Nasib Monarki Thailand Berada di Pertarungan Kursi Perdana Menteri Baru

Raja selama beberapa dekade dianggap sebagai sosok yang sempurna, hampir seperti dewa

EPA-EFE/NARONG SANGNAK
Raja Thailand Maha Vajiralongkorn Bodindradebayavarangkun (tengah) dan Ratu Thailand Suthida (kanan) menyambut para pendukung di luar Istana Agung.
Rep: Amri Amrullah Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Keberadaan hak khusus bagi keluarga monarki di Thailand menjadi inti dari kebuntuan politik yang membayangi pemerintahan negeri gajah putih, setelah pelaksanaan pemilu 14 Mei 2023 lalu. Kemenangan kelompok reformis, partai progresif Move Forward tak sekedar ingin melepaskan cengkraman junta militer, namun juga tuntutan mengamandemen hukum lese majeste, yang akan mengubah nasib monarki Thailand ke depan.

Baca Juga

Kondisi ini membuat kelompok progresif Move Forward yang dipimpin oleh Pita Limjaroenrat menghadapi jalan yang tidak pasti menuju pemerintahan. Meskipun meraih kemenangan yang mengejutkan bersama sekutu-sekutunya, namun tanpa ada kompromi politik dengan kekuatan partai lain, Pita justru akan menjerumuskan Thailand ke dalam krisis politik berkepanjangan.

Alasan utamanya adalah bagian dari platform politik Move Forward yakni proposal yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya untuk mengamandemen hukum lese majeste Thailand. Di mana Pasal 112 dari hukum pidana yang akan menghukum penghinaan terhadap kerajaan dihukum hingga 15 tahun penjara, diminta untuk ditiadakan.

Suasana ini akan mengganggu stabilitas keamanan, khususnya bagi sebuah negara di mana penghormatan kepada raja selama ratusan tahun telah dijaga sebagai pusat identitas nasional. Gagasan amandemen tersebut sangat radikal, sehingga partai-partai minoritas dan banyak anggota Senat yang akan ditunjuk telah bersumpah akan menghalangi Pita menjadi perdana menteri.

"Amandemen yang diusulkan tidak sopan dan menyinggung kerajaan," kata Senator Seri Suwanpanon kepada Reuters, dilansir Selasa (11/7/2023).

Militer selama beberapa dekade telah melaksanakan tugasnya untuk membela kehormatan monarki, dengan membenarkan intervensi dalam politik, dan menggunakan hukum lese majeste untuk membungkam perbedaan pendapat, kata para kritikus.

Di parlemen, sebuah potret raksasa Raja Maha Vajiralongkorn menggantung di ruang sidang di mana para anggota parlemen akan memilih perdana menteri pada Kamis 13 Juli mendatang. Namun, pertarungan mengenai siapa yang akan mendapatkan posisi jabatan tersebut terus menemui kebuntuan, terutama setelah berminggu-minggu pemilu digelar dua bulan lalu.

Hal ini juga berkat suara dari Senat yang terdiri dari 250 kursi, yang ditunjuk oleh junta, terbukti dapat menghalangi aliansi progresif. Dimana partai Move Forward sebagai pemenang pemilu tak bisa memenangkan pemungutan suara gabungan dari kedua majelis senat tersebut.

Sistem ini ditetapkan dalam konstitusi yang disusun setelah kudeta tahun 2014 yang dipimpin oleh panglima angkatan darat Prayuth Chan-ocha, perdana menteri yang partainya kalah telak pada pemilu bulan Mei lalu. Banyak hal bergantung pada apakah sekutu utama Move Forward, pemenang tempat kedua Pheu Thai, akan tetap bertahan atau mencari mitra koalisi lain jika tawaran Pita terlihat gagal.

Sementara itu, Raja Thailand Maha Vajiralongkorn, 70 tahun, yang tidak memiliki peran dalam memilih pemerintahan, tetap bungkam mengenai isu amandemen hukum lese majeste sejak pemilu. Istana Kerajaan tidak menanggapi permintaan komentar.

 

Perubahan besar-besaran

Amandemen yang diusulkan Move Forward mencerminkan perubahan budaya yang dalam beberapa tahun terakhir melanda Thailand. Di mana raja selama beberapa dekade dianggap sebagai sosok yang sempurna, hampir seperti dewa.

Di masyarakat Thailand, banyak hal yang tetap sama. Potret raja digantung di jalan-jalan dan bangunan kota. Berita Kerajaan setiap malam menyiarkan hal perbuatan baik yang dilakukan keluarga kerajaan.

Namun perubahan yang tidak kentara terlihat jelas. Di bioskop, banyak yang tidak lagi menyanyikan lagu kebangsaan kerajaan setiap sebelum film akan diputar. Meme satir bermunculan di media sosial, sindiran terhadap Raja Thailand sekarang, sebelum akhirnya pemerintah memerintahkan untuk menghapusnya.

Namun, perubahan terbesar adalah perubahan politik. Pada pemilu terakhir di tahun 2019, tidak ada partai yang berani mengusulkan untuk mengubah undang-undang lese majeste.

Namun, Move Forward tidak hanya berani, tetapi juga memenangkan kursi terbanyak pada bulan Mei lalu, meskipun amandemen tersebut hanya merupakan salah satu poin dari platform progresif-nya.

Pergeseran ini muncul dengan demonstrasi yang dipimpin oleh mahasiswa pada tahun 2020 yang dimulai sebagai protes terhadap kekuasaan militer. Pada akhirnya protes ini berkembang menjadi kritik terhadap apa yang disebut oleh para pengunjuk rasa sebagai hubungan antara militer dan istana, dan akhirnya menjadi kritik terhadap raja.

Para politisi tidak memimpin protes, tetapi Move Forward menyerukan reformasi hukum lese majeste, ketika para aktivis mulai didakwa di bawah hukum tersebut. Sekitar 250 dari 1.900 penuntutan yang terkait dengan protes tahun 2020 berada di bawah Pasal 112, menurut kelompok Pengacara Hak Asasi Manusia Thailand.

Penuntutan terhadap begitu banyak orang yang dijerat di bawah undang-undang tersebut mendorong isu ini menjadi wacana utama, kata para analis. "Kita sekarang dapat melihat garis kesalahan yang sebenarnya dalam politik adalah peran monarki dalam tatanan politik Thailand," kata Thitinan Pongsudhirak, seorang analis politik di Universitas Chulalongkorn di Bangkok.

 

 
Berita Terpopuler