JPPI Ungkap Aturan Pusat yang Jadi Sumber Kekisruhan PPDB

Aturan PPDB dari pusat dijadikan acuan dan ditafsirkan secara beragam oleh pemda.

Republika/Wilda Fizriyani 
Sejumlah orang tua/wali murid melaksanakan aksi simbolik di depan Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Malang, Jumat (23/6/2023). Kegiatan ini ditunjukkan untuk menyampaikan keluhan atas hasil PPDB tingkat SMP. 
Rep: Ronggo Astungkoro, Dessy Suciati Saputri Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengatakan, ada sejumlah titik kesalahan sistemik yang menyebabkan ricuh Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di berbagai daerah, yang secara jelas dipicu oleh kebijakan di level pusat. Salah satu sumber kegaduhan PPDB adalah Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 yang dijadikan acuan daerah dan ditafsirkan secara beragam oleh pemda-pemda.

Baca Juga

“Dampaknya, sistem PPDB menuai protes di berbagai tempat dengan ragam kegaduhan yang berbeda-beda. Misalnya, protes karena seleksi berdasarkan usia, ketidakjelasan parameter jalur prestasi, dan juga banyak ditemukan manipulasi di jalur zonasi dan afirmasi,” kata Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, kepada Republika, Jumat (14/7/2023).

Jadi, jelas Ubaid, regulasi itu melahirkan peraturan turunan di daerah-daerah, yang satu sama lain saling bertabrakan. Itu membuat masyarakat menjadi bingung, lalu terjadilah gaduh.

Jika hanya ada satu atau dua daerah yang gaduh, maka bisa jadi daerah tersebut yang salah tafsir. Tetapi, ketika ricuh itu terjadi di banyak daerah, berarti acuan Permendikbud-nya yang bermasalah. 

Kemudian, kesalahan sistemik kedua adalah pelaksanaan PPDB tidak pernah diaudit, terlebih untuk melihat sudah atau belumnya kebijakan itu memenuhi nilai berkeadilan. Dia menjelaskan, Permendikbud tentang PPDB terakhir diterbitkan tahun 2021. Tapi, hingga kini belum juga direvisi. Padahal kebijakan itu dia sebut jelas memakan banyak korban karena ketidakadilan yang sistemik.

“Kemendikbudristek malah mengklaim secara sepihak, bahwa sistem ini adalah sistem terbaik dan untuk pemerataan akses dan mutu. Tapi apa yang terjadi? Sejak diberlakukan tahun 2017 hingga kini 2023, pemerataan akses dan mutu itu masih jadi mimpi bersama, belum nyata adanya,” kata Ubaid.

Menurut dia, dari sisi akses, mayoritas anak tak dapat jatah bangku di sekolah negeri. Soal mutu, juga masih terjadi kesenjangan. Tahun ini, pendaftar PPDB masih saja numpuk di sekolah-sekolah unggulan dan favorit. Bahkan, kini pemerataan kualitas pendidikan kian rancu dengan adanya label sekolah penggerak. Kehadiran sekolah dengan label ‘sekolah penggerak’ itu menjadi favoritisme atau stigma unggulan baru.  

Kesalahan sistemik berikutnya yang JPPI lihat adalah kesesatan paradigma dalam sistem PPDB. Ubaid menerangkan, sistem PPDB yang dicetuskan Kemendikbudristek belum mampu menjamin semua anak dapat mendapatkan haknya untuk bisa memperoleh pendidikan yang berkualitas. Padahal itu adalah amanah konsitusi, yakni UUD 1945 pasal 31 dan UU Sisdiknas pasal 34.

“Jadi, perspektif yang benar adalah, sistem PPDB harus mampu memberikan kepastian dan jaminan layanan pendidikan yang berkeadilan bagi semua, tanpa diskriminatif. ‘Sistem seleksi’ dalam Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 dengan sendirinya akan menganulir dan mendiskriminasi mayoritas anak Indonesia untuk mendapat layanan pendidikan yang berkeadilan. Jadi, selama ‘sistem seleksi’ ini diberlakukan, tentu praktik diskriminatif ini kian subur,” jelas dia.

Untuk perbaikan ke depan, JPPI memberikan beberapa rekomendasi. Pertama, Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 harus direvisi dan diganti dengan aturan baru yang jelas dan berkeadilan. Aturan itu harus bisa langsung diterapkan tanpa harus menunggu pemerintah daerah membuat aturan turunan yang malah membingungkan dan menimbulkan diskriminasi di daerah-daerah.

