlukan penghitungan secara resmi. Namun, jika dilihat standar-standar yang umumnya melekat pada negara-negara OECD merupakan standar-standar yang berlaku pada negara-negara yang dikategorikan sebagai negara maju. 

“Apa indikator dari negara maju salah satunya adalah pendapatan per kapita yang tinggi. Saat ini Indonesia belum sepenuhnya menjadi negara maju karena posisi Indonesia saat ini berada pada negara pendapatan menengah,” ucapnya.

Menurutnya ada hal yang perlu diperhatikan pemerintah jika ingin bergabung menjadi negara OECD. Contohnya, standar ekonomi yang memperhatikan unsur keberlanjutan, salah satu standar yang banyak dianut oleh banyak negara-negara yang terkategorisasi sebagai negara maju. Selain itu, soal ekspor, banyak standar seperti mencapai prasyarat non-tarif barriers yang harus dipenuhi dulu oleh Indonesia ketika ingin mengakses pasar-pasar dari negara maju ini.

“Kerap kali aturan nontarif ini sifatnya sangat teknis dan presisi sehingga dibutuhkan kejelian Indonesia terutama pelaku usahanya untuk kemudian misalnya bisa menyamakan standar dalam kesepakatan non-tarif barriers,” ucapnya.

Sementara itu Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyampaikan, wacana Indonesia bergabung dengan OECD perlu memperketat perlindungan terkait lingkungan hidup dan mempercepat transisi energi. Beberapa standar yang diadopsi dari OECD bisa memperkuat posisi Indonesia tingkat global dan lebih terbuka bagi peluang investasi berkualitas dari negara maju. 

“OECD akan menjadi prasyarat yang baik bahwa menuju pada negara maju perlu persamaan standar dulu dan Indonesia mungkin bisa belajar banyak dari OECD bagaimana mempersiapkan struktur ekonomi yang lebih baik misalnya penguatan kapasitas industri manufaktur dan teknologi,” ucapnya.

Bagaimana jika Indonesia bergabung dengan BRICS? (Selanjutnya)

 

 

 

Bagaimana jika Indonesia bergabung dengan BRICS?

Rendy menyebut bergabungnya Indonesia dengan lima negara yang sebelumnya sudah tergabung dalam BRICS mampu berpotensi meningkatkan hubungan kerja sama perdagangan antara Indonesia dengan negara-negara tersebut. 

“Apalagi kita tahu lima negara tersebut merupakan negara emerging market yang punya pasar cukup besar, sehingga dalam konteks mendorong kinerja ekspor saya pikir ini merupakan peluang yang cukup baik bagi Indonesia,” ucapnya.

Namun, menurutnya, saat yang bersamaan tantangan Indonesia bergabung dengan kelompok negara ini adalah bagaimana Indonesia tetap mempertahankan politik bebas luar negeri yang adil.

“Maka posisi Indonesia tidak kemudian dipandang sebagai langkah politik luar negeri yang mengarah ke arah politik tertentu misalnya Indonesia yang dianggap lebih cenderung meningkatkan kerja sama dengannya dengan dengan China dan tentu ini jika dilihat dari kaca mata Amerika Serikat bukanlah sesuatu yang begitu baik dari konteks politik luar negeri tersebut,” ucapnya.

Berbeda dengan Rendy, Bhima menyebut Indonesia bisa mengambil kesempatan ikut debt forgiveness atau penghapusan utang misalnya dari China. 

“BRICS dengan bank pembangunan barunya bisa tawarkan alternatif pembiayaan dengan bunga terjangkau sehingga menjadi opsi misalnya untuk pembiayaan infrastruktur atau transisi energi. Bahkan, Indonesia bisa ambil kesempatan ikut debt forgiveness atau penghapusan utang misalnya dari China. Utang Indonesia kan banyak ya dengan China termasuk utang BUMN,” ucapnya.

 
Berita Terpopuler