RUU Kesehatan Sah Jadi UU, Terima Kasih Menkes ke DPR, dan Respons Jokowi

Hanya dua fraksi di DPR yang menolak pengesahan RUU Kesehatan yakni Demokrat dan PKS.

Republika/Prayogi
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin bersiap mengikuti Rapat Paripurna ke-29 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2022-2023 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/7/2023). Dalam Rapat Paripurna tersebut DPR resmi mengesahkan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang kesehatan menjadi Undang-undang (UU).
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Zainur Mashir Ramadhan, Nawir Arsyad Akbar

Baca Juga

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa (11/7/2023), mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan menjadi undang-undang lewat rapat paripurna. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, pihaknya mengapresiasi semua pihak yang berkontribusi membangun sistem kesehatan Indonesia lewat UU Kesehatan itu.

Dia menjelaskan, inisiasi RUU Kesehatan didasarkan pada semua orang yang berhak mendapat layanan dan fasilitas kesehatan sesuai amanat UUD 1945. “Berdasarkan amanat itulah kami berterima kasih kepada DPR untuk menginisiasi RUU tentang Kesehatan ini,” kata Budi dalam sidang paripurna tersebut.

Dia menjelaskan, sejak awal, pemerintah sangat mendukung penuh RUU Kesehatan untuk disahkan demi perubahan sistem kesehatan yang lebih baik. Apalagi, pascapandemi Covid-19 yang dinilainya menjadi refleksi atau modal demi memperbaiki dan membangun sistem kesehatan Indonesia menjadi lebih tangguh.

“Kami mengucapkan terima kasih pada seluruh unsur masyarakat dan pemangku kepentingan di bidang kesehatan. Ketua dan wakil ketua DPR, izinkan kami menyampaikan terimakasih atas disetujuinya UU tentang Kesehatan ini pada pembicaraan tingkat kedua,” ucap dia.

Berbicara terpisah, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun menyambut baik pengesahan RUU Kesehatan oleh DPR RI dalam rapat paripurna pada hari ini. Meskipun mendapatkan penolakan dari berbagai organisasi profesi bidang kesehatan, namun Jokowi menilai, UU Kesehatan tersebut nantinya akan memperbaiki informasi di bidang layanan kesehatan.

“Ya bagus. UU Kesehatan kita harapkan setelah dievaluasi dan dikoreksi di DPR, saya kira akan memperbaiki informasi di bidang pelayanan kesehatan kita,” kata Jokowi saat memberikan keterangan pers usai meresmikan Jalan Tol Cisumdawu di Sumedang, Jawa Barat, Selasa (11/7/2023).

Jokowi pun berharap, melalui UU Kesehatan yang akan disahkan tersebut bisa menjadi solusi untuk menyelesaikan masalah kekurangan dokter spesialis di Indonesia.

“Kita harapkan kekurangan dokter bisa lebih dipercepat, kekurangan spesialis bisa dipercepat. Saya kira arahnya ke sana,” ujarnya.

Diketahui, terdapat 12 poin utama yang diatur dari RUU yang menggunakan metode omnibus law tersebut. Pertama adalah penguatan tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan pemenuhan kesehatan. Kedua, penguatan penyelenggaraan upaya kesehatan dengan mengedepankan hak masyarakat dan tanggung jawab pemerintah.

"(Tiga) Penguatan pelayanan kesehatan primer yang berfokus ke pasien, serta meningkatkan layanan di daerah terpencil, tertinggal, perbatasan, dan kepulauan, serta bagi masyarakat rentan," ujar Ketua Panja RUU Kesehatan Emanuel Melkiade Laka Lena.

Keempat, pemerataan fasilitas pelayanan kesehatan untuk kemudahan akses bagi masyarakat. Selanjutnya, penyediaan tenaga medis dan tenaga kesehatan melalui peningkatan penyelenggaraan pendidikan spesialis/sub-spesialis melalui satu sistem pendidikan dengan dua mekanisme.

Enam, transparansi dalam proses registrasi dan perizinan, serta perbaikan dalam perbaikan tenaga medis dan tenaga kesehatan warga negara Indonesia lulusan luar negeri melalui uji kompetensi yang transparan. Tujuh, penguatan ketahanan kefarmasian dan alat kesehatan melalui penyelenggaraan rantai pasok dari hulu ke hilir.

"(Delapan) Pemanfaatan teknologi kesehatan, termasuk teknologi biomedis untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan," ujar Melki.

Poin kesembilan, penguatan dan pengintegrasian sistem informasi kesehatan. Ke-10, penguatan kedaruratan kesehatan melalui tata kelola kewaspadaan, penanggulangan, dan pasca kejadian luar biasa (KLB) dan wabah.

Ke-11, penguatan pendanaan kesehatan. Terakhir, koordinasi dan sinkronisasi kebijakan antarkementerian/lembaga dan pihak terkait untuk penguatan sistem kesehatan.

"Pembahasan RUU tentang Kesehatan telah dilakukan secara intensif, hati-hati, dan komprehensif dengan menggunakan landasan berpikir bahwa adanya urgensi penguatan sistem kesehatan nasional melalui transformasi kesehatan secara menyeluruh untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia," ujar Melki.