Kedua, untuk memastikan semua anak kebagian jatah kursi di sekolah, Permendikbud tentang PPDB yang baru nantinya sebagai acuan utama harus mewajibakan semua pemda untuk melibatkan sekolah swasta saat PPDB, di tingkat SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA. Hal itu dia sebut penting karena kuota kursi di negeri sangat minim. Kuota kursi yang disediakan pemerintah saat PPDB, harus sebanding dengan jumlah kebutuhan. 

“Lalu, jangan lagi menggunakan ‘sistem seleksi’ dalam aturan PPDB yang baru. Gunakan sistem yang berkeadilan yang memastikan ‘no one left behind’ dalam pemenuhan hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas,” terang Ubaid.

Baca juga : DPRD Kota Bogor Telusuri Adminduk Terkait PPDB, Ini Temuannya

Berikutnya, pemerintah pusat dan daerah harus bertanggung jawab terhadap pemenuhan layanan pendidikan yang berkualitas, termasuk di dalamnya adalah skema penuh, bukan subsidi, pembiayaan pendidikan, baik bagi anak-anak yang sekolah di negeri maupun di swasta. Jadi, semua bisa sekolah dengan bebas biaya, baik di negeri maupun di swasta. 

“Sistem zonasi bisa terus diterapkan, tapi harus dibarengi dengan pemerataan kualitas sekolah, baik di swasta dan negeri, tanpa harus melalui sistem seleksi. Jadi, semua anak akan dapat jatah sekolah yang berkualitas dan bebas biaya di dekat rumah,” kata Ubaid.

 

 

In Picture: Terdampak Zonasi, Sekolah Ini Hanya Terima Dua Murid Baru

 

 

Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi X DPR pada Rabu (12/7/2023), pihak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) memaparkan temuan masih lemahnya sosialisasi dan pengawasan di tingkat daerah. Karena itu, Kemendikbudristek mengimbau dinas-dinas pendidikan untuk melakukan sosialisasi dan pengawasan secara masif untuk memastikan prinsip pelaksanaan PPDB berjalan dengan baik.

“Kami meminta sebelum penyelenggaraan PPDB tingkat SMP, SD harus memberikan sosialisasi kepada orangtua murid kelas 6. Lalu, sebelum penyelenggaraan PPDB SMA, ada sosialisasi yang diberikan SMP untuk orangtua murid dan peserta didik kelas 9 di sekolah sebelumnya (SMP) sehingga mereka dapat pencerahan. Kami meminta disdik untuk menjalankan fungsi ini,” ujar Inspektur Jenderal Kemendikbudristek, Chatarina Muliana Girsang, dalam rapat dengan Komisi X DPR RI di Jakarta, Kamis (13/7/2023).

Masih dalam rapat yang sama, Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek, Suharti, mengapresiasi pemda yang telah mengupayakan proses PPDB yang semakin baik dari waktu ke waktu. Menurutnya, pemda diberi kewenangan untuk memformulasikan kebijakan teknis yang relevan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan wilayahnya. 

“Persentase pada setiap jalur bisa disesuaikan bahkan pemda diberi keleluasaan untuk menentukan batas zonasi. Contohnya untuk wilayah Jakarta yang tidak menggunakan jarak fisik namun berdasarkan wilayah administratif yakni dibuat zonasi level/ring berdasarkan RT/RW yang terdekat dengan sekolah. Lalu, untuk jalur prestasi di Jakarta diatur sampai maksimal 23 persen,” kata dia.

Menurut dia, Kemendikbudristek bersama dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)/Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (KemenPPN) menyusun Standar Pelayanan Minimum yang merujuk pada Rapor Pendidikan. Hal tersebut menjadi acuan bagi dinas pendidikan dan satuan pendidikan dalam menyusun kebijakan termasuk PPDB.

“Mudah-mudahan dengan langkah ini pemda terus terdorong untuk memastikan pemerataan akses pendidikan yang berkualitas merujuk pada perencanaan berbasis data,” jelas Suharti.

Merespons Kemendikbudristek, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf, mengatakan, Kemendikbudristek semestinya sudah mempunyai hasil evaluasi dari pelaksanaan PPDB zonasi selama lima tahun terakhir. Menurut Dede, hingga semakin banyak keluhan dan banyak pula kasus penyimpangan dalam proses PPDB.

