Kartosoewirjo, Darul Islam: Dari Desepsi PKI Hingga Intrusi Takfiri Syiah dan Wahabi (2)

Kisah perjalanan peminggiran Darul Islam dari pokitik sampai ekonomi

istimewa
Penangkapan Karto Soewirjo.
Red: Muhammad Subarkah

Oleh: DR Al Chaidar, pakar antropologi dan pengamat intelijen.

Baca Juga

Desepsi yang sering dilakukan oleh PKI pada tahun-tahun 1950-an dengan membakar rumah-rumah orang kampung di Jawa Barat dan Jawa Tengah, telah membuat pemerintahan polisionil Belanda salah dalam mengidentifikasi gerakan ini sebagai gerakan Tan Malaka.

NEFIS dan CMI (badan intelijen militer Belanda) bahkan kemudian merekayasa dengan membuat gerakan APRA dan Westerling yang bengis, yang hingga kini Pemerintah Belanda tak pernah mau mengakui cacat moral politik kekuasaan mereka pada masa lalu.

Gerakan Darul Islam ini kemudian dipakai secara curang untuk menunda Pemilu dari tahun 1951 hingga 1955, juga pada tahun 1970 oleh Orde Baru dipakai untuk memenangkan Golkar, menunda pemilu, dan menyukseskan Program Keluarga Berencana.

Namun, gerakan Darul Islam menolak untuk berpartisipasi dalam pembantaian terhadap PKI di tahun 1965-1966, bahkan sebaliknya mereka menyembunyikan beberapa ‘saudara komunis’ mereka ke hutan belantara, tempat Darul Islam pernah sangat mengenal setiap jengkal tapak jalannya. 

Lanjutkan baca pada halaman berikutnya..

 

 

 

 

Perkembangan gerakan Darul Islam ini semakin hari semakin mendapatkan intrusi dari berbagai pengaruh ideologi yang datang belakangan di Indonesia, khususnya Wahabi Takfiri, Wahabi Jihadi, dan Syiah. Sejak tahun 1979, Darul Islam adalah gerakan yang tidak percaya diri dan sering terombang-ambing oleh pengaruh ideologi transnasional dari Timur Tengah.

Namun dari semua intrusi itu, terdapat komunitas-komunitas (enclave) yang masih menjaga kemurnian idealismenya secara teguh dan tersembunyi. Merekalah yang melanjutkan kapal negara Islam ini dalam sekoci-sekoci kecil secara faksional. Faksi-faksi inilah yang kemudian mulai membangkitkan lagi elan vital Darul Islam ke seluruh Indonesia atau merevitalisasi daerah basis yang sempat kehilangan audiensnya di wilayah-wilayah, seperti Aceh, Jawa Barat, Padang, Bukit Tinggi, Labuhan Batu, Riau, Jambi, Palembang, Lampung, Menado, Toraja, Kendari, Buton, Flores, dan Tual.

Namun, karena intrusi dari Wahabi Takfiri banyak faksi-faksi Darul Islam ini yang kemudian terjerembap dalam terorisme dan mengubah perjuangan yang lurus (just) menjadi pergerakan yang penuh intrik, penuh rahasia, operasi-operasi bawah tanah dan bersembunyi di kegelapan peradaban, yang mengakibatkan Darul Islam semakin kehilangan audiensnya dalam upayanya mengakumulasi kedaulatan (sovereignty).

Intrusi Syiah tahun 1979 hingga era 1980-an telah begitu memecah gerakan ini dan pembunuhan serta bom meledak di beberapa kota; korban-korban berjatuhan bersamaan dengan ditangkapnya beberapa tokoh aktivisnya.

Kemudian datang intrusi lain dari ideologi Wahabi. Syiah dan Wahabi sama-sama bersifat Takfiri yang bersikap keras terhadap sesama Muslim yang tak sejalan, meskipun sama-sama membaca syahadat yang sama dan menghadap ke kiblat yang sama.

Gerakan milenarian yang aslinya adalah gerakan Islam yang sangat Indonesia, kemudian menjadi gerakan yang tampak seram dan menakutkan, tetapi loyo ketika berhadapan dengan siksaan ekonomi setelah tertangkap oleh aparat keamanan karena terjerembap ke lembah terorisme yang sangat nista.

Beberapa bom meledak, beberapa anggota sekte Jamaah Islamiyah merayakan perpindahan nyawa mereka ke surga; dan yakin bahwa mereka masuk ke surga dan “melihat” para pengebom bunuh diri itu sedang diseka oleh bidadari yang selalu virgin. 

Lanjutkan baca pada halaman berikutnya..

 

 

 

 

 

Beberapa faksi asli Darul Islam mengembangkan sikap milenarian dengan respons-respons mesianik yang menarik ketika berhadapan dengan komunitas harakah (pergerakan) yang lain, yang mengeklaim diri lebih lurus dan lebih sesuai dengan ajaran Islam dan berasal dari ideologi transnasional di Timur Tengah.

NII atau Darul Islam yang masih bertahan hingga kini mendapatkan serangan-serangan teologis yang serius dari kalangan Wahabi Salafi dan SyiahDi sisi lain, banyak ilmuwan tak berkeinginan melihat klaim-klaim historis kalangan Darul Islam karena alasan-alasan etik dan positivistik, bukan melihat keyakinan mereka secara emic. 

Maka itu, dakwah dan propaganda Darul Islam terestriksi oleh berbagai stigma yang mengakibatkan mereka tidak mendapatkan audiens yang lebih luas. Apalagi, mereka mengelola organisasi negara secara amatiran: ada yang secara seremonial, ada yang secara eklesiastikal, dan lebih parah lagi ada yang secara pseudobirokratik.

Akibatnya, dalam gerakan ini tidak pernah seorang pun yang memiliki keahlian managerial dan teknikal yang secara ekspresif-pragmatik mengurus organisasi negara yang pernah besar pada tahun-tahun 1950-an ini. Kini malah sebagian besar faksi Darul Islam saling mengeklaim secara inward-looking, semacam involusi yang menyebabkan mereka tidak pernah berkembang.

 

 

 

 

 

 
Berita Terpopuler