Menuju Visi Nusantara 2045

Peran Indonesia meningkatkan daya saing ekonomi dan pengaruh geopolitik.

dok pribadi
Prof Agung Dhamar Syakti, Rektor Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) dan Ketua Umum Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (ISOI)
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Agung Dhamar Syakti, Rektor Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) dan Ketua Umum Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (ISOI)

Untuk menuju era visi nusantara 2045, maka kita perlu selalu melakukan yang kita sebut menyelaraskan sistem dan design thinking kepulauan Indonesia. Design thinking, sebut saja archipelagic system/design thinking, mengacu kepada sebuah keadaan yang senantiasa mampu memperbaiki tatanan sistem tentang bagaimana organisasi berinteraksi dan saling mempengaruhi serta memastikan memiliki kebarmanfaatan bagi kemaslahatan. Dalam konteks ini ada enam hal yang harus secara simultan dikembangkan sebagai pilar ke-digdaya-an maritim nusantara. Adapun visi nusantara 2045 termaktub dalam RPJPN 2025-2045.

Pertama, posisi strategis dan konektivitas. Archipelagic system/design thinking (selanjutnya disebut sistem) memperhitungkan posisi Indonesia di persimpangan rute perdagangan maritim, yang menghubungkan Samudra Pasifik dan Hindia. Ini menekankan perlunya mengoptimalkan konektivitas melalui pengembangan infrastruktur transportasi yang efisien, termasuk pelabuhan, jalur pelayaran, dan jaringan logistik multimoda. Hal ini mendukung peran Indonesia sebagai pemain kunci dalam perdagangan regional dan global, meningkatkan daya saing ekonomi dan pengaruh geopolitik.

Setiap tahun 58 persen perdagangan dunia melalui Selat Malaka, Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) 1 Selat Sunda dan ALKI 2 Selat Lombok dengan total nilai perdagangan sekitar 435 miliar US dollar. Kita juga harus siap mengantisipasi dan memitigasi kanal Kra, alur North East Passage yang memangkas waktu tempuh transportasi maritim dari Pasifik ke Atlantik serta kebijakan China, One Belt One Road atau sekarang istilahnya Belt and Road Initiative.

Kedua, manajemen sumber daya, kelangkaan air dan keamanan energi. Sistem mempertimbangkan pemanfaatan sumber daya alam Indonesia yang melimpah secara berkelanjutan, seperti perikanan, mineral, dan hutan termasuk kelangkaan air bersih dan keamanan energi. Ini mempromosikan praktik ekstraksi sumber daya yang bertanggung jawab, upaya konservasi, dan pengembangan sumber energi terbarukan untuk memastikan kelayakan ekonomi jangka panjang dan mengurangi ketergantungan pada energi impor.

Ketiga, menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan kelestarian lingkungan. Sistem mengeksplorasi pembentukan koridor ekonomi di nusantara, menghubungkan berbagai wilayah dan mempromosikan pemerataan peluang ekonomi. Di sini perlunya Mawas Daya Saing (Intelijen Kompetitif Daerah Kepulauan, Media Indonesia 25 Juni 2021) yang memastikan 15.337 pulau-pulau tidak berpenghuni di Indonesia dapat tetap dioptimalkan potensinya.

Di sisi lain, secara regional, kita juga menekankan kerja sama regional dan upaya integrasi melalui berbagai kerja inisiatif regional lainnya seperti Sijori, IMT-GT dan sebagainya. Pada gilirannya, akan dapat meningkatkan akses pasar, fasilitasi perdagangan, dan arus investasi. Sebagai gambaran, kontribusi ekonomi maritim terhadap PDB kita hanya 6,4 persen pada 2015 dan ditargetkan menjadi 12,5 persen pada 2045.

Keempat, hubungan diplomatik dan kemitraan strategis. Pertimbangan geopolitik mempengaruhi hubungan diplomatik dan kemitraan strategis Indonesia. Archipelagic system/design thinking memperhitungkan keterlibatan negara dengan negara tetangga, organisasi regional, dan kekuatan global. Hal Ini untuk meningkatkan hubungan diplomatik dan kemitraan strategis dalam rangka mendorong kerja sama ekonomi, menarik investasi asing langsung, dan mempromosikan transfer teknologi. Inisiatif kolaboratif dapat mengatasi tantangan bersama, mendukung stabilitas kawasan, dan meningkatkan posisi geopolitik Indonesia.

