Pakar Lingkungan: Keuntungan Ekspor Pasir Laut tak Sebanding Kerugian Lingkungan

Keputusan membuka kran ekspor pasir laut disebut tanpa data dan bukti ilmiah.

Republika/Raisan Al Farisi
Seorang nelayan merapikan spanduk berisi penolakan pengerukan pasir di perairan Serang, Banten, Rabu (27/4). (Republika/Raisan Al Farisi)
Rep: Zainur Mahsir Ramadhan Red: Agus raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pakar bidang perubahan iklim dan lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Daniel Murdiyarso, mengatakan, pengerukan pasir laut untuk ekspor hanya memiliki manfaat ekonomi jangka pendek. Pengerukan itu memiliki banyak dampak panjang dari sosial hingga lingkungan.

“Keuntungan ekonomi (jangka pendek) jelas tidak akan seimbang dengan kerugian atau biaya lingkungan (jangka panjang). Pendapat saya pribadi ekspor pasir laut untuk meningkatkan pendapatan nasional tidak penting-penting amat dan tidak mendesak,” kata Prof Daniel di Jakarta, Jumat (2/6/2023).

Menilik keputusan pemerintah yang saat ini membuka kran ekspor pasir laut setelah vakum dua dekade, kata dia, tanpa dukungan data dan bukti ilmiah meyakinkan. Dirinya mencontohkan, perlu pendalaman laju asal deposit sedimen, kecepatan dan arah arus laut maupun stabilitas ekosistem pesisir.

“Sehingga jika timbul dampak negatif, mitigasinya dan arah perbaikannya jelas,” tuturnya.

Menurut dia, jika ekspor pasir laut dilanjutkan, kerusakan ekosistem pesisir maupun laut dan sumberdaya perikanan bisa berbuntut panjang. Terlebih, saat ada disrupsi kehidupan nelayan dan penduduk sepanjang pantai nantinya.

“Dampak langsung terhadap perubahan iklim tidak jelas dan tidak perlu dibesar-besarkan. Tapi dampak terhadap keberlanjutan ekosistem mangrove dan padang lamun yang memiliki peran dalam Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sudah sangat jelas,” ujarnya.

Baca Juga

Pemerintah melalui PP Nomor 26 Tahun 2023, membuka kembali ekspor pasir laut yang selama dua dekade lamanya sudah disetop. Sorotan bermunculan, dari aktivis lingkungan hingga media asing yang menyorot keuntungan langsung bagi Singapura.

“Jadi itu (ekspor pasir laut) langkah keliru karena dulu (era Megawati) udah bener moratorium dihentikan,” kata Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi Nasional, Parid Ridwanuddin, Kamis (1/6/2023).

Dia mengkritik pemerintahan saat ini yang kembali membuka kran ekspor pasir laut. Padahal, kata dia, penghentian ekspor sejak 20 tahun lalu seharusnya sudah cukup untuk membuktikan banyaknya dampak buruk.

“Kalau sekarang dibuka lagi, akan mempercepat pulau-pulau tenggelam lagi. Artinya ini langkah yang sangat salah arah, tersesat,” jelas dia.

Parid menjelaskan, kondisi laut Indonesia saat ini butuh pemulihan karena banyaknya limbah dari perusakan di darat. Sebab itu, dia menegaskan, ekspor pasir laut melalui Pasal 9 PP Nomor 26 Tahun 2023, ayat (1) yang berbunyi, "Hasil sedimentasi di laut yang dapat dimanfaatkan berupa, pasir laut dan/atau material sedimen lain berupa lumpur" sangat keliru.

Mengutip Reuters, Indonesia sebenarnya pertama kali sudah pernah mencabut izin ekspor pasir laut pada 2003 saat pemerintahan Megawati berjalan. Hal itu kemudian ditegaskan kembali pada 2007 sebagai bentuk perlawanan terhadap ekspor pasir laut ilegal.

Padahal, saat Indonesia sudah lebih dulu melakukan pelarangan eskpor, negara tetangga seperti Malaysia juga mengikutinya pada 2019. Selepas Indonesia menarik diri dari pasar pasir laut dunia, Malaysia menjadi pemasok utama pasir laut bagi Singapura.

Aral melintang, Indonesia saat ini malah kembali membuka kans ekspor pasir laut bagi negara tetangga, Singapura. Berdasarkan informasi, sebelum ada larangan ekspor itu, Indonesia merupakan pemasok pasir laut terbesar untuk kebutuhan reklamasi di Singapura. Ekspor pasir laut dari Indonesia ke Singapura mencapai rata-rata 53 juta ton per tahun dalam periode 1997 hingga 2002.

Laporan PBB pada 2019 mencatat, Singapura merupakan importir terbesar pasir laut di dunia. Dalam dua dekade, Singapura telah mengimpor 517 juta ton pasir laut dari tetangga.

 

 
Berita Terpopuler