Jika Kita Diam Jakarta akan Tenggelam

Pencemaran di Jakarta tidak hanya pada pencemaran udaranya, namun juga pencemaran air

Republika
Hasil penelitian yang di-publish Geophysical Research Letters Maret 2023 lalu menyatakan Jakarta berada di urutan ke-3 setelah Tianjin, China dan Semarang, kota di dunia yang akan paling cepat tenggelam.
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arief Rosyid Hasan, Pengurus LPBI PBNU

Joe Biden pernah menyebut bahwa Jakarta akan tenggelam dalam kurun waktu 10 tahun. Apakah pernyataan itu akan menjadi kenyataan? Jawaban saya sederhana saja, “ya” jika kita tidak berbuat apa-apa.

Saat melakukan penerbangan di Jakarta, ketika kita berada pada ketinggian langit, maka akan ditemukan lapisan pekat polusi di udara. Fakta yang lebih buruk lagi, bahwa pencemaran di Jakarta tidak hanya pada pencemaran udaranya, namun juga pencemaran air.

Kondisi air di Jakarta sungguh memerhatikan. Hal itu dapat dilihat dari penurunan muka tanah, yang disebabkan oleh pengambilan air tanah secara besar-besaran yang melebihi kemampuan.

Kedua, penurunan akibat beban bangunan. Tanah yang memiliki peranan penting dalam pekerjaan konstruksi dan penambahan bangunan di atas permukaan tanah bisa menyebabkan lapisan di bawahnya mengalami pemampatan. Berdasarkan data di lapangan 80-90% penurunan muka tanah di Jakarta akibat ekstraksi berlebih air tanah.

Hasil riset yang lebih mengkhawatirkan, beberapa peneliti menemukan bahwa ternyata penurunan tanah mencapai 10-20 cm per tahun, maka dalam setahun penurunan tanah mencapai 20 m. Kemudian kalau 100 tahun akan ada penurunan 10 meter. Hal itulah yang menyebabkan terjadinya banjir rob di beberapa titik di Jakarta hampir setiap tahunnya. Selain permukaan tanah yang turun, tim riset Masyarakat Air Indonesia (2022) juga menilai kenaikan muka air laut lah, yang merupakan dampak pemanasan global yang mencairkan es di kutub, menjadi pemicu banjir rob.

Baca Juga

Penurunan daratan Jakarta berada di angka 3,44 cm per tahun. Selain tenggelam, banjir akibat luapan 13 sungai yang melintasi kota ini selalu saja mengancam warga Jakarta. - (Republika)



Pada 2050 beberapa wilayah di pesisir Jakarta diprediksi akan tenggelam di antaranya ialah: Kamal Muara (di bawah 3 meter), Tanjungan (di bawah 2.10 meter), Pluit (di bawah 4.35 meter), Gunung Sahari (di bawah 2,90 meter), Ancol (di bawah 1.70 meter), Marunda (di bawah 1.30 meter), dan Cilincing (di bawah 1 meter). Masyarakat kelas menengah ke bawah yang tinggal di daerah pesisir Jakarta ialah yang paling dikorbankan atas situasi ini. Ketika pasang, air laut akan menggenangi rumah warga hingga pertengahan, belum lagi pasokan air minum yang minum dan harus dibeli dengan harga yang tak murah.

Beragam penelitian ilmiah menemukan daerah Angke dan sekitarnya, serta banyak titik di wilayah pesisir Jakarta dan Tangerang, sudah pasti memiliki karakter air tanah yang asin. Kualitas air yang menurun berdampak pada kesehatan warga, sisanya mereka yang bertahan dalam keadaan memperihatinkan atas tubuh yang tidak sehat namun tetap harus mencari nafkah demi makan keluarga, pendidikan, dan hiburan.

