Pakar PBB Sebut Aturan Wajib Hijab di Iran Sebagai Apartheid Gender

Aturan mewajibkan hijab bagi muslimah Iran dianggap sebagai apartheid gender

AP Photo/Vahid Salemi
Iran merancang undang-undang (UU) baru yang akan mengabadikan hukuman keras bagi perempuan dan anak perempuan yang tidak mengenakan hijab
Rep: Amri Amrullah Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Para pakar di PBB mengkritik aturan baru di Iran yang akan mewajibkan hijab bagi muslimah. Sebuah rancangan undang-undang (UU) baru yang akan mengabadikan hukuman keras bagi perempuan dan anak perempuan yang tidak mengenakan hijab di Iran, dapat dianggap sebagai "apartheid gender."

"Rancangan undang-undang tersebut dapat digambarkan sebagai bentuk apartheid gender, karena pihak berwenang tampaknya memerintah melalui diskriminasi sistemik dengan tujuan untuk menekan perempuan dan anak perempuan untuk tunduk sepenuhnya," kata para ahli di lembaga dunia tersebut, Jumat lalu.

Undang-undang yang diusulkan, yang saat ini sedang dikaji oleh parlemen Iran, akan menetapkan hukuman yang keras bagi perempuan yang menolak mengenakan hijab panjang - termasuk hukuman penjara yang lama.

Rancangan undang-undang yang terdiri dari 70 pasal ini juga mengusulkan hukuman baru yang lebih keras bagi para selebritas dan pebisnis yang melanggar aturan. Termasuk bila menggunakan kecerdasan buatan untuk mengidentifikasi wanita yang melanggar aturan berpakaian.

Para ahli PBB berpendapat bahwa baik undang-undang baru maupun pembatasan yang ada saat ini "pada dasarnya bersifat diskriminatif dan dapat menyebabkan penganiayaan gender." Panel ahli PBB terdiri dari beberapa pelapor khusus, dan sebuah kelompok kerja yang berfokus pada diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan.

"Mempersenjatai 'moral publik' untuk menghalangi kebebasan berekspresi perempuan dan anak perempuan sangat melemahkan dan akan mengukuhkan serta memperluas diskriminasi dan marjinalisasi gender, dengan konsekuensi negatif yang lebih luas bagi anak-anak dan masyarakat secara keseluruhan," ujar para ahli tersebut.

Menurut PBB, undang-undang tersebut diajukan ke parlemen oleh pemerintah dan kehakiman pada tanggal 21 Mei lalu. Setelah melakukan beberapa amandemen yang meningkatkan beratnya hukuman, pada 13 Agustus, parlemen memberikan suara untuk mengizinkan komite parlemen meninjaunya tanpa debat publik, kata PBB.

"Kami mendesak pihak berwenang untuk mempertimbangkan kembali undang-undang wajib jilbab sesuai dengan hukum hak asasi manusia internasional, dan untuk memastikan penikmatan penuh hak asasi manusia bagi semua perempuan dan anak perempuan di Iran," kata para ahli PBB.

Hukuman bagi yang tak gunakan hijab jauh lebih berat....

Baca Juga

 

RUU baru ini akan mengklasifikasikan kembali kegagalan untuk mengenakan hijab sebagai pelanggaran yang lebih berat. Mereka yang melanggar dapat dihukum dengan hukuman penjara lima hingga 10 tahun serta denda yang lebih tinggi hingga 360 juta rial Iran (8508 dolar AS).

Sebelumnya, mereka yang melanggar aturan berbusana hanya menghadapi hukuman 10 hari hingga dua bulan penjara, atau denda antara 50.000 hingga 500.000 rial Iran, atau setara dengan 1,18 Dolar AS hingga 11,82 dolar AS saat ini.

Bagian lain menyatakan bahwa polisi Iran harus "menciptakan dan memperkuat sistem AI untuk mengidentifikasi pelaku perilaku ilegal dengan menggunakan alat seperti kamera tetap dan kamera bergerak."

Pemilik bisnis yang tidak menegakkan persyaratan jilbab akan menghadapi denda yang lebih berat, yang berpotensi mencapai tiga bulan keuntungan bisnis mereka. Termasuk di dalamnya 'Apartheid gender', menghadapi larangan meninggalkan negara itu atau berpartisipasi dalam aktivitas publik atau dunia maya hingga dua tahun.

Kelompok selebriti dapat menghadapi denda hingga sepersepuluh dari kekayaan mereka, dikeluarkan dari pekerjaan atau kegiatan profesional untuk jangka waktu tertentu, serta larangan bepergian ke luar negeri dan media sosial, jika mereka tidak mematuhinya.

 

 
Berita Terpopuler