Sejarah Tuyul: Dari Kitab Al-Adawiyah Hingga Krisis Ekonomi pada 1930

Kemunculan Tuyul Marak Ketika Muncul Pada Krisis Ekonomi Tahun 1930

Republika/Bayu Adji P
Warga Kampung Burujul 1, Kelurahan Nagarasari, Kecamatan Cipedes, Kota Tasikmalaya, memasang spanduk ada tuyul karena sering kehilangan uang, Sabtu (3/6/2023).
Red: Muhammad Subarkah

Oleh Nurman Kholis, Peneliti Litbang Departemen Agama RI*

Artikel ini mengungkap tema tentang syirik dalam naskah beraksara Pegon dan berbahasa Sunda yang berjudul Al-Adawiyatu al-Sy±fiyatu fi Bayni al-ti al-jati wa al-Istikharati wa Daf’i al-Kurbt.

Naskah berbentuk litograf ini ditulis oleh K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950 M). Ia adalah salah se­orang anggota BPUPKI yang berdiri jelang kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Di dalam nas­kah tersebut diinformasikan maraknya pencurian hingga banyak orang berdatangan ke tempat-tempat yang dikramatkan dan dukun untuk me­ngetahui barang-barang yang hilang.

Untuk meng­atasinya, K.H. Ahmad Sanusi memberikan solusi agar umat Islam tidak melakukan praktik-praktik syirik, namun melakukan salat hajat dan salat istikharah serta doa-doa untuk mengatasi ke­sulitan.

Naskah al-Adawiyah ini ditulis pada tahun 1348 H/1929 M yang bersamaan dengan tahun terjadinya krisis ekonomi dunia (malaise). Rakyat miskin pun semakin bertambah, ke­rusuhan, pencurian, perampokan, juga marak di kota-kota maupun di desa-desa. Pada tahun 1929 ini selain terjadinya krisis ekonomi dunia juga merupakan awal munculnya istilah “tuyul” di kalangan masyarakat Indonesia.

Berikut ini kajiannya yang sengaja Republika.co.id fokuskan  bahasan keempat tulisan itu, yakni ke soal kitab tersebut dengan kaitan soal krisis ekonomi dan sosial -- termasuk soal isu tuyul dan pencuri-- yang marak pada saat itu.

 

 

 

 

 

Faktor orang-orang yang mendatangi benda-benda yang dikera-matkan dan dukun sebagaimana diungkapkan dalam naskah al- Adawiyah salah satunya karena sering kehilangan harta oleh praktik pencurian. Karena itu, sering terjadinya peristiwa pencurian pada tahun 1929 juga perlu diungkap secara mimetik.

Hal ini mengacu kepada pendapat Prof Teeuw bahwa bila sebuah karya ditulis itu tidak dalam kekosongan budaya sehingga karya tersebut harus dipahami pula hubungan sejarahnya, baik dengan keseluruhan karya-karya pengarang sendiri, karya-karya yang sezaman, maupun dengan karya-karya sebelumnnya.

Berkenaan hubungan sejarahnya tersebut, maka diketahui pada tahun 1929 juga merupakan awal munculnya istilah ”tuyul”. Menurut Boomgard, tuyul merupakan istilah untuk menyebut makhluk halus yang muncul dalam literatur sejak tahun 1929 dan pertama kali disinggung oleh Drewes.

Tuyul kemudian menjadi populer di masyarakat Indonesia sebagai makhluk yang dapat membuat kaya majikannya dalam sekejap. Dengan demikian, sejak tahun 1929 memelihara tuyul merupakan perbuatan yang menambah maraknya praktik-praktik kemusyrikan di kalangan masyarakat.

Kemunculan tuyul ini dapat diasumsikan diketahui para penduduk ibukota Hindia-Belanda termasuk oleh KH Ahmad Sanusi. Hal ini karena pada tahun tersebut ia masih berada dalam tahanan di Jakarta selama 6 tahun sejak 1928 hingga 1934 M.

Kemunculan tuyul tersebut menarik perhatian para peneliti Belanda, sebab makhluk ini tetap dipercaya sebagian masyarakat Indonesia untuk mendapatkan kekayaan secara mendadak hingga era modern ini. Bahkan penggunaan tuyul untuk mencuri harta orang lain tetap berlanjut pada masa-masa selanjutnya. Hal ini sebagaimana hasil observasi Mies Grijns tahun 1988 yang menyatakan bahwa sejumlah penduduk desa percaya bahwa di Bandung banyak yang memelihara tuyul.

Wujud makhluk ini seperti anak kecil berusia tiga sampai empat tahun, pendek, hitam, dan sangat kotor karena hidungnya selalu ingusan. Para pemilik tuyul ter sebut biasanya membawa tuyul ke tempat-tempat ramai seperti toko besar atau pasar dan akan pulang setelah berhasil mencuri uang. Tuyul bisa dilihat oleh pemiliknya dan dukun yang men- jadi perantara perjanjian atau kontrak antara mereka dengan setan sebelum mendapatkan makhluk ini.

