Pemerintah dan DPR Sepakat Evaluasi PPDB

PPDB layak dievaluasi karena dinilai tak kunjung mencapai tujuannya sejak 2017.

Antara/Iggoy el Fitra
Tiga murid mengikuti kegiatan belajar di SDN 23 Lolong Padang, Sumatera Barat, Kamis (13/7/2023). Awal tahun ajaran baru, murid kelas 1 di sekolah tersebut hanya berjumlah tiga orang, meliputi dua murid baru dan satu murid tinggal kelas, akibat adanya kebijakan sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) karena di sana terdapat SDN lain yang berdekatan dan lokasi sekolah yang dekat dengan pantai.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkoro

Baca Juga

Berdasarkan evaluasi hasil pemantauan penyelenggaraan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) ditemukan proses PPDB masih lemah sosialisasi dan pengawasan di tingkat daerah. Karena itu, Kemendikbudristek mengimbau dinas-dinas pendidikan untuk melakukan sosialisasi dan pengawasan secara masif untuk memastikan prinsip pelaksanaan PPDB berjalan dengan baik.

“Kami meminta sebelum penyelenggaraan PPDB tingkat SMP, SD harus memberikan sosialisasi kepada orangtua murid kelas 6. Lalu, sebelum penyelenggaraan PPDB SMA, ada sosialisasi yang diberikan SMP untuk orangtua murid dan peserta didik kelas 9 di sekolah sebelumnya (SMP) sehingga mereka dapat pencerahan. Kami meminta disdik untuk menjalankan fungsi ini,” ujar Inspektur Jenderal Kemendikbudristek, Chatarina Muliana Girsang, dalam rapat dengan Komisi X DPR RI di Jakarta, Rabu (12/7/2023).

Chatarina menyampaikan, Kemendikbudristek sudah mengeluarkan empat produk hukum untuk mengatasi berbagai masalah di daerah terkait PPDB pada jenjang Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), atau bentuk lain yang sederajat. Keempat produk hukum itu, yakni Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017, Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018, Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019, dan Permendikbudristek Nomor 1 Tahun 2021. 

Masih dalam rapat yang sama, Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek, Suharti, mengapresiasi pemerintah daerah (pemda) yang telah mengupayakan proses PPDB yang semakin baik dari waktu ke waktu. Dia menerangkan pengalamannya dalam turut mengawal kebijakan dan pengawasan PPDB di wilayah DKI Jakarta beberapa tahun lalu. Menurutnya, pemda diberi kewenangan untuk memformulasikan kebijakan teknis yang relevan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan wilayahnya. 

“Persentase pada setiap jalur bisa disesuaikan bahkan pemda diberi keleluasaan untuk menentukan batas zonasi. Contohnya untuk wilayah Jakarta yang tidak menggunakan jarak fisik namun berdasarkan wilayah administratif yakni dibuat zonasi level/ring berdasarkan RT/RW yang terdekat dengan sekolah. Lalu, untuk jalur prestasi di Jakarta diatur sampai maksimal 23 persen,” kata dia.

Menurut dia, Kemendikbudristek bersama dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)/Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (KemenPPN) menyusun Standar Pelayanan Minimum yang merujuk pada Rapor Pendidikan. Hal tersebut menjadi acuan bagi dinas pendidikan dan satuan pendidikan dalam menyusun kebijakan termasuk PPDB.

“Mudah-mudahan dengan langkah ini pemda terus terdorong untuk memastikan pemerataan akses pendidikan yang berkualitas merujuk pada perencanaan berbasis data,” jelas Suharti.

Dalam paparannya, Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Dasar, dan Menengah (PDM), Iwan Syahril, menerangkan beberapa tujuan kebijakan PPDB. Di mana, pertama adalah untuk memberikan kesempatan yang adil bagi seluruh peserta didik untuk mendapatkan layanan pendidikan berkualitas dari pemerintah yang dekat dengan domisilinya. Kedua, mengurangi diskriminasi dan ketidakadilan terhadap akses dan layanan pendidikan untuk peserta didik dari keluarga ekonomi tidak mampu dan penyandang disabilitas.

Kemudian yang ketiga, menemukan lebih dini anak putus sekolah agar kembali bersekolah agar terwujud wajib belajar 12 tahun. Keempat adalah mengoptimalkan keterlibatan dan partisipasi orangtua dan masyarakat dalam proses pembelajaran. Kemudian berikutnya membantu pemda melakukan perencanaan dan intervensi pemerataan akses dan kualitas satuan pendidikan. 

“Prinsip pelaksanaan PPDB dilakukan tanpa diskriminasi, kecuali bagi sekolah yang secara khusus dirancang untuk melayani peserta didik dari kelompok gender atau agama tertentu,” tutur Iwan. 

