Istri Bukhori Yusuf, Korban Dugaan KDRT dan Kekerasan Seksual Kini Didampingi LBH GP Ansor

LBH GP Ansor mendesak agar Polri memprioritaskan perkara KDRT dan kekerasan seksual.

Dok DPR
Mantan anggota Komisi VIII DPR, Bukhori Yusuf. Bukhori kini tengah tersandung kasus dugaan KDRT dan kekerasan seksual. (ilustrasi)
Rep: Bambang Noroyono  Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Nahdlatul Ulama mengutus Lembaga Bantuan Hukum Gerakan Pemuda Ansor (LBH GP Ansor) untuk mendampingi proses hukum kasus dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang diduga dilakukan oleh mantan anggota DPR, Bukhori Yusuf (BY) terhadap istri keduanya, perempuan inisial M. LBH Ansor resmi menerima kuasa pendampingan hukum dari saksi-korban M, yang melaporkan BY ke kepolisian atas dugaan KDRT, dan kekerasan seksual.

Baca Juga

Juru Bicara LBH Ansor, Muhammad Syahwan Arey mengatakan, timnya resmi menerima kuasa hukum dari saksi-korban M, Kamis (22/6/2023). Arey mengatakan, dari LBH GP Ansor, ada 10 pengacara yang ditunjuk mendampingi saksi-korban M.

“Kami dari LBH GP Ansor demi keadilan terhadap korban M, sudah menerima surat kuasa pendampingan hukum atas semua proses hukum yang saat ini di alami oleh M,” kata Arey saat dihubungi Republika dari Jakarta, Jumat (23/6/2023). 

Arey menjelaskan, LBH GP Ansor bukan cuma menjadi tim pengacara untuk M atas kasus dugaan KDRT dan kekerasan seksual yang saat ini dalam penanganan di Bareskrim Polri. Tetapi, kata Arey, LBH GP Ansor juga menjadi tim pendamping hukum bagi saksi-korban M yang statusnya sebagai terlapor atas laporan dari pihak keluarga, dan istri pertama BY, di Polda Metro Jaya

“Kami dari LBH GP Ansor menjadi pendamping hukum bagi korban M di semua proses hukum yang ada saat ini. Baik yang berada di Bareskrim Polri, dan juga yang saat ini menjadikan korban M sebagai terlapor di Polda Metro Jaya,” kata Arey. 

Namun begitu dikatakan Arey, LBH GP Ansor mendesak agar Polri lebih mengutamakan proses penuntasan hukum menyangkut perkara utama terkait dengan KDRT dan kekerasan seksual. Karena Arey mengatakan, kasus yang menjadikan BY sebagai terlapor itu sudah lebih dari tujuh bulan mangkrak tanpa peningkatan proses hukum, pun penetapan tersangka.

Juga menurut dia, saksi-korban M yang dilaporkan oleh pihak BY terkait kebohongan publik, dan pencemaran nama baik di Polda Metro Jaya tak tepat dilanjutkan karena status M adalah saksi-korban yang dalam suaka hukum di Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK). 

“Kita meminta agar laporan yang di Polda Metro Jaya dikesampingkan, dan tidak perlu dilanjutkan. Karena yang lebih utama dalam kasus ini adalah menyangkut tentang KDRT dan kekerasan seksual yang dialami oleh korban M. Dan kami meminta, agar Bareskrim Polri segera menetapkan tersangka,” kata Arey.

M, perempuan 30-an tahun korban KDRT, dan kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh mantan anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf (BY) dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Kasus ini sejak November 2022 dalam penyelidikan di Polrestabes Bandung, Jawa Barat (Jabar).

Akan tetapi sejak Mei 2023 kasusnya diambilalih penangananya oleh Subdit V PPA Dirtipidum Bareskrim Polri. Pengambilalihan kasus tersebut, setelah saksi-korban M melaporkan BY ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Namun proses etik di MKD itu tak berlanjut. Karena BY langsung dipecat dari keanggotanna di DPR, pun dari PKS.

Akan tetapi setelah pengambilalihan kasus tersebut, dari Bareskrim Polri, pun belum juga meningkatkan kasus itu ke penyidikan. Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Humas Mabes Polri Komisaris Besar (Kombes) Nurul Azizah, Selasa (20/6/2023) menyampaikan, kasus tersebut masih dalam penyelidikan. Kata dia, tim dari Subdit V Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Dirtipidum masih membutuhkan keterangan sejumlah saksi-saksi untuk mencari bukti perbutan pidana yang dilakukan oleh BY. Beberapa saksi yang diperiksa, kata Kombes Nurul, termasuk saksi-saksi pernikahan siri antara BY dan M.

 

Sebelumnya, Bareskrim Polri akan memeriksa sejumlah saksi-saksi pernikahan Bukhori Yusuf dengan istri keduanya inisial M. Pemeriksaan tersebut sebagai proses penyelidikan lanjutan kasus pelaporan KDRT yang diduga dilakukan oleh Bukhori.

