Walhi: Enam Warga Ditangkap, Puluhan Luka-Luka Usai Bentrok dengan Aparat di Pulau Rempang

Warga Pulau Rempang menolak direlokasi digusur menyusul proyek Rempang Eco-City.

Antara/Teguh Prihatna
Sejumlah warga melakukan aksi pemblokiran jalan di jembatan empat Rempang, Galang, Batam, Kepulauan Riau, Senin (21/8/2023). Pada Kamis (7/9/2023) terjadi bentrok antara warga dan aparat.
Rep: Bambang Noroyono, Antara Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, BATAM — Sedikitnya enam warga ditangkap dan puluhan masyarakat biasa lainnya mengalami luka-luka serius menyusul bentrokan dengan aparat karena menolak relokasi di kawasan Pulau Rempang, Batam, Kamis (7/9/2023). Bentrok antara masyarakat dan pasukan keamanan gabungan Korps Angkatan Laut Tentara Nasional Indonesia (TNI-AL) dan Polri itu, juga mengakibatkan beberapa anak-anak sekolah dasar dilarikan ke posko-posko medis lantaran terkena serangan gas air mata.

Baca Juga

Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Zenzi Suhadi dalam siaran pers menerangkan, bentrokan antara warga dan aparat gabungan tersebut, berawal dari aksi penolakan relokasi dan penggusuran terhadap kelompok masyarakat adat Kampung Melayu Tua di Pulau Rempang. Para warga selama ini menolak Program Strategis Nasional Kawasan Rempang Eco-City di tanah adat Melayu Tua yang sudah menetap sejak 1834.

Program nasional tersebut, dinilai mengancam keberadaan ribuan anggota masyarakat adat dari 16 suku Melayu Tua di kawasan tersebut, yang akan digusur paksa.

“Hari ini (siang tadi), sekitar jam 10, aparat keamanan memicu bentrokan dengan memaksa masuk untuk melakukan pemasangan patok tata batas dan cipta kondisi,” kata Zenzi.

Walhi bersama 78 Lembaga Bantuan Hukum Indonesia selama ini melakukan pendampingan terhadap warga yang menjadi target penggusuran atas proyek nasional tersebut. Zenzi mengatakan, aksi pasukan gabungan yang menerobos masuk kawasan warga tersebut, dituding sebetulnya untuk melakukan penggusuran paksa para warga.

“Karena sedari awal tujuannya adalah untuk menggusur paksa warga dari tanah adatnya, maka kegiatan tersebut mendapat penolakan dari warga. Kegiatan tersebut merupakan pemantik bentrokan berdarah yang mengakibatkan paling tidak enam orang warga ditangkap dan puluhan warga mengalami luka-luka karena diserang, dan anak-anak sekolah mengalami luka-luka akibat gas air mata,” terang Zenzi. 

“Peristiwa bentrokan berdarah ini, merupakan tanggung jawab pimpin BP Batam, Kapolda Kepulauan Riau, Kapolrestabes Barelang, Komandan Palinglam TNI AL-Batam,” kata Zenzi melanjutkan.

 

 

Tokoh Masyarakat Kepulauan Riau Azlaini Agus, dalam siaran pers tersebut, juga menegaskan agar Panglima TNI Laksamana Yudo Margono memecat otoritas tertinggi Korps Angkatan Laut yang turut terlibat dalam mengerahkan pasukan militer ke wilayah bentrok tersebut. Ia juga meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, juga memecat Kapolda Riau bersama Kapolrestabes Barelang yang menjadi komandan utama dalam upaya penyerangan terhadap warga di Pulau Rempang tersebut.

“Tindakan aparat kepolisian, BP Batam, TNI-AL yang memaksa masuk ke wilayah masyarakat ada Pulau Rempang, dan berusaha melakukan penggusuran adalah pengabaian terhadap konstitusi, dan merupakan pelanggaran hak asasi. Presiden harus segera memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri untuk mencopot anggotanya yang melakukan pembiaran atas bentrokan dengan masyarakat biasa tersebut,” kata Aznalini Agus.

