Festival Beubeutian di Cisayong Tasikmalaya dan Tradisi Generasi Baheula

Festival Beubeutian menjadi agenda rutin saat peringatan hari jadi Desa Cisayong.

Republika/ Bayu Adji P
Berbagai makanan disajikan warga saat Festival Beubeutian di Lapangan Sakti Lodaya, Desa Cisayong, Kecamatan Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Senin (14/8/2023).
Rep: Bayu Adji P Red: Irfan Fitrat

REPUBLIKA.CO.ID, TASIKMALAYA — Sejumlah warga dengan beragam kostum membawa berbagai makanan olahan dari umbi-umbian ke Lapangan Sakti Lodaya, Desa Cisayong, Senin (14/8/2023). Makanannya dibentuk bermacam rupa.

Baca Juga

Makanan itu dibawa kelompok warga yang mewakili setiap rukun tetangga (RT) di Desa Cisayong. Beberapa warga dari desa tetangga juga ikut memeriahkan Festival Beubeutian yang digelar Pemerintah Desa Cisayong, Kecamatan Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, itu.

Festival Beubeutian merupakan rangkaian dari hajatan besar dalam rangka memperingati Hari Jadi Desa Cisayong, yang digelar sejak 12 Agustus 2023. Desa Cisayong kini berusia satu abad. “Festival ini sudah berjalan selama dua tahun terakhir. Kami selalu agendakan setiap peringatan ulang tahun Desa Cisayong,” ujar Kepala Desa Cisayong Yudi Cahyudin.

Yudi menjelaskan, Festival Beubeutian merupakan kegiatan yang didasari kebudayaan lokal, di mana warga berkumpul membawa berbagai makanan olahan nonberas atau daging. Seluruh makanan yang disajikan dalam festival tersebut berasal dari tumbuhan atau umbi-umbian. 

Hal itu disebut dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menjaga keseimbangan alam. “Makna dari festival ini adalah memakan makanan yang ada di sekitar kita, yaitu umbi-umbian,” kata Yudi.

Salah seorang warga yang turut serta dalam Festival Beubeutian, Titin (62 tahun), mengaku antusias. Terlebih, penyajian beubeutian dilakukan bersama-sama oleh para warga. “Kami bawa singkong, ubi, kacang tanah, tapai, dan lainnya. Semua olahan dari umbi-umbian,” ujar dia.

Titin berharap Festival Beubeutian dapat dilaksanakan secara rutin. Festival ini disebut dapat turut menjaga kebersamaan antarwarga.

 

Warga membawa makanan untuk disajikan saat Festival Beubeutian. - (Republika/ Bayu Adji P)

 

Mengangkat tradisi dahulu

Ketua Panitia Gebyar Merah Putih 100 Tahun Desa Cisayong, Fathuzzaman, mengatakan, Festival Beubeutian ini terinspirasi dari tradisi generasi baheula atau dahulu. 

“Mungkin dulu bukan berbentuk festival, tapi hanya membawa beubeutian ke suatu tempat, lalu makan bersama. Tradisi ini kami angkat jadi festival agar lebih meriah,” kata lelaki yang kerap disapa Ogi itu kepada Republika.co.id, Selasa (15/8/2023).

 

 

Secara umum, beubeutian yang merupakan bahasa Sunda itu berarti umbi-umbian, seperti singkong, ubi, dan kacang. Beubeutian umumnya dimasak dengan cara direbus dan disajikan untuk makan bersama.

Menurut Ogi, makna dari beubeutian di zaman dulu adalah sebagai bentuk rasa syukur atas hasil panen warga. Dulu beubeutian juga merupakan makanan pengganti nasi di musim paceklik. “Keterbatasan dalam proses memasak pun jadi bagian dari tradisi beubeutian. Soalnya dulu minyak goreng masih sulit didapatkan,” ujar Ogi.

Beubeutian di zaman kiwari dianggap sebagai makanan yang sehat untuk tubuh. Melalui Festival Beubeutian ini, diharapkan upaya menjaga kesehatan pun dapat dilestarikan. “Ini juga sebagai edukasi kepada generasi muda bahwa orang tua dulu seperti ini makanannya. Apalagi beubeutian hari ini juga dianggap sebagai makanan sehat,” kata Ogi.

 

Makanan yang disajikan saat Festival Beubeutian. - (Republika/ Bayu Adji P)

 

Makanan yang disajikan pada Festival Beubeutian sangat beragam. Bentuknya juga bermacam-macam, bahkan ada yang dibuat seperti rumah, tumpeng, hingga berbentuk lapangan sepak bola.

Ogi mengatakan, Festival Beubeutian ini diharapkan juga dapat menjadi daya tarik wisata Desa Cisayong. Desa yang terletak dekat Gunung Galunggung itu dinilai mempunyai banyak potensi untuk menjadi destinasi wisata. “Jadi dibuat agenda tahunan untuk menarik minat wisatawan,” ujar Ogi.

 
Berita Terpopuler