Barista Tuli Abel Cerita Kesulitan Mencari Kerja Bagi Disabilitas

Era digital memberi kemudahan kelompok disabilitas mencari info lowongan pekerjaan.

Republika/Putra M. Akbar
Barista Sunyi Coffee Abel berpose saat ditemui Republika di Kebayoran Baru, Jakarta, Selasa (1/8/2023). Sunyi Coffee mememberdayakan penyandang disabilitas untuk bekerja sebagai barista dan pramusaji.
Rep: Meiliza Laveda Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mencari pekerjaan bukan hal yang mudah. Apalagi, jika terlahir atau mengalami kondisi disabilitas. Seperti yang terjadi pada Abel (22 tahun) yang terlahir tuli.

Saat ini, Abel beruntung karena sudah bekerja barista full time ke Kafe Sunyi. Kafe yang terletak di kawasan Barito Jakarta Selatan tersebut memang hanya menerima staf dengan disabilitas.

Abel mengaku sangat senang bisa bekerja di Kafe Sunyi. Ia mengakui tidak mudah saat ini untuk mendapat pekerjaan bagi penyandang disabilitas.

"Senang banget karena teman-teman senior barista suka ngajarin aku bahasa isyarat dan bikin kopi. Jadi kerja kami satu tim bagus," kata Abel kepada Republika.co.id, beberapa waktu lalu.

Abel sebelumnya kesulitan mendapat kerja karena kondisinya yang tuli. Sebelum di Kafe Sunyi, dia pernah melamar di salah satu restoran cepat saji. Sayangnya, dia tidak mendapat kesempatan bekerja. Hingga suatu hari dia mendapat informasi lowongan kerja dari Instagram.

"Dapat informasi dari Instagram pekerjaan di Kafe Sunyi. Akhirnya tertarik untuk daftar. Belum ada pengalaman jadi barista. Jadi semuanya belajar di Sunyi," ucap dia.

Selain sebagai barista, Abel juga merupakan atlet bulu tangkis. Dia sudah berkecimpung dalam dunia bulu tangkis sejak usia 10 tahun. Kecintaannya pada bulu tangkis didukung penuh oleh keluarga, khususnya sang ayah yang juga mantan atlet bulu tangkis.

Dia berhasil meraih emas dalam beberapa pertandingan. Untuk saat ini, dia sedang mempersiapkan pertandingan pada September nanti. Dia menyelipkan waktu untuk latihan di tengah sibuknya rutinitas hariannya.

"Aku mengatur waktu antara kerja dan latihan. Kalau misalnya lagi off schedule, aku bisa langsung latihan. Biasanya, kalau masuk kerja siang latihannya pagi. Jadi setelah latihan pagi langsung kerja," kata dia.  

Masih ada mimpi yang Abel ingin raih, yaitu mengajar bulu tangkis untuk anak-anak dan orang dewasa. Sebenarnya, kegiatan itu sudah dia lakukan saat ini.

"Mau mengajak lebih banyak anak tuli untuk jadi atlet badminton. Biasanya aku juga melatih mereka. Ada juga orang dewasa yang mau belajar, aku bantu," ujarnya.




Baca Juga

Staf Khusus Presiden Angkie Yudistia yang berbincang dengan Abel khusus untuk program #SheSpeaks yang tayang di Instagram @AmeeraRepublika mengatakan kualitas sumber daya manusia (SDM) penyandang disabilitas semakin membaik. Khususnya generasi Z dan milenial. Dia melihat semangat hidup mereka untuk berkarya sangat tinggi.

“Apalagi sekarang era digitalisasi. Mereka bisa mendapat informasi dan pertemanan sebanyak-banyaknya. Kepercayaan diri mereka juga jauh meningkat,” kata Angkie kepada Republika.co.id, beberapa waktu lalu.

Meski begitu, Angkie melihat peningkatan kualitas SDM ini hanya terjadi di provinsi besar dan belum merata sampai kabupaten kecil. Menurut Angkie, penyandang disabilitas yang tinggal di kabupaten kecil masih berada di lingkungan masyarakat yang menganggap kondisi mereka adalah aib.

Untuk mendapat kesempatan bekerja juga masih sangat minim. Oleh karena itu, untuk mematahkan stigma yang melekat pada penyandang disabilitas dibutuhkan edukasi yang merata.

“Untuk mewujudkan literasi disabilitas memang harus dimulai sedini mungkin. Mulai dari lingkungan terdekat, minimal dari keluarga. Kalau sudah memahami inklusivitas disabilitas kita akan lebih menghargai dan empati sehingga tidak terjadi diskriminasi,” ujarnya.

Selain itu, peran pemerintah juga dibutuhkan. Angkie menjelaskan harus ada kebijakan dari pemerintah daerah (Pemda) untuk penyandang disabilitas sehingga kalau sudah ada bisa membuat program yang tepat sasaran.

Tak hanya Pemda, langkah ini juga harus berjalan secara dua arah. Baik Pemda maupun penyandang disabilitas juga harus sama-sama berjuang. Oleh karena itu, untuk menuju Indonesia inklusi membutuhkan peran semua pihak untuk bersinergi dan berkolaborasi bersama.

“Memang dibutuhkan partisipasi aktif semua pihak. Kalau kita melihat sinergi pentahelix itu semua pihak meyakinkan isu disabilitas penting. Saya percaya SDM penyandang disabilitas merupakan aset negara tinggal bagaimana membentuk mereka di lingkungan yang tepat,” ucap dia.

 
Berita Terpopuler