Salah satu saksi yang rencananya yang akan diperiksa adalah inisial AL, dan seorang alim ulama yang menikahkan keduanya. Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Humas Mabes Polri Komisaris Besar (Kombes) Nurul Azizah menerangkan, pemeriksaan saksi-saksi tersebut dijadwalkan dalam waktu dekat ini.

Rencana tersebut, sudah dijadwalkan sejak pekan lalu oleh tim penyidikan Subdit V Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Dirtipidum Bareskrim. “Pekan ini Subdit V PPA Dirtipidum Bareskrim akan memeriksa dan meminta keterangan saksi-saksi pernikahan selain yang sudah diperiksa sebelumnya,” kata Nurul, Selasa (20/6/2023).

Selain memeriksa saksi-saksi pernikahan, kata Nurul, tim penyidik juga akan meminta penjelasan dari pihak rumah sakit (RS). “Permintaan keterangan juga dilakukan dengan berkordinasi dengan pihak RS,” kata Nurul menambahkan.

Namun, Nurul tak menjelaskan permintaan keterangan dari RS tersebut, apakah terkait dengan pembuktian terjadinya kekerasan terhadap korban M. Atau pembuktian lainnya. Namun informasi dari tim penyidikan di Bareskrim Polri pemeriksaan saksi-saksi tersebut dilakukan salah-satunya terhadap inisial AL.

“AL adalah adik dari terlapor BY yang menjadi salah-satu saksi dari pernikahan pihak terlapor dengan pelapor (korban) M,” ujar sumber tersebut.

Pengacara BY Ahmad Mihdan kepada Republika menyampaikan, belum mengetahui rencana pemeriksaan saksi-saksi pernikahan dari pihak kliennya tersebut. Karena dikatakan dia, belum ada surat resmi pemanggilan yang diterima oleh pihaknya.

Namun menurut dia, pihak kliennya bersedia memberi keterangan jika diminta oleh kepolisian. “Sampai saat ini, dari (pihak) Pak BY belum ada mengabarkan untuk diminta keterangannya oleh penyidik (kepolisian). Tetapi, kami siap untuk memberikan keterangan,” kata Mihdan, Selasa (20/6/2023). 

Mihdan pun mengatakan, pemeriksaan saksi-saksi pernikahan antara BY dan M tersebut memang perlu dilakukan. Karena dikatakan dia, hal itu untuk menguji kedudukan hukum M sebagai pelapor KDRT yang diduga dilakukan oleh BY.

“Kalau memang ada pemeriksaan saksi-saksi pernikahan oleh kepolisian, langkah seperti itu bagus menurut kami. Karena selama ini, klien kami menilai pelapor itu (M) tidak memiliki legal standing untuk melaporkan dugaan KDRT yang dilakukan oleh Pak BY,” ujar Mihdan.

Akan tetapi, Mihdan mengakui M memang istri kedua BY yang dinikahi dengan cara agama atau siri. Mihdan menjelaskan, pernikahan siri antara BY dan M itu tak tercatatkan di catatan sipil. Karena itu, menurut dia, pelaporan KDRT yang dilakukan M terhadap BY tak sesuai.

“Karena dalam konteks kekerasan dalam rumah tangga itu, acuannya adalah pernikahan yang dicatatkan di dalam catatan sipil. Sementara pernikahan Pak BY dengan pelapor ini (M), hanya dilakukan secara syari’i, yang itu memang sah secara agama. Tetapi tidak tepat kekerasan itu dilaporkan sebagai KDRT. Karena pelapor (M) bukan istri yang sah secara hukum negara,” kata Mihdan.

Terkait pernikahan siri antara Bukhori dan M, Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mengatakan, tak menghalangi penjeratan sangkaan KDRT terhadap terduga pelaku. Komnas Perempuan dalam rekomendasi kepada Kepala Bareskrim Polri, 30 Mei 2023 lalu mengatakan, dalam penuntasan kasus dugaan KDRT terhadap pasangan pernikahan siri sudah dasar hukumnya mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 46/PUU-VIII/2010. Disebutkan dalam putusan tersebut, pencatatan hanya menjadi kewajiban administratif dalam pembuktian terjadinya suatu pernikahan berdasarkan undang-undang.

“Oleh sebab itu nikah yang tidak tercatat (nikah siri) sudah sepatutnya tidak mengalangi negara dalam penegakan hukum terkait penghapusan KDRT,” demikian keterangan resmi dari Komnas Perempuan.

Komnas Perempuan juga mengatakan, putusan MK tersebut, pun sudah berjalan dengan adanya yurisprudensi pada kasus KDRT yang terjadi dengan pasangan siri. Yurisprudensi tersebut tertuang dalam putusan nomor 1683/PID.B/2017/PN.BKS.

“Di mana pernikahan antara terdakwa dan korban sudah tinggal dalam satu rumah,” begitu kata Komnas Perempuan.

 

Perempuan rentan jadi korban kekerasan - (Republika)

 

 
Berita Terpopuler