Jeritan Muslimah di Prancis: Kami Bagai Hewan yang tak Punya Hak Apa Pun

Behijab di Prancis membuat Muslimah sulit mendapatkan pekerjaan.

Pixabay
Muslimah (ilustrasi). Menjadi Muslim yang hidup di Prancis menghadapi banyak rintangan.
Rep: Meiliza Laveda Red: Qommarria Rostanti

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah sempat rusuh karena larangan penggunaan jilbab, kini Prancis kembali "menyerang" para Muslimah. Prancis akan melarang anak-anak perempuan mengenakan abaya (gaun dengan model longgar dan panjang) untuk dikenakan Muslimah di sekolah.

Baca Juga

Imbauan itu dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan Prancis. Larangan menggunakan simbol agama sudah diberlakukan sejak dulu. Menjadi Muslim yang hidup di Prancis menghadapi banyak rintangan. Mereka kerap dilecehkan, didiskriminasi hanya karena menggunakan hijab. 

Inilah yang dirasakan oleh Nadia, mahasiswi kedokteran di Marseille. Pada 2017 ketika dia menjalani pemeriksaan rutin sebelum mulai rotasi di rumah sakit, perawat yang memeriksanya cemberut. 

Saat mencatat berat badan Nadia, dia mengurangi dua kilogram dari hasil timbangan karena pakaian yang dianggap "berat". Nadia melihat pakaiannya, rok dan blazer. Namun, dia paham apa yang perawat maksud. 

Pashmina yang dililitkan di kepalanya, itulah sebuah penghinaan. Ini merupakan sebagian kecil dari pelecehan yang Nadia terima setiap hari. Perawat menunjuk pada kain kerudungnya, bahasa Prancis yang berarti kerudung atau syal dan berkata, “Biarkan rambutmu bernapas, rambutmu akan rontok karena memakainya terus-menerus". 

Nadia nyaris tidak bisa menahan keinginan untuk menangis. Nadia menjelaskan setiap hari, di mana pun, menjadi perempuan Muslim di Prancis akan terus dihakimi. 

Anak-anak tidak bisa membahas tentang keyakinan mereka karena takut disebut teroris. Sementara ketika pergi ke toko kelontong, setiap orang akan menatap dan merasa terganggu.

"Kami merasa sangat tidak aman, hal ini menyesakkan. Kami tidak diperlakukan sebagai warga negara Prancis sejati yang bekerja di sini, membayar pajak, dan merawat orang sakit, tapi sebagai hewan yang tidak memiliki hak apa pun," kata Nadia, dikutip dari Vice, Senin (28/8/2023).

Prancis merupakan rumah bagi komunitas Muslim terbesar di dunia Barat dengan jumlah penduduk lebih dari empat juta orang yang diperkirakan berjumlah delapan persen dari total populasi negara tersebut. Sepertiga dari tim pemenang Piala Dunia 2018 Prancis adalah Muslim. 

Yang menyedihkan adalah 44,6 persen masyarakat Prancis memandang Islam sebagai ancaman terhadap identitas nasional. Negara yang sangat sekuler ini telah lama berperang melawan warga Muslimnya, terutama perempuan berjilbab.

Perkembangan Islamofobia Prancis terus berkembang dengan adanya regulasi-regulasi yang menargetkan Muslim. Pada 2011, Prancis menjadi negara pertama yang melarang perempuan mengenakan niqab atau cadar di luar rumah. Sebelumnya, undang-undang Prancis melarang simbol-simbol keagamaan di sekolah-sekolah, termasuk jilbab, salib berukuran besar, dan kippah. 

Menurut Collective Against Islamophobia in France, sebuah kelompok nirlaba yang berupaya memerangi diskriminasi terhadap Muslim Prancis dan dibubarkan secara paksa pada bulan Desember tahun lalu, 70 persen tindakan Islamofobia dan ujaran kebencian ditujukan kepada perempuan. 

Umat Islam kehilangan pekerjaan karena sholat...lanjutkan membaca>>

 

Lamya, seorang mahasiswa bisnis berusia 23 tahun di Champigny-sur-Marne, pinggiran kota Paris, mengenal banyak perempuan yang berhenti mengenakan jilbab karena takut dikucilkan atau menjadi pengangguran. Bagi mereka yang tetap berhijab, alternatifnya adalah keluar dari universitas sepenuhnya.

“Bukan rahasia lagi bahwa berhijab di Prancis akan membuat Anda kesulitan mencari pekerjaan. Banyak perusahaan yang menolak menerima perempuan berhijab. Umat Islam kehilangan pekerjaan karena sholat di tempat kerja,” kata Lamya.

Saat pertama dia magang, manajer yang mempekerjakannya memberi tahu bahwa dirinya terkena penyakit. "Saat magang pertama saya, manajer memberi tahu direktur umum bahwa saya mengidap penyakit yang membuat rambut saya rontok sehingga saya bisa mengenakan jilbab tanpa mendapat komentar apa pun di tempat kerja," ucapnya. 

Ketua Organisasi Feminis dan Antirasis Interseksional Lallab yang berbasis di Paris, Fatima Benti, mengatakan perempuan Muslim selalu ditampilkan oleh media, film, atau politisi sebagai perempuan tertindas tanpa kebebasan berkehendak. Konsep ini lanjut dia merupakan sudut pandang Eurosentris dan definisi pembebasan yang rasis, seksis, dan Islamofobia.

"Argumen larangan hijab tidak ada hubungannya dengan pembebasan bantuan terhadap perempuan Muslim. Ini merupakan kelanjutan dari kekuatan kolonial Eropa yang menegaskan dominasi terhadap agama minoritas, mendorong rasisme," ujarnya.

 
Berita Terpopuler