 

 

Masukan dari DPR

Seusai pemaparan dari ketiga pejabat dari Kemendikbudristek, giliran para legislator yang memberikan pandangan terhadap pelaksanaan dan kebijakan PPDB. Beberapa anggota DPR menyampaikan temuan-temuan yang mereka dapatkan di daerah pemilihannya masing-masing.

Pandangan secara umum disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi X DPR, Abdul Fikri Faqih, yang menilai kebijakan PPDB zonasi yang tak kunjung mencapai tujuan awalnya pada 2017 lalu layak untuk dievaluasi.

“Menurut saya evaluasi total sistem zonasi ini. Karena berarti tujuan utamanya untuk menghilangkan sekolah favorit dan pemerataan pendidikan belum berhasil. Paling tidak sampai sekarang,” ujar Fikri.

Dia menjelaskan, sistem zonasi salah satunya ditujukan untuk menghilangkan ketimpangan kualitas pendidikan melalui penghapusan status sekolah-sekolah negeri favorit. Tapi, kata dia, ternyata masih ada saja yang berlomba untuk mendapatkan sekolah-sekolah tertentu dengan berbagai macam cara yang tidak sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan.  

“Kalau masih ada yang berlomba mendapatkan sekolah-sekolah ini dengan berbagai macam cara, surat keterangan palsu atau apa gitu, berarti masih ada favorit dong? Artinya sistem ini tidak berhasil. Layak untuk dievaluasi kalau sistem zonasi ini seperti itu,” jelas dia.

Seharusnya, kata Fikri, perkembangan dari tujuan awal PPDB zonasi diberlakukan sudah terlihat saat ini, yang kurang lebih sudah lima tahun berjalan sejak 2017. Persoalan-persoalan klasik seperti pejabat membuat rekomendasi agar seorang anak dapat bersekolah di sekolah tertentu, pungutan liar hingga jutaan rupiah, dan lain sebagainya membuktikan masih adanya sekolah favorit. 

“Mestinya ada progres. Misalnya yang tadinya diincar cuma satu, selanjutnya yang diincar ada tiga atau lima. Ada perubahan begitu,” tutur politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.

Hampir senada dengan Fikri, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf, mengatakan, Kemendikbudristek semestinya sudah mempunyai hasil evaluasi dari pelaksanaan PPDB zonasi selama lima tahun terakhir apakah semua sudah berjalan baik atau masih ada persoalan-persoalan. Berdasarkan rapat-rapat di DPR terkait PPDB, kata Dede, yang ada justru semakin banyak keluhan terkait hal tersebut. Bahkan semakin banyak pula kasus penyimpangan dalam proses PPDB.

“Ini sepertinya ada masalah terhadap kebijakan ini. Saya khawatirnya, ketika beberapa kepala daerah sudah mengatakan terjadi penyimpangan, maka APH (aparat penegak hukum) masuk. Kalau APH masuk, berapa banyak orang tua siswa, guru, harus berurusan dengan APH hanya karena anaknya ingin sekolah. Ini nggak benar. Menurut saya yang paling baik saat ini adalah evaluasi kembali kebijakan ini,” jelas Dede. 

Jika perlu, kata dia, Kemendikbudristek membentuk regulasi baru untuk membenahi PPDB. Menurut Dede, Kemendikbudristek tak perlu takut untuk mengubah kebijakan PPDB karena konsep yang digunakan pada 2017 bisa saja berubah pada 2023 sehingga memerlukan perubahan. Dia mengatakan, kebijakan yang sudah dinilai tidak layak boleh saja diganti dengan kebijakan yang lebih baik.

Nggak usah takut untuk mengubah PPDB. Karena PPDB ini kan sebenarnya adalah sebuah konsep pada era 2017. 2023 mestinya konsep tersebut boleh berubah. Artinya ketika kebijakan itu sudah tidak layak lagi, boleh kita ganti. Saya usul saja, daripada kita mengubah yang ada tapi nanti besok ketemu lagi. tolong Kemendikbudristek membuat sebuah konsep baru untuk dilakukan di 2024,” terang dia.

Ada beberapa hal yang disepakati dan akan ditindaklanjuti Kemendikbudristek dalam rapat dengar pendapat atau RDP itu. Pertama, mengevaluasi regulasi untuk mengatasi kecurangan administrasi.

Kedua, menjalin komunikasi efektif dengan komunitas di berbagai daerah untuk memaksimalkan sosialisasi kebijakan. Ketiga, mengoptimalkan pemanfaatan Rapor Pendidikan dalam menyusun rencana kebijakan di daerah. Keempat, melakukan pengawasan yang lebih ketat untuk mengatasi permasalahan di lapangan. Kelima, membentuk satgas di tingkat pemda. 

 

Menyiapkan bekal makan untuk anak sekolah. - (Republika.co.id)

 

 

 

 

 
Berita Terpopuler