 

 

Diketahui dalam rapat paripurna kemarin, Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PKS menolak RUU Kesehatan disahkan menjadi UU. Anggota DPR Fraksi Partai Demokrat Dede Yusuf Macan Effendi menjelaskan tiga alasan pihaknya menolak RUU Kesehatan disahkan menjadi undang-undang.

Salah satu alasan penolakan adalah keputusan pemerintah yang menghapuskan pengeluaran wajib atau mandatory spending untuk sektor kesehatan sebesar 5 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

"Hal tersebut semakin menunjukkan kurangnya komitmen politik negara dalam menyiapkan kesehatan yang layak, merata di seluruh negeri, dan berkeadilan di seluruh lapisan masyarakat," ujar Dede dalam rapat paripurna, Selasa (11/7/2023).

Fraksi Partai Demokrat ingin agar mandatory spending seharusnya ditingkatkan, bukan malah dihapuskan. Sebab, besarnya anggaran untuk sektor kesehatan bertujuan untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat.

"Mandatory spending kesehatan masih sangat diperlukan dalam rangka menjamin terpenuhinya pelayanan kesehatan masyarakat dan dalam rangka mencapai tingkat indeks pembangunan manusia," ujar Dede.

Adapun, Fraksi PKS berpandangan, RUU Kesehatan berpotensi menghilangkan lapangan kerja bagi tenaga medis dan kesehatan warga negara Indonesia (WNI). Sebab, RUU Kesehatan yang menggunakan metode omnibus law mengatur pemanfaatan tenaga kesehatan dan tenaga medis warga negara asing (WNA). 

"Hilangnya kesempatan kerja bagi tenaga kerja Indonesia, baik itu karena masuknya tenaga kerja asing ataupun karena hilangnya aturan yang memperbolehkan sebuah pekerjaan, tentu tidak dapat diterima," ujar anggota Komisi IX DPR Fraksi PKS Netty Prasetiyani.

Perlu ada perlindungan terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan secara hukum. Baik untuk keselamatan, kesehatan, keamanan, serta termasuk harkat dan martabat tenaga medis dalam negeri.

Pelindungan ini sangat dibutuhkan agar tidak terjadi kriminalisasi terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan. Perlindungan dibutuhkan untuk mencegah terjadinya perundungan terhadap mereka.

"(Mengusulkan) Penambahan klausul 'mendapatkan gaji/upah, imbalan jasa, dan tunjangan kinerja yang layak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan' pada Pasal 273 bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan. Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan orang-orang yang telah berjuang demi kesehatan masyarakat Indonesia," ujar Netty.

 

 

Soal keberatan terhadap penghapusan mandatory spending dalam UU Kesehatan yang baru, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, menjelaskan, besarnya mandatory spending tidak lantas menentukan kualitas kesehatan atau rata-rata umur yang dicapai. Menurut dia, besarnya suatu anggaran kesehatan tiap negara, ditujukan supaya warganya tidak meninggal cepat.

Namun nyatanya, lanjut dia, alokasi dana kesehatan di negara maju dan berkembang tak berdampak signifikan. Berdasarkan laporan Bank Dunia dan Boston Consulting Group, kata dia, Amerika Serikat merupakan negara dengan spending kesehatan tertinggi di dunia sekitar 12 ribu dolar AS per kapita. Meski demikian, AS dia sebut hanya mampu menahan angka harapan hidup warganya hingga 80 tahun.

Padahal, Kuba dengan spending kesehatan 1.900 dolar AS per kapita, mampu menahan harapan hidup warganya hingga usia 80 tahun. “Apa yang kita pelajari dari sini? Satu, besarnya spending tidak menentukan kualitas dari outcome (usia). Tidak ada data yang membuktikan bahwa spendingnya makin besar derajat kesehatannya membaik,” kata Budi setelah menghadiri pengesahan RUU Kesehatan menjadi UU di rapat paripurna, Selasa (11/7/2023). 

 

Dia menambahkan, alasan membandingkan usia hidup rata-rata saat ini, karena sudah dipakai sebagai patokan. Sehingga, baik spending kesehatan AS dengan angka demikian, maupun Jepang di angka 4.800 dolar AS per kapita dengan harapan hidup sama, dia nilai tidak mempengaruhi secara utuh.

“Bahkan Korea Selatan dengan spending 3.600 dolar AS rata-rata usia hidup 84 tahun. Singapura spending cuman 2.600 rata-rata usia 84 tahun,” ucap dia.

 

Budi menegaskan, dalam UU Kesehatan yang baru disahkan, alih-alih berfokus pada mandatory spending, pihak dia akan mengutamakan hasil atau hasil (outcome). Menurut dia, pihaknya akan mempelajari output daripada berbagai input.

“Jadi fokusnya jangan ke spending, fokusnya jangan ke program (tapi) hasilnya,” katanya.

Berdasarkan data BPS soal tren rerata angka harapan hidup (AHH) Indonesia, pada 2021 ada di angka 73,5 tahun. Angka itu, naik 0,1 poin dari tahun sebelumnya yang ada di kisaran 73,4 tahun.

 

 

10 UU akan dihapus oleh omnibus law RUU Kesehatan. - (Infografis Republika)

 
Berita Terpopuler