Penelitian Terbaru Soroti Keterbatasan Indeks Massa Tubuh dalam Memprediksi Kematian

Indeks massa tubuh telah lama menjadi metrik medis standar.

shutterstock.com
Pria mengukur lingkar pinggangnya (ilustrasi). Indeks massa tubuh dihitung dengan membagi berat badan seseorang dengan kuadrat tinggi badannya.
Rep: Gumanti Awaliyah Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Orang yang masuk pada klasifikasi berat badan berlebih dilaporkan tidak memiliki risiko kematian yang lebih tinggi. Hal ini didasarkan pada studi terbaru yang menyoroti keterbatasan indeks massa tubuh (BMI) yang telah lama menjadi metrik medis standar.

Temuan yang diterbitkan dalam jurnal PLOS ONE itu muncul ketika populasi di banyak negara mengalami kenaikan berat badan. Di Amerika Serikat, lebih dari 70 persen orang dewasa didefinisikan sebagai kelebihan berat badan dan obesitas.

BMI, yang pertama kali dijelaskan oleh seorang ahli matematika Belgia pada abad ke-19, dihitung dengan membagi berat badan seseorang dengan kuadrat tinggi badannya. Hal ini semakin dilihat sebagai instrumen kasar untuk mengukur kesehatan individu.

“Saya pikir hal nyata yang harus dipahami orang dari hal ini adalah bahwa BMI itu sendiri bukanlah indikator kesehatan yang baik," kata Aayush Visaria selaku penulis utama studi dari Rutgers University, seperti dikutip dari Malay Mail, Kamis (13/7/2023).          

Menurut Visaria, mengukur lingkar pinggang atau melakukan pemindaian yang memvisualisasikan kepadatan tulang, lemak tubuh, dan massa otot juga harus digunakan untuk interpretasi yang lebih holistik. Memiliki lemak berlebih masih meningkatkan risiko untuk berbagai kondisi termasuk penyakit jantung, strok, dan diabetes.

"Saya telah melihat pasien dengan BMI yang sama persis, tetapi dengan implikasi metabolisme dan kesehatan yang sangat berbeda. Jadi saya ingin menyelidiki hal ini lebih lanjut," jelas Visaria.

Penelitian terdahulu mengenai hubungan antara berat badan dan tingkat kematian menunjukkan hasil yang tidak konsisten dan tidak pasti. Sebagian besar hanya berfokus pada orang dewasa kulit putih non-Hispanik.

Dalam penelitian terbaru ini, Visaria dan rekan penulisnya, Soko Setoguchi, menggunakan data lebih dari 550 ribu orang dewasa Amerika dari Survei Wawancara Kesehatan Nasional 1999-2018 dan Indeks Kematian Nasional Amerika Serikat tahun 2019.

Mereka menghitung BMI berdasarkan tinggi dan berat badan yang dilaporkan sendiri oleh para peserta, dan mengumpulkan data tentang demografi, faktor sosial-perilaku seperti merokok dan aktivitas fisik, kondisi kesehatan yang mendasari, dan akses ke layanan kesehatan. Lebih dari 75 ribu orang yang diikutsertakan dalam penelitian ini meninggal dunia selama periode penelitian.

Baca Juga

Setelah disesuaikan dengan variabel lain, hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan BMI antara 25 hingga 30 tidak memiliki peningkatan risiko kematian dibandingkan dengan orang yang memiliki BMI antara 22,5 dan 24,9. BMI antara 25-30 diklasifikasikan sebagai kelebihan berat badan.

Namun, risiko kematian meningkat tajam di antara orang-orang yang memiliki BMI di bawah 20 dan mereka yang memiliki BMI lebih besar atau sama dengan 30. BMI lebih besar atau sama dengan 30 didefinisikan sebagai obesitas.

Usia rata-rata peserta adalah 46 tahun. Setengahnya adalah perempuan, dan 69 persennya berkulit putih non-Hispanik. Dari mereka yang termasuk, 35 persen memiliki BMI antara 25 dan 30, dan 27,2 persen memiliki BMI di atas atau sama dengan 30.

"Ini adalah penelitian besar dengan sampel representatif yang bagus. Para penulis, sejauh yang saya lihat, telah melakukan pekerjaan yang baik dalam menganalisis hubungan kematian dengan status berat badan awal," kata George Savva, seorang ahli biostatistik di Quadram Institute Inggris yang tidak terlibat dalam penelitian.

Savva menyebut, mungkin saja penyakit yang terkait dengan berat badan yang lebih tinggi dikelola dengan lebih baik daripada sebelumnya, misalnya tekanan darah tinggi dan kolesterol tinggi.

 
Berita Terpopuler