Atas nama 16 Suku Masyarakat Adat Melayu Tua di Pulau Rempang, Azlaini Agus mendesak Presiden Joko Widodo (Jokow) untuk mengevaluasi dan menghentikan proyek nasional Rempang Eco-City di Palau Rempang. Pulau Rempang di Batam, dijadikan target pemerintahan Presiden Jokowi untuk proyek nasional Rempang Eco-City.

Proyek tersebut bagian dari Progam Pengembangan Kawasan Rempang yang masuk dalam Rencana Induk Pengembangan KPBPB Batam, Bintan, dan Karimun. Program-progam tersebut, melibatkan konsorsium Makmur Elok Graha (MEG) dalam perjanjian pengembangan kawasan Pulau Rempang yang luasnya mencapai 17 ribu hektare (Ha). 

Menteri Koordinator Airlangga Hartarto, dalam peresmian Program Rempang itu, pada Juni 2023 lalu mengatakan, investasi dan pengembangan kawasan tersebut mencapai Rp 381 triliun sampai 2080. Dari program pengembangan tersebut, nantinya Makmur Elok Graha yang merupakan unit usaha milik Tommy Winata akan membangun tujuh kawasan yang terintegrasi. Seperti Rempang Industrial Zone, Rempang Integrated Agro Tourism Zone, Rempang Integrated Commercial and Residential, Rempang Integrated Tourisme Zone, Rempang Forest and Solar Farm Zone, Wildfire and Nature Zone, serta Galang Herritage Zone.

Tujuh pembangunan kawasan terintegrasi tersebut, pada intinya menjadikan Pulau Rempang sebagai tempat industrialisasi baru di Batam dalam bidang penambangan pasir laut, dan produksi panel surya, serta kawasan wisata internasional. Namun dari semua proyek pembangunan tersebut, mendapat penolakan keras dari masyarakat setempat. Sejak diwacanakan, masyarakat adat Melayu Tua kerap melakukan aksi-aksi penolakan rencana pemerintah mengkapitalisasi kawasan adat mereka. 

Pariwisata Indonesia - (Republika)

  

 

Berbicara di Jakarta, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo i memastikan Badan Pengusahaan (BP) Batam sudah menyiapkan ganti rugi bagi warga di Pulau Rempang, Batam, terkait rencana pengembangan  kawasan tersebut. "Tentunya langkah-langkah yang dilaksanakan oleh BP Batam sudah sesuai berjalan, mulai dari musyawarah, mempersiapkan relokasi, termasuk ganti rugi kepada masyarakat yang mungkin telah menggunakan lahan atau tanah di Rempang," kata Sigit dalam jumpa pers di pelataran Kantor Panglima TNI, Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis.

Sigit menyebut pengukuran lahan di Rempang bertujuan untuk pengembangan kawasan. Namun, kemungkinan lokasi tersebut dikuasai beberapa kelompok masyarakat.

"Di sana, ada kegiatan terkait dengan pembebasan atau mengembalikan kembali lahan milik otoritas Batam yang saat ini mungkin dikuasai beberapa kelompok masyarakat," ujar Sigit menegaskan.

Pengukuran tersebut, lanjut Sigit, dilakukan lantaran pihak BP Batam akan menggunakan lahan tersebut untuk aktivitas tertentu. "Karena memang ada kegiatan yang akan dilakukan oleh BP Batam (pada lahan di Rempang)," kata Sigit.

Lebih lanjut, Sigit menegaskan bahwa penyelesaian konflik tersebut diselesaikan melalui musyawarah mufakat antara pihak-pihak terkait. "Namun demikian, tentunya upaya musyawarah, upaya sosialisasi penyelesaian dengan musyawarah mufakat menjadi prioritas, sehingga kemudian masalah di Batam, di Rempang itu bisa diselesaikan," tutup Sigit.

 
Berita Terpopuler