Makhluk tersebut sangat membahayakan bagi pemiliknya. Ia biasanya minta dimanja dan akan marah jika keinginannya tidak dipenuhi. Karena itu, pemilik tuyul harus memberi imbalan dengan memberikan manusia sebagai korban (kerabat, pembantu) secara teratur. Selain itu, tuyul juga membahayakan istri pemiliknya, karena wanita yang mempunyai bayi harus menetekinya. Tetekan untuk tuyul ini sangat menyakitkan dan membahayakan kesehatan wanita tersebut.

 

 

 

Risiko yang dihadapi pemilik tuyul tersebut sebagaimana diberitakan majalah Tempo edisi 3 September 1983 terekam pada kitab tragis pasangan Kasmin dan Rasih dari Sidamulya, Bongas, Indramayu yang tewas karena dituduh memelihara tuyul. Kejadian ini bermula dengan banyaknya bayi yang meninggal dan diyakini masyarakat setempat sebagai imbalan yang harus dipenuh kedua pasangan suami istri ini.

Selain secara lokal di pulau Jawa hingga diketahui awal munculnya istilah “tuyul”, hasil kajian mimetik secara global dengan berpijak kepada tahun tahun 1929 juga menghasilkan pengetahuan bahwa tahun 1929 juga merupakan awal terjadinya krisis ekonomi dunia atau malaise yang juga melanda Hindia-Belanda. Krisis ekonomi dunia atau malaise ini merupakan akumulasi dari berbagai krisis ekonomi pasca meletusnya Perang Dunia I tahun 1914-1918.

Hal ini karena negara-negara yang terlibat dalam perang dunia tersebut langsung terpuruk perekonomiannya kecuali Amerika Serikat yang paling terakhir terlibat perang. Akibatnya, poundsterling, franc, mark dan sebagainya yang telah terinflasi, mengalami penurunan nilai terhadap emas dan dolar AS sehingga kekacauan moneter pun meluas ke seluruh dunia.

Jerman yang kalah dalam perang tersebut menjadi negara yang paling menderita. Nilai mata uangnya pun turun sangat tajam sehingga 1 dolar AS bernilai 4.000.000.000 (empat milyar) mark Jerman. Menurut Adolf Hitler, pemimpin Partai Nasional Sozialismus (Nazi) dalam bukunya Mein Kampf (Perjuangan Pe- nulis), kesengsaraan yang diderita Jerman salah satunya karena bangsa Yahudi yang mendominasi aktivitas ekonomi di mana-mana.

Selain Jerman, negeri-negeri Eropa lainnya yang terlibat dalam Perang Dunia I juga berbagai keterpurukan, yaitu: 1) bidang pertanian menjadi terbengkalai sehingga menimbulkan bencana kelaparan karena kurangnya persediaan bahan makanan; 2) semua bidang perindustrian dialihkan hanya untuk industri perang; 3) perdagangan antarnegara terputus karena blokade dan perang laut; dan 4) hubungan dengan daerah-daerah seberang khususnya dengan daerah-daerah koloni terputus.

Keadaan ini menguntungkan AS karena sejak itu mereka menjadi produsen dan penyedia kebutuhan terbesar di Eropa, terutama ekspor alat-alat senjata dan perlengkapan perang serta bahan makanan. Selain itu, AS juga menjadi suplier bagi negeri-negeri di Pasifik, Asia dan Australia yang sebelumnya merupakan daerah pemasaran- pemasaran negara-negara industri Eropa Barat.

AS terus menerus meningkatkan produksinya baik di bidang pertanian (bahan pangan) maupun industri dan mengekspornya ke benua ini hingga over produksi. Hal ini karena negara-negara di Eropa berhasil memulihkan kembali industri dan pertaniannya sehingga tidak memerlukan lagi barang-barang dan bahan-bahan pangan dari AS.

 

 

Sejak awal tahun 1929, The Federal Reserve (Bank Sentral AS) menghentikan uang emas sebagai alat pemba- yaran. Lembaga ini mulai menarik peredaran uang kertas yang dijamin emas dari sirkulasi dan menggantinya dengan uang res- mi. Perekonomian AS pun akhirnya mengalami malapetaka yang di negeri ini dikenal dengan sebutan Great Depression.31 AS juga mengalami kehancuran bursa saham sehingga 40 persen nilai saham hilang.

Berbagai perusahaan bangkrut, pabrik-pabrik tutup, bank-bank banyak yang gagal, dan pendapatan pertanian jatuh sampai 50% sehingga diperkirakan satu dari setiap empat orang AS menjadi penganggur.

Selama krisis tersebut, berbagai pemerintahan di seluruh dunia berusaha menemukan sistem baru untuk meningkatkan partum- buhan ekonomi mereka. Presiden Amerika Franklin Roosevelt mengambil langkah sebagai solusi mengatasi ambruknya pasar bursa saham setelah tahun 1929.33 Karena itu sejak krisis eko- nomi ini, uang kertas dolar cetakan tahun 1922 menjadi berbeda dengan cetakan tahun 192934. Pada uang kertas cetakan tahun 1922 terdapat tulisan “Ten Dollars in Gold Coin payable to the bearer on demand”.

