Kata Psikolog Soal 'Ribut' Grup WA Ortu: Jangan Sampai Ganggu Kebebasan Mahasiswa

Pro dan kontra mengenai grup WA orang tua di kalangan kampus terus bergulir.

AP/Martin Meissner
Logo WhatsApp (paling kanan). Psikolog dari UGM mengomentari pro dan kontra mengenai grup WhatsApp orang tua mahasiswa dengan pihak kampus.
Rep: Shelbi Asrianti Red: Qommarria Rostanti

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Media sosial diramaikan diskusi mengenai pro dan kontra grup WhatsApp (WA) antara orang tua mahasiswa dan pihak kampus. Sebagian berpendapat itu bukan hal yang perlu karena usia mahasiswa sudah masuk kategori dewasa, sementara sebagian lain menganggapnya wajar-wajar saja.

Baca Juga

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Profesor Koentjoro berpendapat keberadaan grup demikian boleh-boleh saja asalkan interaksi di dalamnya tidak sampai berimbas pada kebebasan mahasiswa. "Jangan sampai itu justru membuat mahasiswa terganggu atau mahasiswa menjadi tidak independen," ujar Koentjoro saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (23/8/2023).

Koentjoro menyoroti, awal mula hadirnya grup demikian dipicu oleh pihak universitas yang melibatkan orang tua dalam kegiatan mahasiswa. Ide awalnya, menginformasikan soal kegiatan mahasiswa di luar perkuliahan beserta pembiayaannya.

Sebagai akibat dari itu, banyak orang tua mahasiswa membentuk grup di layanan perpesanan, yang di dalamnya juga tergabung pihak kampus. Jika hanya membahas soal itu, menurut Koentjoro, oke-oke saja.

Orang tua pun terkadang merasa khawatir soal masa depan anak. Koentjoro menyebut ada banyak kasus di mana mahasiswa tidak terbuka dengan orang tua. Semisal kepada orang tua mengaku sudah akan ujian skrispi, padahal tidak pernah menghadiri perkuliahan.

Hal itu tentunya bakal membuat orang tua kecewa, terlebih yang sudah banting tulang membiayai anak. Dengan adanya grup WA, bisa mencegah kasus demikian, memberikan rasa aman dan tenang bagi orang tua sebab ada komunikasi yang terjalin. Orang tua pun bisa bertanya perihal kebijakan kampus.

Akan tetapi, menjadi salah jika kehadiran grup WA dipakai jadi media terus-menerus mengawasi mahasiswa, sebab seharusnya mahasiswa didorong untuk sudah bertanggung jawab atas dirinya sendiri. "Soal perkuliahan, biar tetap jadi urusan mahasiswa. Yang penting, mahasiswa harus bisa mandiri," ucap Koentjoro.

Selama menjadi dosen, Koentjoro mengaku tidak pernah tergabung dalam grup WA orang tua mahasiswa. Dia berpendapat ada baiknya grup demikian hanya berisikan para orang tua mahasiswa, di mana mereka bisa saling curhat, berkeluh-kesah, dan jadi ajang silaturahim. Adapun jika pihak kampus tergabung, bisa untuk memfasilitasi orang tua mahasiswa supaya bertemu dengan dosen pada waktu tertentu. Misalnya, sekali setahun atau setiap semester. 

Di Fakultas Psikologi UGM, Koentjoro menginformasikan terdapat POTMAPSI, yakni Persatuan Orang Tua Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Secara berkala, orang tua mahasiswa difasilitasi berjumpa dengan dosen.

Menurut Koentjoro, walaupun di kampus tertentu ada grup WA orang tua mahasiswa dan dosen, itu juga tidak boleh menjadi tempat orang tua menekan dosen agar anak cepat lulus, atau mengintervensi soal nilai. Begitu juga ketika grup WA dibentuk orang tua yang anaknya ada di jenjang pendidikan lain, seperti TK, SD, SMP, atau SMA. "Jangan sampai orang tua memengaruhi keputusan guru," ujarnya.

 

 
Berita Terpopuler