“Ini sepertinya ada masalah terhadap kebijakan ini. Saya khawatirnya, ketika beberapa kepala daerah sudah mengatakan terjadi penyimpangan, maka APH (aparat penegak hukum) masuk. Kalau APH masuk, berapa banyak orang tua siswa, guru, harus berurusan dengan APH hanya karena anaknya ingin sekolah. Ini nggak benar. Menurut saya yang paling baik saat ini adalah evaluasi kembali kebijakan ini,” jelas Dede.

Jika perlu, kata dia, Kemendikbudristek membentuk regulasi baru untuk membenahi PPDB. Menurut Dede, Kemendikbudristek tak perlu takut untuk mengubah kebijakan PPDB karena konsep yang digunakan pada 2017 bisa saja berubah pada 2023 sehingga memerlukan perubahan. Dia mengatakan, kebijakan yang sudah dinilai tidak layak boleh saja diganti dengan kebijakan yang lebih baik.

Nggak usah takut untuk mengubah PPDB. Karena PPDB ini kan sebenarnya adalah sebuah konsep pada era 2017. 2023 mestinya konsep tersebut boleh berubah. Artinya ketika kebijakan itu sudah tidak layak lagi, boleh kita ganti. Saya usul saja, daripada kita mengubah yang ada tapi nanti besok ketemu lagi. tolong Kemendikbudristek membuat sebuah konsep baru untuk dilakukan di 2024,” terang dia.

 

 

Berbicara secara terpisah, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy meminta pemda segera menyusun pertaruran daerah untuk menegakkan aturan PPDB. Muhadjir juga meminta aparat di daerah menindak tegas praktik kecurangan yang terjadi dalam proses PPDB.

"(Pemda) harus segera menyusun perda yang menegakkan peraturan sehingga kalau ada kecurangan-kecurangan betul-betul ada penindakan yang jelas. Kenapa, karena pendidikan itu sudah urusan konkuren bukan urusan absolut, wewenangnya di tangan pemerintah daerah," kata Muhadjir di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (13/7/2023).

Menurut Muhadjir, jika kecurangan yang terjadi terus menerus dibiarkan, apalagi dilakukan oleh para pejabat, kondisi ini akan semakin parah nantinya. Selain itu, Muhadjir meminta pemerintah daerah segera melakukan program pemerataan sekolah.

Sebab, kata dia, tujuan dari penerapan zonasi dilakukan untuk menciptakan pemerataan pendidikan agar tak ada lagi sekolah favorit di suatu daerah. Muhadjir menjelaskan, sistem zonasi masih harus tetap diberlakukan untuk mencegah terjadinya kastanisasi sekolah dan mengurangi kecurangan yang dulunya lebih parah dibandingkan yang terjadi saat ini.

"Sehingga seorang itu tidak harus kemudian melakukan kecurangan karena masih terpersepsi ada sekolah favorit itu," ungkapnya.

Pemerintah daerah pun juga dimintanya agar segera melakukan evaluasi internal untuk memastikan program pemerataan kualitas pendidikan sudah berjalan.

"Karena (kecurangan) juga tidak semua daerah kan ini? Ini beberapa daerah saja yang kasus ini mencuat. Contohnya DKI setahu saya sekarang ini justru sudah sangat bagus karena saya tahu intervensi di dalam kerangka pemerataan kualitas pendidikan di DKI sangat bagus, bukan hanya negeri yang diperhatikan termasuk bantuan untuk swasta," ujar Muhadjir.

Untuk mengawasi pelaksanaan PPDB, Muhadjir menilai perlunya dibentuk satuan tugas PPDB di masing-masing daerah. Untuk pendidikan tingkat SMA dan SMK menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi. Sedangkan untuk tingkat SD dan SMP menjadi tanggung jawab kabupaten/kota.

"Kan sudah ada itu dalam undang-undang. Jadi jangan menimpakan kesalahan di tingkat pemerintah pusat, itu sudah terdelegasikan tanggung jawabnya itu ke pemerintah provinsi dan daerah, terutama untuk pemerataan kualitas pendidikan ini," kata Muhadjir.

 

Sengkarut PPDB Zonasi - (infografis Republika)

 
Berita Terpopuler