Dengan demikian, uang kertas ini seperti kuitansi yang berisi keterangan kepemilikan 10 dolar dalam bentuk koin emas yang dititipkan dan disimpan di bank. Namun, pada uang kertas dolar cetakan tahun 1929, kata-kata tersebut diganti menjadi “Will pay to the bearer on demand” dan menghilangkan kata-kata “in gold coin”.

Dalam hal ini mata uang dolar AS cetakan tahun 1922 berisi keterangan tentang penebusan emas ini senilai 10 dolar AS. Sedangkan pada uang kertas dolar cetakan tahun 1929 tidak lagi memberikan hak penebusan atas emas, dan hanya dikatakan “akan membayarkan” kepada pemegangnya senilai 10 dolar AS sebagaimana contoh di atas.

Agar uang emas dan uang perak tidak berlaku sebagai alat tukar dan diganti dengan uang kertas, dalam perkembangan selanjutnya Presiden AS Franklin Roosevelt, menyatakan sebagai kejahatan bagi warga negara Amerika Serikat yang mempunyai emas lantakan atau koin emas dengan ancaman pidana kurungan dan penjara. Bank, lembaga-lembaga keuangan, dan warga AS diberi waktu tiga minggu untuk menyerahkan semua koin emas, emas lantakan, sertifikat emas.

Sebagaimana terjadi di Indonesia sebelum terjadinya malaise, pemerintah kolonial Belanda telah mengedarkan koin atau uang emas, seperti talenan (25 sen), 50 sen, 1 gulden sebelum mengedarkan uang kertas.37 Kedatangan Belanda sendiri sejak tahun 1602 ke Indonesia pada mulanya membawa uang logam terutama uang perak untuk dijadikan alat tukar dengan hasil-hasil tropis di Nusantara melaui Vereenigde Ost-Indische Compagnie (VOC).

Sebelum beredarnya uang emas dan uang perak dari VOC, menurut Quinn (dalam Boomgard, 1998: 284-285), keping uang emas dan perak asli buatan pribumi di Jawa sudah digunakan sejak abad ke-8. Selanjutnya beredar juga uang tembaga dari Cina sejak abad ke-13, pada abad ke-16 beredar uang emas dan uang perak Portugis dan Spanyol, dan pada abad ke-17 beredar pula uang perak Belanda.

Pada abad ke-18, Belanda juga menge-darkan uang tembaga yang disebut duiten. Namun, koin emas dan koin perak mulai diberlakukan di Indonesia sejak peradaban Hindu datang ke Indonesia pada abad ke-4. Mereka menggu- nakan mata uang yang dibawa dari negerinya masing-masing yang menginspirasi penduduk lokal atau penguasa untuk membuat mata uang sendiri.

Perlahan-lahan penggunaan koin emas dan koin perak yang sudah berlaku sekian abad lamanya hilang dari peredaran teru- tama sejak terjadinya malaise. Menurut reportase Gatra edisi 20 Agustus 2005 berjudul Mikul Duwur. Pada masa krisis tersebut pemerintah kolonial Belanda memperlakukan penduduk pribumi dengan sangat zalim terutama sejak awal terjadinya krisis ekonomi dunia tersebut.

Hal ini sebagaimana analisis statistik tahun 1930 tentang porsi yang menetes untuk warga Hindia-Belanda. Hasil analisis ini menunjukkan penduduk pribumi (sons of soil) yang waktu itu berjumlah 59 juta hanya mendapatkan 3,6 juta gulden (0,54%) dari penerimaan Hindia-Belanda. Hal ini sangat jauh berbeda dengan kelompok kulit putih yang hanya 241.000 jiwa namun menikmati 665 juta gulden (99,3%) dan kelompok asia timur yang berjumlah 1,3 juta jiwa mendapatkan 0,4 juta gulden.

Keadaan ini menjadikan penduduk pribumi yang ingin memenuhi berbagai macam kebutuhannya dan masih memiliki harta terutama emas mengantre setiap hari di depan loket pegadaian. Dari kantor milik pemerintah Hindia-Belanda ini, sekian jumlah emas milik mereka selanjutnya mengalir ke negeri Belanda dengan total nilainya sebesar 158 juta gulden. Sementara itu, rakyat yang sudah tidak memiliki apa-apa banyak yang melakukan kerusuhan, mencuri, membegal, dan menodong baik di kota-kota maupun di desa-desa.

--------

*Nurman Kholis, adalah peneliti di Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi, Badan litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Menurut penulis, karya ini berawal dari bagian tesis yang pernah ditulisnya untuk disertasi di FIB-UNPAD Bandung, tetapi telah di-update sehingga berbeda dengan aslinya.Tulsan ini kemudian dimuat dalam 'Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 16, No. 1, 2018: 1 - 22.

 Pada bagian pendahuluan asli tulisan ini sengaja Republika.co.id  hilangkan karena keterbatasan halaman pemuatan.

 

 

 
Berita Terpopuler