Menggaungkan Spiritual Ekologi

Pencemaran air di Jakarta sebagai besar disebabkan oleh aktivitas industri yang berjalan tanpa memperhitungkan potensi pencemaran dan kerusakan lingkungan. Industri yang berjalan dalam roda kapitalisme menjadi penyebab permasalahan struktural seperti yang dirasakan oleh warga pesisir kelas menengah ke bawah Jakarta. Bila tak kunjung ada intervensi khusus, maka bukan tidak mungkin warga Jakarta akan menghadapi kenyataan seperti yang dikatakan Biden.

Pada akhirnya, semua pihak telah berupaya melakukan perubahan, mulai dari pemerintah Jakarta dalam tiga tahun terakhir ini, telah melakukan beberapa upaya membenahi permasalahan tersebut, di antaranya, menambah water treatment plant dan SPAM, menurunkan kebocoran air melalui rehabilitasi, perbaikan layanan dan distribusi perpipaan, mencegah jaringan pipa illegal, material replacement, serta penghematan air dengan memindahkan air tanah ke air minum perpipaan, serta edukasi warga tentang penghematan air.

Akan tetapi, meskipun telah dilakukan upaya pembenahan, namun apalah arti perubahan jika tidak diselesaikan dari akarnya, dan hal itu dapat dimulai dari pertanyaan, “Mengapa manusia terus-menerus mengeksploitasi alam demi mempercanggih hidupnya sendiri?”. Pandangan antroposentris yang selama ini masih kita junjung adalah akar dari kerusakan alam dan pencemaran air.

Dilihat dari perspektif Fiqih Lingkungan, Prof KH Ali Yafie menjelaskan air (al-ma') menempati kedudukan sangat penting dalam kehidupan dan alam sangat berkepentingan dengan air. Didukung dengan kenyataan bahwa tiga perempat dari isi bumi yang kita huni adalah air.  

Islam menempatkan air bukan sekadar minuman bersih dan sehat yang dibutuhkan semua mahluk hidup (QS. Al Hijr [15]: 22). Lebih dari itu, air menjadi sumber dijadikannya segala sesuatu yang hidup (QS. Al-Anbiya [21]: 30).

Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf, memberikan pandangannya atas cara pandang antroposentris manusia melihat alam, dalam sebuah cara pandang yang disebut spiritual ekologi, yang saya kutip di sini: "Gagasan spiritual ekologi memposisikan agama sebagai kendaraan spiritual umat manusia dalam memandang alam, lingkungan hidup dalam perspektif spiritualitasnya. Artinya manusia tidak hanya melihat alam sebagai objek eksploitasi tapi juga harus bertanggung jawab memelihara serta merawat demi kemaslahatan bersama."

Spiritual ekologi pada dasarnya mengacu pada tiga prinsip. Pertama, produksi dan konsumsi secukupnya sesuai dengan kebutuhan manusia. Kedua, pembangunan harus mempertimbangkan keberlangsungan ekosistem alam (tumbuhan dan satwa). Ketiga, menyadari bahwa tugas manusia adalah menjaga keselarasan & keseimbangan ekosistem secara mutlak, karena posisi manusia sebagai khalifah fil 'ardl, yang akan diminta pertanggungjawaban atas segala tindakannya di dunia maupun akhirat  perlu kita gemakan semakin besar, hingga ke seluruh penjuru kalangan.

Tanggung Jawab LPBI NU untuk mengoptimalkan peran agama dalam mitigasi bencana dan perubahan iklim, termasuk krisis air sebagai sumber kehidupan. Melanjutkan gagasan Gus Yahya dalam forum Religion Twenty 2022 lalu. "Memanfaatkan kearifan ekologi spiritual yang tertanam dalam tradisi keagamaan dunia untuk memastikan lingkungan alam, termasuk unsur bumi, udara, dan air, dihormati dan dilestarikan." Komunike Religion Twenty point VI. Belum ada kata terlambat untuk memulai perubahan, mulai bergerak sekarang, hari ini, detik ini!

 
Berita Terpopuler