Kenaikan Harga BBM dan Kualitas Udara Jakarta, SNI 9178:2023 Jamin Kualitas Data Pemantauan Udara

Harga BBM di Jabodetabek dinaikkan per 1 September 2023. Akankah bisa menekan penggunaan kendaraan pribadi sehingga mengurangi polusi udara? BSN telah menetapkan SNI alat pemantauan kualitas udara.

network /oohya! I demi Indonesia
.
Rep: oohya! I demi Indonesia Red: Partner

Warga melintasi stasiun pemantau kualitas udara tepi jalan yang dipasang di Bundaran HI, Jakarta Pusat, Selasa (15/8/2023) (foto: eva rianti/republika).

Per 1 September 2023, harga BBM nonsubsidi dinaikkan di wilayah Jabodetabek. Pertamax yang tadinya Rp 12.400 per liter, mulai 1 September 2023 menjadi Rp 13.300 per liter. Pertamax Green 95 dari Rp 13.500 per liter dinaikan menjadi Rp 15 ribu per liter.

Pertamax Turbo naik dari Rp 14.400 per liter menjadi Rp 15.900 per liter. Pertamax Dex dari Rp 14.350 per liter menjadi Rp 16.900 per liter. Harga Dexlite daro Rp 13.950 menjadi Rp 16.350 per liter.

Akankah kenaikan harga BBM ini akan menekan penggunaan kendaraan pribadi di Jabodetabek, sehingga polusi udara di Jakarta teratasi? Kualitas udara di Indonesia beberapa pekan terakhir menjadi perhatian masyarakat. Wilayah Jabodetabek menempati peringkat tertinggi sebagai kota dengan kualitas udara berkategori buruk di dunia versi IQAir, dan termasuk dalam tingkat udara yang tidak sehat.

Dalam rilisnya, Badan Standardisadi Nasional BSN menyebut, dalam menentukan kualitas udara di suatu wilayah tentu harus didukung oleh data yang akurat dan valid. Untuk itu penjaminan fungsi alat pemantauan kualitas udara yang digunakan menjadi hal yang sangat krusial dan kritikal.

Dalam mengukur kualitas udara, alat yang digunakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) adalah Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). Saat ini ada 56 unit ISPU di Indonesia. Sebanyak 15 unit ada di Gelora Bung Karno (GBK) Senayan, Jakarta.

Untuk menjamin kualitas data pemantauan udara, BSN telah menetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 9178:2023 Udara ambien – Uji kinerja alat pemantauan kualitas udara yang menggunakan sensor berbiaya rendah. Deputi Bidang Pengembangan Standar BSN Hendro Kusumo mengatakan, penetapan SNI 9178:2023 diharapkan dapat memberikan acuan dalam pengujian terhadap kinerja alat pemantauan kualitas data pemantauan udara ambient. SNI menjadi rujukan dalam penentuan kebijakan terkait pengelolaan lingkungan hidup.

“Dalam SNI ini, yang dimaksud udara ambien adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfer yang dibutuhkan dan berpengaruh terhadap kesehatan manusia, makhluk hidup, dan unsur lingkungan hidup lainnya,” ujar Hendro di Kantor BSN, Jakarta pada Jumat (1/9/2023).

Menurut Hendro, SNI 9178:2023 disusun oleh Komite Teknis 13-03 Kualitas Lingkungan dan ditetapkan oleh Kepala BSN pada tanggal 15 Agustus 2023. “Kedepannya, penerapan SNI ini diharapkan dapat mengatasi kekhawatiran terkait validitas data yang dihasilkan dari penggunaan sensor berbiaya rendah pada alat pemantauan kualitas udara sehingga bila alat telah lulus uji berbasis SNI, maka informasi yang tersedia lebih dapat diandalkan dan bermanfaat bagi masyarakat,” ujar Hendro.

Sensor berbiaya rendah saat ini menjadi alternatif alat ukur indikatif atau peringatan dini untuk mendapatkan informasi awal. Pengukuran lanjut yang lebih detail perlu menggunakan alat ukur referensi yang lengkap dan berharga mahal.

Sensor berbiaya rendah berbeda dengan alat ukur referensi yang dirancang untuk memenuhi persyaratan uji kinerja yang ketat dan digunakan dalam penegakan regulasi. Namun, sensor berbiaya rendah mempunyai kelebihan dapat memberikan informasi konsentrasi polutan udara yang relatif lebih cepat atau instan. Pun memungkinkan dilakukannya pengukuran kualitas udara di lebih banyak lokasi.

SNI 9178:2023 menetapkan persyaratan dan pelaksanaan uji kinerja alat pemantauan kualitas udara ambien aktif kontinyu yang menggunakan sensor berbiaya rendah melalui kalibrasi, kolokasi di lapangan, dan validasi data. Hendro mengungkapkan, sesuai persyaratan SNI 9178:2023, alat pemantauan kualitas udara yang menggunakan sensor berbiaya rendah harus telah terkalibrasi, kemudian juga dilakukan uji kinerja alat melalui kolokasi; dan validasi data.

Yang dimaksud terkalibrasi, kata Hendro, harus diperiksa untuk memastikan peralatan berada dalam performa maksimal sesuai dengan fungsinya; digunakan sesuai petunjuk pengoperasian atau instruksi manual dan menjaga ketertelusuran pengukuran alat tersebut dengan standar acuan nasional yang ada di laboratorium SNSU (Standar Nasional Satuan Ukuran) BSN. Laboraotorium ini sekaligus sebagai National Metrology Institute (NMI) yang mewakili Indonesia dalam penjaminan ketelusuran pengukuran ke tingkat internasional yang dikelola oleh BIPM (Bureau International des Poids et Mesures). “Secara umum kalibrasi dilakukan dengan membandingkan pembacaan konsentrasi alat kalibrator dengan pembacaan konsentrasi peralatan yang diuji,” jelas Hendro.

Hingga kini, BSN telah menetapkan SNI terkait kualitas udara sebanyak 62 SNI dan terkait manajemen lingkungan, sebanyak 37 SNI. Dengan ditetapkan SNI 9178:2023, Hendro meyakini, dalam pemantauan kualitas udara yang menggunakan alat ber-SNI, maka akan dapat menghasilkan data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Pada akhirnya dapat mendukung pengambilan kebijakan yang tepat dalam upaya pencegahan kualitas udara yang buruk.

Ma Roejan

 
Berita Terpopuler