Volatilis Pasar Saham Diperkirakan Bakal Mereda pada Semester II 2023

Meredanya pasar saham didukung oleh The Fed yang sudah capai puncak suku bunga.

AP Photo/Seth Wenig
Volatilitas pasar saham yang cenderung tinggi pada semester pertama diperkirakan akan semakin mereda pada paruh kedua 2023.
Rep: Retno Wulandhari Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Volatilitas pasar saham yang cenderung tinggi pada semester pertama diperkirakan akan semakin mereda pada paruh kedua 2023. Hal ini utamanya didukung oleh the Fed yang sudah mencapai puncak suku bunganya menjelang akhir tahun.

Baca Juga

"Mayoritas bank sentral dunia telah mencapai puncak suku bunga. Ke depan, perhatian akan beralih menjadi kapan bank sentral dapat mulai memangkas suku bunga," kata Senior Portfolio Manager Equity Manulife Aset Manajemen Indonesia Caroline Rusli, CFA, Ahad (19/6/2023).

Caroline memperkirakan periode pemangkasan akan berbeda-beda di setiap negara bergantung pada dinamika kondisi ekonomi dan mandat bank sentral di masing-masing negara. Di AS, tekanan pada ekonomi saat ini sudah semakin terasa.

Beberapa indikator ekonomi menunjukkan tekanan di berbagai sektor, bahkan indeks keyakinan dunia usaha sudah di posisi lebih rendah dari periode pandemi. Konsensus memperkirakan akan terjadi resesi di paruh kedua, tapi resesi yang terjadi diperkirakan ringan karena masih tertopang oleh konsumsi masyarakat dan sektor tenaga kerja yang relatif kuat.

Di sisi lain, suku bunga bukan satu-satunya alat yang digunakan the Fed dalam memitigasi volatilitas pasar. Meningkatnya volatilitas di sektor keuangan tidak serta merta membuat the Fed untuk menurunkan suku bunga.

"Mereka memiliki alat lain untuk memitigasi kondisi di luar risiko sistemik apalagi melihat inflasi di sektor jasa yang masih cukup persisten," ujar Caroline.

Caroline melihat pada paruh kedua perbedaan pertumbuhan ekonomi Asia dengan negara maju akan semakin mencolok. Pulihnya aktivitas domestik dan meningkatnya perdagangan intra-Asia menjadi bantalan bagi ekonomi Asia di tengah melambatnya permintaan dari kawasan negara maju. 

"Inflasi Asia yang lebih rendah memberi ruang kebijakan bank sentral untuk menopang ekonomi," kata Caroline. 

 

 
Berita Terpopuler