Mengenang Perbudakan Belanda, Raja Willem Minta Maaf Atas Kejahatan Kemanusiaan Ini

Pada 2020 Raja minta maaf kepada Indonesia atas kekerasan saat penjajahan Belanda.

Antara/Sigid Kurniawan
Raja Belanda Willem Alexander melambaikan tangan saat tiba di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Senin (9/3/2020).
Red: Ferry kisihandi

REPUBLIKA.CO.ID, AMSTERDAM – Raja Belanda Willem-Alexander meminta maaf atas keterlibatan negaranya dalam perbudakan dan dampaknya yang terasa sampai saat ini. Ia menyampaikan hal ini dalam peringatan 150 tahun penghapusan perbudakan di Belanda dan bekas koloni di Karibia. 

‘’Pada hari ini, kita mengingat sejarah perbudakan Belanda. Saya meminta maaf atas kejahatan terhadap kemanusiaan ini,’’katanya, Sabtu (1/7/2023). Ia menambahkan, rasisme di masyarakat Belanda masih jadi masalah dan tak semua mendukung permintaan maaf ini. 

‘’Bagaimanapun, waktu telah berubaha dan Keti Koti, rantai perbudakan benar-benar putus,’’ katanya kepada ribuan orang di Oosterpark, museum perbudakan nasional, di Amsterdam. 

Keti Koti adalah kata Suriname yang berarti belenggu telah putus dan ini menjadi tema peringatan 1 Juli mengenai perbudakan dan perayaan kebebasan. Permintaan maaf disampaikan di tengah upaya mengingat kembali kolonialisme Belanda pada masa itu. 

Termasuk keterlibatannya dalam perdagangan budak di Atlantik dan perbudakan di bekas koloni negara-negara Asia. Willem-Alexander pada 2020 meminta maaf kepada Indonesia atas kekerasan selama penjajahan yang dilakukan Belanda. 

Mantan anggota parlemen Belanda, John Leerdam kepada NOS menyatakan air mata membasahi pipinya saat Raja Willem meminta maaf. ‘’Ini momen bersejarah dan kita harus menyadarinya,’’ katanya menegaskan. 

Perbudakan dihapuskan di Suriname dan koloni-koloni Belanda di Karibia pada 1 Juli 1863. Namun, sebagian besar budak masih dipaksa bekerja di perkebunan hingga sepuluh tahun kemudian. Peringatan Sabtu ini, menandai 150 tahun sepenuhnya perbudaan dihapuskan, yaitu 1 Juli 1873. 

Desember lalu, Perdana Menteri Mark Rutte mengaku Belanda bertanggung jawab atas perdagangan budak di Atlantik dan meraih keuntungan dari sana. Ia meminta maaf. Namun, Rutte menyatakan Belanda tak akan memberikan ganti rugi. 

Bulan lalu hasil kajian sebuah komisi pemerintah mengungkapkan, House of Orange meraih keuntungan sekitar 600 juta dolar AS dari koloni Belanda pada 1675-1770. Sebagian besar disumbang dari keuntungan perdagangan rempah-rempah Dutch East India Company.

Namun bagi Black Manifesto dan Black Archives, permintaan maaf saja tidak cukup. Mereka melakukan aksi massa sebelum Raja Willem menyampaikan pidato dan membentang spanduk,’’No healing without reparations.”

‘’Banyak orang termasuk saya, kelompok saya, The Black Archives dan Black Manifesto, permintaan maaf tidaklah cukup. Permintaan maaf mestinya ditindaklanjuti dengan memberikan keadilan,’’ kata Direktur Black Archives, Mitchell Esajas.

Para pengunjuk rasa dari dua kelompok ini mengenakan pakaian tradisional berwarna. Pada masa lalu, para budak dilarang mengenakan sepatu dan pakaian berwarna. 

‘’Mengenang kakek moyang kami pada hari ini, kami juga merasa bebas, kami dapat mengenakan apa yang kami inginkan. Kami dapat menunjukkan kepada seluruh dunia bahwa kami bebas,’’ kata Regina Benescia-van Windt, yang kini berusia 72 tahun. 

 

 
Berita Terpopuler