Kelima, keamanan nasional dan pertahanan maritim. Geopolitik membentuk strategi keamanan nasional dan pertahanan maritim Indonesia. Sistem menggabungkan langkah-langkah untuk menjaga keutuhan wilayah Indonesia, melindungi batas laut, dan memastikan keselamatan dan keamanan alur laut. Ini melibatkan pengembangan sistem pengawasan maritim, pendirian pangkalan angkatan laut, dan kerja sama dengan mitra regional dan internasional dalam upaya keamanan maritim yang memprioritaskan kepada perlindungan infrastruktur kritis, pencegahan aktivitas ilegal, dan kemampuan tanggap bencana.

Terakhir tapi tidak kalah penting, literasi, budaya dan spiritual maritim. Harus kita tumbuh kembangkan kembali literasi dan budaya maritim serta spirit bahari Nusantara. Sebagai negara yang terdiri dari 17 ribu pulau, bangsa Indonesia harus menyadari dan melihat dirinya sebagai bangsa yang identitasnya, kemakmurannya, dan masa depannya, sangat ditentukan oleh bagaimana kita mengelola samudera. Sebagai literasi kebaharian, kita dapat kutip Gurindam 12 pasal 1 Karya Raja Ali Haji “Barang siapa mengenal diri, maka telah mengenal akan Tuhan yang bahari”.

Di dalam archipelagic system/design thinking kita

Di dalam archipelagic system/design thinking kita, agar dapat menjadi negara maritim yang berdaulat, unggul dan berkelanjutan, keenam pilar tadi harus dibingkai dan terintegrasi dalam pendekatan geopolitik dan geoekonomi sehingga Indonesia dapat mengembangkan solusi yang selaras dengan kepentingan nasionalnya, meningkatkan daya saing ekonomi, dan memperkuat pengaruh geopolitik. Pendekatan itu mengakui keterkaitan faktor politik dan ekonomi dan bertujuan untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan, inklusif, dan aman di negara kepulauan.

Bijak rasanya bila kita mengenang ucapan Bung Karno pada peresmian Institut Angkatan Laut 72 tahun yang lalu (1951), untuk menjadi digdaya maritim maka sebagai bangsa pelaut harus memiliki “kesibukan di laut yang menandingi irama gelombang lautan itu sendiri”. Tidaklah berlebihan apa yang dipertantangkan oleh BK mengingat kita memiliki referensi dan tolak ukur sejarah kejayaan maritim di bumi nusantara ini. Sebut saja, Kerajaan Sriwijaya abad 7-11 dengan spiritualitas Budhisme, Kerajaan Majapahit di abad 11-13 dengan hinduisme dan hindu-budha, atau mungkin di mana nilai dan falsafah Islam menjadi landasan kerajaan maritim nusantara pada abad 11-16 seperti Pasai, Aceh, Malaka dengan Riau-Johor-Lingga dan Pahang, Demak, Ternate, Tidore dan Makassar.

Kita tidak mengerti bagaimana daya rusak penjajahan membuat cita-cita tersebut bagai jauh panggang dari api. Sejak merdeka sampai masuk era reformasi, kemaritiman tidak pernah dipercaya sebagai arah bangsa. Baru pada 2014 Presiden Jokowi melalui Nawa Cita menegaskan kembali agar kita memperkuat jati diri sebagai negara maritim melalui 5 pilarnya, yaitu Budaya Maritim, Sumberdaya Maritim, Konektivitas Maritim, Diplomasi Maritim dan Pertahanan Maritim.

Sejatinya, peradaban maritim yang berdaulat, tangguh dan berkelanjutan dilandaskan akan kemampuan “membangun peradaban dengan mengandalkan sumberdaya maritim untuk pensejahteraan masyarakat yang berkeadilan, tangguh dan unggul dengan memelihara tata susila dan budi pekerti serta spiritual yang tinggi, ini yang kita dapat sebut dengan tamadun maritim (Syakti, 2017).

 

 
Berita Terpopuler