Survei Jelang Putusan MK: Mayoritas Publik Ingin Pemilu dengan Sistem Proporsional Terbuka

Dengan sistem itu, caleg yang mewakili partai dipilih oleh rakyat secara langsung.

AP Photo/Firdia Lisnawati
Warga meneliti daftar caleg. Pada Kamis (15/6/2023) MK akan memutus sistem pemilihan caleg dalam pemilu. (ilustrasi)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Febryan A

Baca Juga

Survei terbaru lembaga Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menemukan 76 persen publik Indonesia lebih menginginkan sistem pemilu proporsional terbuka. Dalam sistem itu, partai atau calon, dan calon anggota DPR yang mewakili partai tersebut ditentukan oleh pemilih atau rakyat secara langsung. 

"Hanya 15 persen warga yang menginginkan sistem proporsional tertutup di mana yang dipilih hanya partai dan calon anggota DPR yang mewakili partai tersebut ditentukan oleh pimpinan partai," kata Direktur Riset SMRC Deni Irvani dalam paparannya di kanal Youtube pada Senin (12/6/2023). 

Dari survei ini, Deni menyebut, hanya 24 persen warga mengaku tahu gugatan sistem pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dari yang tahu, 64 persen (atau 15 persen dari total populasi) menyatakan menolak jika MK mengabulkan gugatan tersebut dan sistem pemilihan menjadi tertutup. 

"Yang mendukung hanya 31 persen atau 7 persen dari total populasi. Masih ada 5 persen yang belum berpendapat," ujar Deni. 

Deni menganalisis sikap mayoritas warga yang menolak MK mengabulkan sistem proporsional tertutup ini konsisten dalam dua kali survei. 

"Yaitu pada Februari dan Mei 2023," kata Deni. 

Deni juga memaparkan, dari 15 persen responden yang menolak jika MK mengabulkan sistem pemilihan menjadi tertutup tersebut, ada 53 persen yang menyatakan akan melakukan protes secara terbuka. Dari yang akan protes, sekitar 70 persen menyatakan akan protes di media sosial seperti Instagram, Youtube, Tiktok, dan Twitter

"Dan ada 22 persen yang akan protes melakukannya dengan ikut demonstrasi turun ke jalan," ujar Deni. 

Diketahui, sikap publik terhadap gugatan sistem Pemilu ini dihimpun SMRC dalam survei yang berlangsung pada 30-31 Mei 2023. Adapun Mahkamah Konstitusi (MK) akan mengumumkan jadwal pembacaan putusan gugatan sistem pemilu pada Kamis 15 Juni 2023.

 

Mahkamah Konstitusi (MK) mengumumkan jadwal pembacaan putusan gugatan sistem pemilihan umum (pemilu) pada Kamis 15 Juni 2023. Putusan tersebut bakal menentukan apakah sistem pemilu tetap terbuka atau kembali tertutup seperti pada era Orde Baru.

Gugatan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diajukan oleh pengurus PDIP Demas Brian Wicaksono beserta koleganya. Mereka keberatan dengan pemilihan anggota legislatif dengan sistem proporsional terbuka pada Pasal 168 Ayat 2 UU Pemilu.

"Hari ini MK sudah mengumumkan sudah memublikasikan karena seperti yang saya katakan di MK itu enggak ada sidang yang digelar tiba-tiba," kata Juru Bicara MK Fajar Laksono kepada wartawan, Senin (12/6/2023).

Fajar menyampaikan tidak ada putusan yang dibacakan secara tiba-tiba di MK. Ia menjamin MK menaati prosedur yang berlaku terkait pembacaan putusan. Salah satunya dengan mengedarkan undangan menghadiri putusan kepada para pihak 

"Jadi, sesuai ketentuan hukum acara, sidang itu diberitahukan dulu kepada para pihaknya itu tiga hari sebelum sidang. Jadi, nggak ada yang tiba-tiba. Jadi, para pihak pemerintah, DPR, pihak terkait, semuanya dikasih surat panggilan untuk hadir sidang," ujar Fajar.

Fajar menyebut pembacaan putusan perkara ini berbarengan harinya dengan putusan perkara lain. Fajar belum bisa memastikan apakah putusan perkara pemilu akan dibacakan lebih dulu atau tidak.

"Pengucapan putusan Kamis tanggal 15 Juni jamnya jam 9.30 WIB di ruang sidang pleno bersama dengan beberapa putusan yang lain," kata Fajar.

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) sebelumnya, menyatakan, ada kemungkinan pelaksanaan Pemilu 2024 tertunda apabila MK memutuskan penggunaan sistem proporsional tertutup alias sistem coblos partai. Peneliti Perludem Kahfi Adlan Hafiz menjelaskan, tahapan Pemilu 2024 saat ini sudah berjalan menggunakan sistem proporsional terbuka, sebagaimana diatur dalam UU Pemilu.

Jika MK mengabulkan gugatan atas sistem proporsional terbuka dan mengubah sistem pemilu menjadi proporsional tertutup, akan muncul ketidakpastian hukum. Sebab, dia melanjutkan, sistem proporsional terbuka merupakan "jantung" UU Pemilu. Pasal-pasal yang mengatur sistem proporsional terbuka terkoneksi dengan pasal-pasal lainnya dalam beleid tersebut. 

"Ketika pasal (sistem proporsional terbuka) dibatalkan, yang terjadi adalah UU Pemilu-nya pun bahkan berpotensi bisa batal juga di tengah tahapan penyelenggaraan pemilu yang saat ini tengah kita laksanakan," kata Kahfi di Gedung MK, Rabu (31/5/2023). 

Kahfi melanjutkan, apabila UU Pemilu yang merupakan kerangka pelaksanaan pemilu itu batal, tentu gelaran Pemilu 2024 akan buyar. "Bisa jadi akan berdampak pada penundaan (pemilu) dan sebagainya yang itu tidak kita harapkan," ujarnya. 

Sebagai gambaran, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya mencoblos partai. Pemenang kursi anggota dewan ditentukan oleh parpol lewat nomor urut calon anggota legislatif (caleg) yang sudah ditetapkan sebelum hari pencoblosan. Sistem ini digunakan sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 1999. 

Adapun dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat mencoblos caleg ataupun partai yang diinginkan. Caleg dengan suara terbanyak berhak duduk di parlemen. Sistem ini dipakai sejak Pemilu 2004 hingga Pemilu 2019.

 

Data Caleg Artis dari Pemilu ke Pemilu - (Infografis Republika)

 

 
Berita Terpopuler